"Kenapa kamu sering sekali melamun, Freya?" Reiga menjentikkan jarinya di depan wajah Freya.
"Eh?" Freya menoleh cepat.
"Sebenarnya apa yang kamu pikirin?" tanyanya lagi tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.
"Tidak ada, Sir. Hanya sedang menikmati pemandangan di luar saja," dustanya.
"Kalau gitu jawab pertanyaan aku," goda Reiga. Padahal dia tahu Freya sama sekali tidak mendengarkannya tadi.
"Eh ..., mm ..., pertanyaan yang mana, Sir?" Freya terlihat serba salah.
"Kamu nggak bakat jadi pembohong, Freya." Reiga terbahak melihat wajah Freya yang memerah. "Tadi aku tanya, apa kamu senang bekerja sebagai asisten aku?"
"Saya senang, Sir."
"Kamu nggak merasa capek atau kerepotan?"
"Tidak sama sekali, Sir. Saya sangat senang bisa kembali bekerja, meski hanya sebentar," ujarnya jujur.
"Maksud kamu?" tanyanya heran. Reiga pikir Freya menyukai pekerjaannya. "Apa kamu nggak mau kerja untuk waktu yang lama?"
"Maksud saya, saya ini hanya bekerja menggantikan Bapak Thomas. Setelah beliau kembali maka saya tidak dibutuhkan lagi." Terselip nada sedih dalam suaranya yang tidak berhasil ia sembunyikan.
"Kamu salah, Freya." Reiga menggeleng. "Aku minta kamu kerja, bukan hanya karena aku butuh orang untuk menggantikan Thomas, tapi aku ingin kamu bisa menjalani kehidupan normal seperti yang seharusnya. Jadi kalau bekerja memang membuat kamu senang, bekerjalah terus. Kamu boleh tetap kerja selama yang kamu mau, tapi di tempat aku aja." Reiga menoleh untuk melihat reaksi Freya.
"Hmm." Freya mengangguk.
"Tapi kalau ternyata bekerja malah jadi beban buat kamu, kamu boleh berhenti. Kamu bisa pilih kegiatan lain yang kamu suka untuk mengisi waktu, supaya kamu nggak bosan terkurung terus di rumah." Reiga berkata sambil mengusap puncak kepala Freya, kebiasaan yang akhir-akhir ini sering dilakukannya.
Mobil yang dikendarai Reiga mulai melambat ketika memasuki kawasan perkebunan teh. Reiga membuka jendela mobil dan membiarkan udara segar menyambut mereka.
"Sampai!" Reiga mematikan mesin mobil, meluruskan kakinya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Wajahnya ditolehkan ke samping untuk memandangi Freya. "Sebelum kita turun, boleh aku minta sesuatu sama kamu?"
"Ya, Sir?" Freya menunggu dengan berdebar, perasaannya tidak menentu ditatap seperti itu oleh Reiga.
"Bisa kamu berhenti panggil aku kayak gitu?" Reiga menaikkan alisnya.
Freya membulatkan matanya tidak mengerti. "Panggil apa, Sir?"
"Itu." Kini tubuhnya ikut berputar ke samping agar dia bisa lebih leluasa memandangi gadis di hadapannya ini.
"..." Freya tetap masih tidak mengerti.
"Bisa nggak kamu berhenti memanggilku 'sir'?" tanyanya sambil menatap Freya. "Rasanya sangat mengganggu dan kedengarannya juga nggak enak."
"Terus saya harus panggil apa?" tanyanya polos.
"Apa aja asal jangan 'sir'. Rasanya aku lagi dibuntuti pegawai selama 24 jam penuh setiap hari."
"Tapi kenapa?" tanya Freya.
"Kita nggak lagi ada di kantor, Freya," jawabnya malas.
"Terus saya harus panggil apa?" ulangnya lagi. Reiga jauh lebih tua darinya, usia mereka terpaut sepuluh tahun. Tidak mungkin dia memanggil dengan namanya saja.
"Apa aja. Coba pikirin," jawabnya asal sambil menopangkan dagunya di atas tangan kirinya. Menunggu Freya berpikir.
"Mas Reiga?" Freya bertanya ragu.
"Aku nggak suka." Reiga masih tidak menyukai pilihan Freya.
"Reiga?" Freya mencoba hal terakhir yang bisa dia pikirkan.
Reiga langsung mengangguk setuju. "Mulai sekarang, cukup panggil aku kayak gitu," katanya dengan wajah sumringah.
"Tapi rasanya aneh, saya tidak terbiasa." Freya benar-benar merasa sungkan.
"Kamu harus membiasakan diri dengan itu, Freya. Dan coba belajar bersikap santai waktu kita cuma berdua, bisa?"
Freya mengangguk ragu. Ini aneh. Dan karena Reiga membahasnya, Freya baru menyadari jika sekarang sikap Reiga memang sangat santai saat mereka bersama. Reiga seolah menanggalkan segala jarak dan kecanggungan yang ada di antara mereka.
"Ayo, turun!" ajak Reiga.
Freya turun dari mobil dan mengikuti Reiga berjalan menuju jajaran tanaman teh di sana. Mereka bertemu dengan beberapa orang yang tersenyum ramah dan menyapa Reiga.
"Hmm, boleh saya bertanya untuk apa kita ke sini?" Akhirnya Freya tidak dapat menahan rasa penasarannya. Pagi tadi Reiga tiba-tiba mengajaknya pergi, tanpa memberitahu tempat tujuan yang akan mereka datangi. Ternyata Reiga malah mengajaknya ke perkebunan teh yang jaraknya empat jam perjalanan dari Jakarta.
"Aku ajak kamu ke sini untuk menemani aku mengontrol keadaan perkebunan. Udah lumayan lama aku nggak ke sini."
"Perkebunan ini milik kamu?"
"Bukan, ini milik Grandma, pemberian ayahnya."
"Bukannya keluarga Grandma tinggal di Brazil?"
"Ayahnya membelikan lahan ini untuk Grandma waktu Grandma memutuskan untuk menikah dengan Grandpa dan meninggalkan negaranya."
"Sekarang dikelola oleh Blanc Company?"
Reiga menggeleng. "Ini aset pribadi Grandma, dan Grandma mau perkebunan ini tetap dijalankan dengan sistem tradisional. Usaha ini sebenarnya udah lama nggak lagi mendatangkan keuntungan yang berarti, hanya masih dipertahankan untuk membantu penghidupan penduduk di sekitar sini aja." Reiga menjelaskan sambil mengajak Freya berkeliling.
Freya mendengarkan penjelasan Reiga sambil menikmati pemandangan dari atas kebun teh ini. Hatinya terasa sangat nyaman menikmati suasana di perkebunan ini. Freya menghirup nafasnya dalam-dalam, merasakan segarnya udara mengisi paru-parunya dan menikmati semilir angin yang menyapu wajahnya.
"Den Reiga, sudah sampai?" sapa seorang pria tua yang wajahnya terlihat ramah.
"Iya, Pak. Baru saja sampai." Reiga menyalami pria tua itu. "Freya, kenalkan. Ini Pak Darmadjie, orang yang sudah 47 tahun mengelola perkebunan ini."
"Selamat datang, Nona. Nona pasti baru pertama kali ke sini. Semoga Nona senang dan nyaman menginap di sini," ujar Darmadjie menyambut dengan ramah.
"Menginap?" bisik Freya terbelalak.
"Iya, menginap. Tadi aja perjalanan ke sini yang terhitung lancar, udah makan waktu empat jam. Kalau perjalanan pulang pasti padat. Ini weekend, Freya. Kamu mau menggantikan aku menyetir?"
Gadis itu menggeleng pasrah.
"Kalau gitu ayo kita berkeliling!" Reiga menarik tangan dan menggenggamnya.
Untuk beberapa saat tubuh Freya menegang. Terkejut karena Reiga tiba-tiba menggenggam tangannya, namun di sisi lain ia merasakan kehangatan yang mengalir lewat genggaman tangan mereka.
"Kamu mau belajar cara memetik daun teh?" tanya Reiga ketika mereka berada di tengah hamparan tanaman teh.
Freya mengangguk antusias. Reiga tersenyum melihat reaksi Freya, melihat matanya yang berbinar seperti anak kecil.
"Kamu harus memetiknya dengan tanganmu. Genggam seperti ini dan hentakan pergelangan tanganmu." Reiga mengajari Freya sambil memberi contoh.
"Seperti ini?" tanya Freya ketika tangannya mencoba memetik daun teh.
"Bukan. Bukan begitu. Kalau kamu memilinnya seperti itu, itu akan menurunkan kualitasnya. Yang benar begini." Reiga membimbing tangan Freya untuk mencobanya sekali lagi.
"Ternyata ini tidak semudah kelihatannya." Tanpa sadar Freya mengerucutkan bibirnya, kesal dan penasaran. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya Freya berhasil lalu berujar. "Kalau sulit seperti ini, kenapa tidak pakai alat saja?"
"Karena kalau pakai alat, kita tidak bisa mendapatkan kualitas yang terbaik." Pria itu kembali tersenyum geli melihat ekspresi Freya. Kemudian Reiga mengajaknya berlalu dari sana sambil menggodanya. "Ayo kita lihat proses pengolahan saja, sebelum kamu tambah kesal dan menghancurkan lebih banyak daun lainnya."
Freya begitu menikmati kegiatan hari itu dan masih ingin terus berkeliling jika Reiga tidak menghentikannya.
"Udah sore, kita kembali ke pondok dulu. Aku mau membersihkan diri, kamu juga harus bergantian pakaian," ajak Reiga sambil memandang pakaian Freya yang sedikit kotor.
"Tapi, saya tidak membawa pakaian ganti," jawabnya kebingungan. Freya baru ingat jika dirinya tidak mempersiapkan apa pun karena tidak tahu akan diajak menginap.
"Pakaian ganti untuk kamu ada di pondok, Freya," jawabnya ringan.
"Tapi ...?" tanyanya kebingungan.
"Aku yang minta Martha menyiapkan barang-barang kamu kemarin." Reiga menertawakan Freya yang kebingungan sambil menarik tangan gadis itu untuk mengikutinya ke pondok.
***
"Selamat malam, Nona!" sapa Darmadjie ramah.
"Selamat malam, Pak. Mau bertemu Reiga?" Gadis itu tengah duduk sendirian di teras menikmati suasana malam yang hening.
Freya langsung jatuh cinta pada pondok kecil ini ketika pertama kali melihatnya. Pondok kayu bercat putih, berukuran sangat kecil yang terdiri atas dua lantai. Lantai pertama hanya digunakan untuk dapur dan ruang makan. Sementara ruang atas hanya terdiri atas kamar mandi dan sebuah ruangan besar dengan satu buah tempat tidur, dilengkapi dengan sebuah sofa besar di sudut ruangan.
"Oh, tidak Nona. Saya hanya ingin mengantarkan ini, silakan dinikmati!" Darmadjie meletakkan penganan kecil di atas meja.
"Buat apa repot-repot, Pak?" ujar Freya sungkan.
"Ah, sama sekali tidak, Nona. Ini hanya penganan sederhana, istri saya yang membuatkannya khusus untuk Den Reiga dan Nona Freya," ujarnya merendah.
"Kalau gitu terima kasih, Pak. Sekarang Reiga sedang mandi, Bapak mau menunggu?"
"Tidak perlu, Nona. Saya hanya mengantarkan ini saja. Mari Nona saya permisi dulu." Darmadjie segera berlalu meninggalkan Freya.
Tidak lama berselang, Reiga ikut bergabung dengan Freya. "Kamu senang di sini?" tanya Reiga yang sudah mengambil posisi duduk berhadapan dengan Freya di teras.
"Hmm." Freya tersenyum dan mengangguk.
"Wajah kamu kelihatan sangat ceria malam ini, malah kayaknya seharian ini." Reiga berkata sambil menyesap teh yang Freya siapkan untuknya.
"Saya suka sekali tempat ini."
"Nggak sia-sia aku ajak kamu. Mulai sekarang aku akan lebih sering ajak kamu ke tempat ini, atau ke mana aja yang kamu suka, supaya kamu lebih sering menunjukkan wajah ceria seperti sekarang. Aku suka lihat kamu tersenyum," ujar Reiga santai.
Freya merasakan kehangatan yang menjalar lewat perkataan yang Reiga ucapkan. Keduanya terdiam, sama-sama menikmati kesunyian yang menenangkan ini.
"Hmm, boleh saya bertanya?" tiba-tiba Freya berujar.
"Boleh, tapi sebelumnya coba ulangi pertanyaan kamu dengan menyebut nama aku dulu. Seharian ini aku nggak dengar kamu panggil nama aku. Kamu cuma mengganti dengan hmm aja tiap kali panggil aku."
"Hah?"
"Ayo, coba ulangi!"
"Rei, boleh saya bertanya?"
Reiga tergelak mendengarnya. "Harus ya pakai saya-kamu?"
"..."
"Coba lagi," pinta Reiga.
"Rei, boleh aku tanya sesuatu?"
"Begitu lebih enak didengar. Sekarang mau tanya apa?"
"Rei, kenapa perkebunan ini dibiarkan begitu aja. Apa nggak sayang?" Sebuah ide muncul dibenaknya setelah seharian Reiga mengajaknya berkeliling perkebunan teh dan mengajarinya banyak hal.
"Maksud kamu?" tanya Reiga mengerutkan alisnya.
"Bukannya kamu bisa mengembangkan tempat ini? Misalnya dengan menjadikan perkebunan ini sebagai tempat tujuan wisata?"
"Aku belum kebayang. Coba tolong jelasin."
"Jadi gini, Rei. Aku baru tahu proses pengolahan teh setelah kamu mengajak aku melihatnya sendiri tadi, dan buat aku itu sangat menarik. Kenapa kamu nggak coba tonjolkan sisi ini untuk menarik minat orang supaya datang ke sini? Kamu bisa membangun pondok-pondok kecil, kemudian membuka kesempatan bagi orang untuk menginap di sini. Tentunya kamu harus siapkan program kegiatan untuk mereka selama menginap di tempat ini."
"Apa menurut kamu akan ada orang yang berminat? Di mana letak daya tariknya?" Reiga mulai tertarik dengan ide Freya.
"Pasti ada yang tertarik, Rei. Kamu bisa memberikan undangan bagi sekolah-sekolah untuk mengadakan studi wisata ke tempat ini. Kamu siapkan program menginap selama satu malam. Misalnya di hari pertama mereka bisa hiking di area perkebunan, lalu malam harinya mereka bisa belajar untuk membuat penganan kecil khas daerah ini. Kita bisa melibatkan penduduk sekitar." Freya berkata sambil menunjuk berbagai penganan yang tadi dibawakan oleh Darmadjie. "Kemudian hari berikutnya, mereka akan ikut belajar memetik daun teh serta menyaksikan langsung proses pengolahan teh. Setelah itu mereka bisa membawa pulang teh dari perkebunan ini sebagai bingkisan." Freya memaparkan idenya.
"Aku rasa itu ide yang menarik, Freya." Reiga cukup kagum dengan isi kepala Freya, gadis ini ternyata menyimpan hal yang tidak terduga di balik pembawaannya yang selalu diam. "Hari Senin nanti, aku mau ajak kamu berkoordinasi dengan Tim Kreatif & Pengembangan untuk menindaklanjuti ide kamu itu. Biar mereka membantu kamu mematangkan ide ini."
"Eh ..., tapi aku cuma berandai-andai, Rei." Dia tidak berpikir Reiga akan menanggapi idenya dengan serius.
"Ide yang bagus harus ditampung dan direalisasikan, Freya. Jangan cuma dibiarin terus dilupain gitu saja." Reiga berdiri dari kursinya dan menarik tangan Freya. "Ayo, masuk! Ini udah malam dan aku ngantuk."
Reiga membimbingnya masuk kemudian menaiki tangga menuju ke lantai atas. Sebagian diri Freya merasa sedikit kecewa karena sebenarnya dia masih ingin melanjutkan percakapan mereka. Bagi Freya, berbincang dengan Reiga kini menjadi sesuatu keharusan. Ada ketenangan yang ia dapatkan ketika mereka menghabiskan waktu berdua dan bertukar cerita.
"Tidurlah, Fre. Kamu pasti capek seharian ini." Reiga mengusap lembut kepala Freya ketika mereka sudah tiba di lantai atas.
Untuk beberapa saat Freya membeku. Cara Reiga menyebut namanya terdengar seperti Farell. Hanya Farell yang menyingkat namanya dan memanggilnya dengan suara selembut itu.
"Kok, malah bengong?" tegur Reiga ketika dilihatnya gadis itu diam saja.
Sadar dirinya melamun di depan Reiga, Freya segera mengedarkan pandangnya ke sekeliling ruangan.
"Kamu tidur di mana?" tanya Freya ragu, karena di pondok ini jelas hanya ada satu kamar tidur.
"Di sini." Reiga berjalan ke arah tempat tidur, mengambil bantal dari tempat tidur lalu meletakkannya di atas sofa.
"Kamu tidur di sofa?" tanya Freya heran melihat pria itu sudah langsung membaringkan dirinya dan memejamkan matanya.
Reiga kembali membuka matanya dan menjawab. "Apa kamu mau aku tidur sama kamu di tempat tidur yang sama?" Reiga mengangkat alisnya menggoda Freya.
Pertanyaan Reiga membuat Freya mendadak kaku.
Ketika dilihatnya wajah gadis itu berubah cemas dia segera berkata lagi. "Di pondok cuma ada satu tempat tidur, karena selama ini aku selalu datang sendiri. Kamu tidur aja di sana. Jangan takut, aku nggak akan macam-macam sama kamu."
Freya berbaring canggung di tempat tidur, menghadap ke sisi lain yang membelakangi sofa tempat Reiga berbaring. Ia gelisah bukan karena takut Reiga akan berbuat macam-macam, tapi karena jantungnya berdebar begitu tidak beraturan tanpa sebab. Freya membutuhkan waktu cukup lama untuk menenangkan dirinya hingga akhirnya ia dapat terlelap.
***
--- to be continue ---