"Kamu sudah siap?" tanya Reiga ketika melihat Freya sudah menunggunya di meja makan untuk sarapan.
"Sudah." Freya masih tidak percaya dengan hal baru yang menantinya hari ini.
"Baju itu sangat cocok untuk kamu." Reiga tersenyum memuji penampilan Freya.
Freya hanya tersenyum kecil, menyembunyikan rasa malunya. Awalnya Freya bingung harus berpakaian seperti apa, namun akhirnya ia memutuskan untuk terlihat profesional. Setelah berkonsultasi dengan Oddie semalam, jadilah pagi ini Freya memakai dress selutut berwarna gading yang dipadukan dengan blazer abu. Dia memilih tas tangan dan flat shoes berwarna abu untuk melengkapi penampilannya, serta mengikat rambutnya ke belakang.
"Kalau kamu sudah siap, ayo kita berangkat!" Reiga melirik jam tangannya setelah menyelesaikan sarapannya. Tangan Reiga terulur untuk membantu Freya berdiri, dan menggandengnya sampai ke mobil.
Sepanjang perjalanan, hampir tidak ada percakapan di antara mereka. Reiga yang sibuk menyetir sambil sesekali memeriksa ponselnya saat mobil berhenti karena macet, sementara Freya yang dengan pikirannya sendiri.
"Apa kamu rindu dengan kehidupan kamu yang lama?" tanya Reiga saat mereka berdua tengah duduk di depan televisi setelah selesai makan malam.
"..." Pertanyaan Reiga menggelitiknya. Rindukah dia?
"Kenapa tidak jawab?" tanya Reiga lagi melihat Freya yang diam saja dan tetap memandang lurus ke arah televisi.
Freya menghela napasnya pelan. "Saya bingung mau jawab apa."
"Kenapa bingung?" Padahal ia kira Freya akan langsung menjawab iya. Dan memang jelas itu merupakan jawaban yang wajar. Tapi kalau Freya malah mengatakan bingung, Reiga pun ikut terbawa bingung.
"Kalau yang kamu maksud tentang kebebasan, ya saya merindukan hal itu. Tapi selebihnya, sepertinya tidak juga." Freya tidak terlalu paham dengan apa yang hatinya rasakan. Pada awalnya ia memang merasa seperti terpenjara. Tapi semakin ke sini, ia malah merasa terbebas dari ketakutan yang selama ini mencekam hari-harinya.
"Kalau pekerjaan kamu?" tanya Reiga lagi.
"Sebagai desainer?" Freya balas bertanya. Ia tidak yakin pekerjaan apa yang Reiga maksudkan.
"Memangnya kamu memiliki pekerjaan lain?" Reiga mengernyit heran. Seharusnya ia bisa saja mengetahui segala sesuatunya tentang gadis ini, sedetail dan selengkap yang ia perlu. Tapi Reiga lebih ingin mengetahui hal-hal tentang Freya dari mulut gadis itu sendiri.
Freya memilih tidak menjawabnya. Kalau Reiga memang belum tahu, lebih baik pria itu tidak perlu tahu. Maka Freya memilih menjawab tentang pekerjaannya sebagai seorang desainer saja. "Mimpi menjadi seorang desainer mungkin merupakan satu-satunya hal yang membuat saya bisa bertahan sampai sejauh ini."
Reiga mengangguk paham. Ia tidak tahu persis seberat apa kehidupan Freya, tapi sedikit banyak Reiga tahu. "Kamu ingin kembali bekerja?"
Freya tersenyum sendu. "Untuk saat ini saya tidak mau banyak berharap."
"Seandainya aku kasih kamu kesempatan untuk bisa bekerja, apa kamu mau?"
"Kamu tidak sedang main-main?"
"Aku serius, Freya."
"Jadi saya sudah boleh meninggalkan rumah ini?"
Reiga menggeleng pelan. "Kamu harus tetap tinggal di sini, Freya."
Diam-diam Freya menyembunyikan rasa kecewanya. "Pekerjaan seperti apa?"
Reiga memutar tubuhnya hingga kini duduk menghadap Freya. Siku kanannya naik ke atas sandaran sofa dan tangannya digunakan untuk menumpu kepalanya. "Mungkin tidak sehebat pekerjaan seorang desainer, tapi setidaknya itu akan memberi kamu cukup banyak ruang dan kesempatan. Kamu tidak perlu lagi terkurung di rumah setiap hari."
"Pekerjaan apa sebenarnya?"
"Menjadi seorang personal assistant."
"Untuk siapa?"
"Aku," ujar Reiga dengan seulas senyum di wajahnya.
"Kenapa harus pekerjaan itu?" gumamnya heran.
"Karena kamu bisa terus berdekatan dengan aku, dan dengan begitu aku bisa memastikan kamu akan selalu aman." Reiga juga tidak mau mengambil langkah yang gegabah. Ia tidak mungkin menawarkan pekerjaan yang membuat Freya berjauhan dengannya. Ia berani memberi tawaran pada Freya, karena pekerjaan itu mengharuskan Freya untuk selalu berada dalam jarak pandangnya. "Tertarik?"
"Kamu punya personal assistant yang lain?" Freya tidak ingin jika Reiga hanya sengaja mengada-ada pekerjaan yang sebenarnya tidak ada.
"Untuk saat ini tidak ada."
"Sebelumnya?"
"Ada. Namanya Thomas. Saat ini dia sedang cuti untuk batas waktu yang belum ditentukan. Ibunya sedang sakit dan sebagai anak tertua Thomas merasa bertanggung jawab untuk mengurusnya. Ia membawa ibunya ke Penang untuk menjalani operasi. Sebenarnya Thomas sudah mengajukan pengunduran diri, tapi aku tidak menerimanya. Posisi itu tetap milik Thomas."
Freya cukup tercengang mendengar penjelasan Reiga. "Saya tidak tahu kamu ternyata sebaik itu."
"Hanya pada orang-orang tertentu." Reiga terkekeh kecil. "Thomas itu seperti kakak buat aku. Dan pekerjaannya sangat baik. Jadi tidak ada alasan untuk menggantinya. Makanya aku menawarkan kamu untuk membantu aku sementara Thomas tidak ada. Kamu mau mencoba?"
"Saya takut hasilnya akan mengecewakan." Freya menghela napasnya. Ia ragu. Dan sejujurnya ia tidak mengerti dengan pria di hadapannya ini. Menculiknya, menahannya di rumahnya, namun menyediakan segala yang ia butuhkan, belum lagi sikapnya kini yang berubah baik dan penuh perhatian. Dan sekarang, menawarkan pekerjaan untuknya? "Kenapa kamu tidak mencari orang lain yang memang sudah profesional dan pasti mampu menggantikan pekerjaan Thomas?"
"Aku ini sangat pemilih, Freya. Apalagi untuk menempatkan orang yang sehari-hari akan berada dekat dengan aku." Reiga tertawa geli, namun setelahnya menatap Freya dengan serius. "Aku bukan orang yang merasa nyaman berdekatan dengan orang baru, dan aku bukan orang yang mudah beradaptasi."
Freya melebarkan matanya sambil perlahan mengangkat tangannya untuk menunjuk dirinya sendiri.
Reiga tersenyum samar. "Kalau dengan kamu berbeda. Aku sudah merasa terbiasa."
Ada debaran aneh yang Freya rasakan ketika mendengar Reiga mengatakan hal itu. Ia menunduk untuk menyembunyikan rona di wajahnya. "Tapi saya belum punya banyak pengalaman dalam dunia kerja."
Tangan Reiga terulur dan meraih dagu Freya dan membuat gadis itu menatapnya. "Tidak perlu khawatir, aku yakin kamu bisa melakukannya."
"..." Freya membeku.
"Mulai besok ikut aku ke kantor," pinta Reiga sungguh-sungguh.
Freya tertegun ketika mereka sudah sampai di perusahaan milik Reiga, Blanc Company. Freya tahu perusahaan ini, karena Blanc Company adalah salah satu perusahaan yang pernah menjadi incarannya dulu. Blanc Company adalah pengembang besar dengan berbagai proyek yang tersebar di berbagai kota besar di Indonesia, mulai dari mall, hotel, apartemen, rumah sakit, dan residensial.
Dia pernah bermimpi suatu saat akan bekerja di pengembang besar seperti ini, dan sekarang di sinilah dia berada, berdiri bersebelahan dengan sang pemilik, menemaninya berjalan masuk. Mereka melewati lobi dan berjalan ke arah lift sambil diiringin tatapan ingin tahu dari para karyawan lain yang bekerja di sana. Pasalnya, Reiga jarang terlihat bersama wanita, dan ini adalah pemandangan yang cukup langka.
"Ini ruanganku," ujar Reiga ketika mereka sampai di depan sebuah ruangan berdinding kaca di lantai 27. Reiga berjalan masuk ke dalam, dan melewati seorang wanita yang kira-kira seusia Martha.
"Morning, Sir!" sapa wanita itu.
"Morning, Siska. Kenalkan, ini Freya. Dia yang akan menggantikan tugas Thomas untuk sementara." Reiga memperkenalkan Freya kepada Siska.
Setelah keduanya saling berkenalan, Reiga mengajak Freya masuk ke dalam ruangannya.
"Masuklah." Reiga membuka pintu dan langsung menuju mejanya. "Meja Thomas di sebelah sana, kamu bisa memakainya."
Freya berjalan perlahan menuju meja milik Thomas sambil mengamati ruangan pribadi Reiga yang terbilang luas dan lengkap ini.
"Apa yang harus saya kerjakan, Sir?" Pada akhirnya Freya menemukan cara yang tepat untuk memanggil Reiga, karena sejujurnya selama ini ia tidak pernah menyapa pria itu dengan benar. Freya tidak tahu harus memanggilnya dengan sebutan apa.
"Untuk hari ini, kamu cukup pelajari tentang pekerjaan yang biasa Thomas kerjakan. Kamu bica cari tahu dari catatan di tab dan notebook milik Thomas."
"Baik, Sir." Freya mencoba terlihat tenang meski sebenarnya ia merasa tegang. Ia takut membuat kesalahan yang menyebabkan kekacauan.
Reiga melihat ketegangan di wajah Freya. "Kamu tenang saja. Ini tidak akan sulit, kamu hanya perlu mengurus semua keperluan dan jadwalku. Kalau bingung, kamu bisa tanya langsung sama aku atau kamu bisa tanya pada Siska."
***
Freya tengah menunggui Reiga yang pagi itu memiliki janji temu di sebuah kedai kopi dengan seorang investor baru, untuk membicarakan prospek kerja sama mereka selanjutnya. Freya menunggu sambil memeriksa jadwal Reiga hingga dua minggu mendatang. Sudah satu minggu ini Freya menjadi asisten pribadi Reiga, dan sampai sejauh ini belum timbul masalah karena kesalahan yang Freya lakukan.
Freya berusaha semampunya untuk mengikuti jadwal Reiga yang sangat padat, mengatur waktu dan tempat pertemuan dengan rekan-rekan bisnisnya, memastikan Reiga memiliki waktu untuk memeriksa berkas-berkas yang selalu berdatangan ke ruangannya, dan memastikan Reiga selalu makan tepat waktu. Meski melelahkan, tetapi Freya merasa mendapatkan kembali semangat hidupnya.
Freya segera menghubungi Ardi yang menunggu mereka di luar ketika melihat pembicaraan Reiga dan rekan bisnisnya sudah hampir selesai.
"Apa lagi setelah ini?" tanya Reiga ketika mobil mereka sudah melaju. Reiga berbicara sambil sibuk memeriksa pesan-pesan di ponselnya.
"Pukul 12.30 nanti ada jadwal makan siang bersama dengan Bapak Tanto untuk membicarakan proyek rumah sakit yang sedang digagasnya. Setelah itu, pukul 15.00 saya sudah jadwalkan meeting dengan tim HRD. Mereka meminta waktu bertemu untuk melaporkan hasil evaluasi karyawan."
"Tolong." Reiga menyodorkan ponselnya ke tangan Freya, kemudian menyandarkan tubuhnya yang terasa lelah sambil memejamkan matanya. Harinya baru dimulai namun dia sudah selelah ini.
"..." Kening Freya berkerut bingung.
Reiga yang merasakan kebingungan gadis itu segera memberitahukan maksudnya. "Tolong kamu saja yang baca pesan-pesan itu, aku capek. Kalau urusan pekerjaan, kamu cocokkan saja dengan jadwal yang sudah ada. Kalau di luar pekerjaan, jawab saja sesuka kamu."
Freya menggeleng tidak percaya, pria ini semakin aneh saja tingkahnya. Dia membaca pesan demi pesan yang masuk ke nomor Reiga, banyak yang memang urusan pekerjaan, namun lebih banyak lagi pesan dari wanita-wanita tak bernama. Isi pesan-pesan itu kebanyakan mirip, ada yang mengajaknya sekedar pergi minum kopi, makan malam romantis, minum-minum di club malam, bahkan tidur bersama di apartemen dan paginya berjanji akan memasakkan sarapan yang lezat.
Freya tidak tahu apakah ia harus membalas pesan dari teman-teman wanita Reiga? Kalau iya, harus dibalas seperti apa karena jelas pesan-pesan ini sudah kadaluarsa.
"Kalau kamu pusing bacanya, hapus saja semua. Aku yakin tidak ada yang penting." Reiga tiba-tiba berkomentar setelah memerhatikan kening Freya yang berkerut-kerut dalam ketika membaca pesan demi pesan di ponselnya.
Hari itu terus berlanjut dengan jadwal meeting Reiga yang padat. Setelah menyelesaikan meeting bersama tim HRD yang ternyata menghabiskan waktu cukup lama, Reiga memutuskan untuk mengakhiri hari itu dengan mengajak Freya makan malam.
"Thank you, Freya." Reiga menggenggam sekilas tangan kanan Freya dengan tangan kirinya, ketika mobil mereka mulai melaju meninggalkan halaman kantor.
"Terima kasih untuk apa?" tanyanya heran.
"Karena kamu sudah mengatur jadwalku dengan sangat baik satu minggu ini." Reiga merasa bangga dengan cara Freya menyelesaikan pekerjaannya.
Gadis itu mengaturnya semuanya dengan sangat detail. Semuanya diperhitungkan dengan baik, mulai dari waktu pertemuan, lokasi, dan jarak tempuh antar lokasi, sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma. Freya juga memilihkan tempat pertemuan yang disukai oleh para rekan bisnis Reiga. Meskipun Thomas sangat profesional, namun entah mengapa ada yang terasa berbeda ketika Freya yang menangani jadwalnya.
"Saya hanya melakukan yang sudah seharusnya dilakukan."
"Kamu tahu? Investor yang tadi pagi bertemu denganku sangat menyukai Classic Affogato dan Black Truffle yang kamu pesankan untuknya. Gimana caranya kamu bahkan bisa memilihkan menu yang dia sukai padahal kamu tidak kenal dengan dia?" Reiga bertanya sambil mengerutkan dahinya.
"Saya hanya mempelajari catatan pertemuan kalian sebelumnya, dan dari sana saya tahu beliau hampir selalu memilih menu yang sejenis," jawab Freya dengan ringan.
"Cerdas!" Reiga tersenyum sambil tangannya terulur mengusap puncak kepala Freya. "Kamu membuat suasana hati orang itu menjadi sangat baik dan membuat urusanku dengannya berjalan lancar, Freya."
Freya hanya membalasnya dengan senyum, dia tidak mampu mengucapkan apa-apa. Hatinya terasa hangat ketika tangan Reiga menyentuh kepalanya. Namun kata-kata Reiga selanjutnya membuat hatinya jadi tidak karuan.
"Sekali lagi terima kasih karena kamu sudah sangat memerhatikan rekan bisnisku. Tapi aku minta kamu jangan memberikan perhatian yang terlalu berlebih untuk orang lain, Freya. Aku harap perhatian khusus kamu itu cuma buat aku," ujar Reiga sambil tersenyum dan menatap Freya dengan tatapan yang Freya tidak mengerti artinya.
***
--- to be continue ---