7. Menunggu waktu yang tepat

1136 Kata
Kamar para pelayan di mansion itu hampir semuanya berukuran sama. Sederhana, dengan dinding polos dan pencahayaan temaram dari lampu gantung tua. Namun kamar yang diberikan untuk Ana sedikit lebih luas. Alicia ditempatkan di kamar tepat di sampingnya. Setelah pelayan yang mengantar mereka pergi, suasana menjadi hening. Alicia menoleh perlahan, menatap Ana dengan raut wajah yang sengaja dibuat takut. “Apakah aku tidak boleh sekamar dengan Ibu?” tanyanya lirih, matanya berkilat samar di balik kepura-puraannya. Ana menatapnya lekat. “Kamu takut sendirian?” tanyanya hati-hati. Seingatnya, Alicia dulu bukan gadis penakut. Ia justru dikenal keras kepala dan berani menghadapi apa pun. Alicia buru-buru mengangguk, seakan-akan ketakutan benar. Padahal dalam hati, ia punya maksud lain. Ia ingin mendekati Ana, karena wanita itu tampak begitu dipercaya Juan. Jika ia bisa membuka sedikit saja hati Ana, mungkin ada rahasia yang bisa terkuak. Ia juga menyimpan kerinduan akan sosok seorang ibu. Selama ini Ana terasa jauh dan sulit didekati, apalagi ditanyai. Kini, setelah mengaku sebagai ibu angkatnya, Alicia berharap bisa memanfaatkan kesempatan itu. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Ana, tentang Juan, dan tentang semua hal yang masih tersembunyi darinya. Mungkin dia masih terpengaruh amnesia, jadi wajar kalau sedikit ketakutan, batin Ana, sama sekali tidak menyadari kepura-puraan Alicia. “Hm, saat ini aman. Kamu lihat sendiri, ada banyak kamar di sini,” ujar Ana, berusaha menghindar untuk tinggal sekamar dengan Alicia. Ia sudah terbiasa sendiri dan terkadang harus memberi laporan pada Juan. Jika Alicia ada di sisinya, ia tentu tidak akan leluasa. Namun penolakan itu justru semakin membangkitkan rasa penasaran Alicia. Dengan nekat, ia meraih pergelangan tangan Ana, menatapnya penuh harap. “Tapi aku takut, Bu. Aku hanya punya Ibu,” ucapnya dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca seolah benar-benar ketakutan. Ana terdiam. Pandangannya menelusuri wajah Alicia, mencoba memahami perubahan besar yang terjadi setelah amnesia. Ia tidak pernah menyangka gadis itu bisa terlihat begitu rapuh. Saking seriusnya menatap dan menyelidik, Ana sama sekali tidak menyadari kehadiran Juan. Pria itu berdiri tidak jauh dari mereka, memperhatikan keduanya dengan sorot mata dingin. Setelah istri dan anaknya memilih untuk ke kamar masing-masing, Juan pun berinisiatif untuk melihat keadaan Ana dan Alicia. Kini kedua perempuan itu tampak seolah tengah berselisih, tidak sadar sudah menjadi tontonan tuan besar mansion tersebut. Juan segera melangkah menghampiri Ana dan Alicia. Suara sepatunya terdengar jelas di lantai marmer, membuat suasana semakin menegang. “Apa yang terjadi? Apa yang sedang kalian bicarakan?” tanyanya dingin, tatapannya bergantian menelusuri wajah kedua perempuan itu. Namun sorot matanya lebih lama berhenti pada Alicia, meneliti setiap gerak dan ekspresi gadis itu. Raut Juan tampak penuh selidik. Karena profesinya, ia terbiasa menaruh curiga pada siapa pun. Terlalu sering ia bertemu dengan orang-orang yang pandai menyembunyikan niat di balik topeng kepura-puraan. Dan dia belum terlalu yakin dengan amnesia yang dialami Alicia. “Alicia minta sekamar denganku, tetapi karena kamarnya tidak terlalu besar, aku bilang lebih baik kami tidur terpisah,” jelas Ana tenang dan melaporkan apa adanya. Mendengar itu, tatapan Juan kembali jatuh pada Alicia. Awalnya kecurigaan masih membayang di matanya, namun perlahan mereda. Gadis itu tampak benar-benar ketakutan. Terlebih ketika ia bersembunyi di belakang punggung Ana dan hanya berani menampakkan wajahnya sesekali. Namun, yang paling menarik bagi Juan adalah cara Alicia menatap balik dirinya. Sorot mata itu begitu polos, bersih dari rekayasa, seakan ia benar-benar tidak mengenalnya sama sekali. Seolah-olah Juan hanyalah orang asing yang baru pertama kali ia lihat. Diam-diam, sebuah kelegaan menyelinap ke dalam d**a Juan. Untuk pertama kalinya, ia bersyukur Alicia kehilangan ingatannya. Setidaknya, gadis itu sudah melupakan semua yang pernah ia lakukan tujuh tahun lalu, kalau dialah yang sudah membunuh ayahnya. "Sebenarnya aku lebih suka kalian tinggal di dalam mansion, Ana. Tapi kamu pasti tahu bagaimana sikap istriku dan juga Zack. Karena itu, aku terpaksa menempatkan kalian bersama para pelayan. Setidaknya, di sini lebih aman,” ujar Juan sambil menghela napas panjang. Ia sadar, ia tidak bisa terus-menerus berada di mansion. Ia tidak selalu bisa menjaga Alicia dari Zack. Justru menempatkannya di sini jauh lebih menjamin keselamatan gadis itu, meski terkesan seperti mengasingkan. “Tidak apa-apa, Tuan Juan. Bagi kami tinggal di mana saja bukan masalah. Yang penting, asal Alicia aman,” balas Ana tulus. Ucapan itu membuat Alicia terharu. Ia menunduk, menahan perasaan yang tidak menentu. Namun sebelum ia sempat berkata apa pun, Juan kembali membuka suara. “Kalau begitu, Ana,” katanya pelan namun tegas, “aku ingin kamu mengabulkan permintaan Alicia. Biarkan dia sekamar denganmu. Setidaknya untuk sementara, supaya dia merasa lebih tenang.” Ana terperanjat, sedikit ragu. Namun tatapan Juan tidak memberinya ruang untuk membantah. Alicia justru menatap Juan dengan mata berbinar, seakan baru saja mendapat perlindungan yang ia butuhkan. Senyum tipis Juan muncul. Bagi orang lain, senyum itu tampak menenangkan. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada rasa lega yang lebih kelam, karena Alicia sudah lupa dengan apa yang pernah ia lakukan tujuh tahun lalu. “Terima kasih, Tuan Juan,” ucap Alicia pelan, dengan suara yang terdengar tulus. Ia menunduk, bersembunyi di balik bahu Ana, membiarkan Juan percaya pada kepura-puraannya. Dalam hati, Alicia tersenyum tipis yang tidak terlihat oleh siapa pun. Sebenarnya ia tidak lupa bagaimana rasa takutnya dia di malam itu. Ada bagian dalam dirinya yang selalu gelisah setiap kali berhadapan dengan Juan. Namun ia tahu, jika ingin mencari jawaban atas semua misteri dan membalaskan dendam ayahnya, ia harus bermain hati-hati. Biarlah untuk sekarang Juan menganggapnya polos, rapuh, bahkan tidak berdaya. Kalau perlu Ana juga harus menganggapnya seperti itu. Alicia sadar sepertinya Ana adalah orang kepercayaan Juan. Biarlah kedua orang itu percaya amnesia benar-benar menghapus masa lalu nya. Dengan begitu, Alicia bisa lebih leluasa mengamati. Ia ingin tahu alasan sebenarnya mengapa Juan begitu melindunginya, padahal tujuh tahun lalu, pria itu adalah orang yang telah merenggut nyawa ayahnya. Luka itu masih ada, menancap dalam di hatinya. Namun di hadapannya sekarang, Juan tampak begitu berbeda. Perhatiannya, sikapnya yang seolah ingin melindungi, bahkan caranya menurunkan kewaspadaan hanya untuk membuat Alicia tenang, semuanya membuat hati Alicia bergetar. Tetapi tetap saja ia tidak bisa begitu saja menghapus bayangan darah dan dendam yang telah ia simpan sekian lama. Sebenarnya yang ia butuhkan bukan sekadar rasa aman. Ia membutuhkan kebenaran. Kunci untuk membuka tirai kegelapan yang menyelubungi hidupnya… sekaligus keberanian untuk menghadapi masa lalu yang kembali menatapnya lewat mata dingin Juan. Dalam diam, Alicia mulai menyusun perangkap di benaknya. Tatapannya yang terlihat polos hanyalah topeng, sementara di balik itu api dendam terus menyala. Aku akan menghancurkan keluarganya. Akan kubuat Juan merasakan bagaimana rasanya kehilangan orang yang ia sayangi, geram Alicia dalam hati. Aku akan melakukannya perlahan, satu per satu, hingga semua yang ia miliki lenyap, sama seperti yang kualami tujuh tahun lalu. Dan setelah itu...barulah ia berhak mati. Jemarinya masih menggenggam tangan Ana erat, seakan mencari perlindungan. Tapi sesungguhnya, genggaman itu adalah perisai. Sementara dalam pikirannya, ia sudah mulai menenun benang rencana, menunggu waktu yang tepat untuk menjerat Juan dalam balas dendamnya. Bersambung......
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN