Hari masih pagi namun Freya sudah berkutat di pantry. Sudah beberapa hari ini Freya mengambil alih seluruh pekerjaan yang biasa menjadi tanggung jawab Martha. Reiga memberi izin pada Martha untuk mengambil libur selama satu bulan agar wanita itu dapat membantu persiapan pernikahan putranya.
"Melamunkan apa?" Reiga yang menegurnya dari belakang sukses membuat Freya terkejut.
"Kenapa sudah bangun? Ini masih terlalu pagi." Bukan hanya terkejut, Freya juga keheranan mendapati Reiga di dapur sepagi ini dan sudah berpakaian rapi. Padahal biasanya, di waktu seperti ini Martha bahkan belum mengantarkan kopi ke kamar Reiga.
"Hanya berniat memberi sedikit bantuan." Reiga mengitari kitchen island dan duduk di hadapan Freya, sementara gadis itu tengah asik membersihkan buah-buahan sebelum dipotong.
"Bantuan?" Freya mengernyit bingung.
Reiga mengangkat bahunya santai, kemudian mengedarkan pandangnya ke arah para pelayan yang tengah membersihkan rumah. "Memastikan mereka menuruti perintah kamu dan tetap menjalankan tugas-tugas mereka selama Martha tidak ada."
"Sepertinya kamu berlebihan." Freya menggeleng kecil dan berusaha menahan senyumnya. Freya yakin tanpa perlu Reiga duduk diam di sini, para pelayan itu akan tetap mengerjakan semua tugas-tugasnya seperti biasa.
"Saya bangun lebih pagi karena harus berangkat pagi-pagi sekali hari ini." Kali ini Reiga menjawab dengan jujur. Ia memang harus berangkat pagi-pagi sekali hari ini, dan ia merasa perlu menghabiskan sedikit waktu bersama gadis itu sebelum ia pergi untuk beberapa hari. "Ada yang perlu saya bantu?"
Freya kembali menggeleng geli. "Tidak ada yang bisa dan tidak ada yang perlu kamu kerjakan di sini."
"Kamu yakin tidak membutuhkan bantuan saya?" tanya Reiga lagi untuk memastikan.
"Tidak, terima kasih. Semuanya sudah selesai." Freya tidak berbohong. Semua urusan di dapur pagi ini memang sudah rampung.
"Kalau begitu kamu bisa temani saya." Reiga turun dari kursi yang didudukinya, menjangkau tangan Freya kemudian menariknya lembut. Reiga membimbing Freya untuk duduk di meja makan, kemudian menyorongkan sebuah ponsel ke depan gadis itu. "Ambil ini."
"Untuk apa?" Freya termangu menatap ponsel di depannya.
"Pakai saja, untuk kamu. Tapi maaf saya sudah menghapus semua akun lama kamu dan kamu tidak bisa mengaksesnya lagi. Demi kebaikan kamu dan kita semua." Reiga menjelaskan sambil menyesap jus buah yang Freya buatkan.
"Tapi, apa kamu tidak takut saya mencoba menghubungi seseorang?" tanya Freya keheranan. Sejak awal sikap Reiga memang sulit dimengerti, tetapi belakangan menjadi semakin sulit untuk dimengerti. Reiga yang awalnya bersikap sangat dingin dan selalu berbicara dengan nada yang tajam, sekarang bersikap lebih ramah dan nada bicaranya jauh lebih lembut.
"Saya percaya sama kamu." Reiga mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak menjawab pertanyaan Freya.
"Saya tidak memerlukan ini." Freya menggeleng dan kembali menyerahkan ponsel itu ke tangan Reiga.
"Pegang saja, supaya saya bisa dengan mudah menghubungi kamu." Reiga berbicara sambil menjejalkan ponsel itu di telapak tangan Freya, kemudian menggenggamnya singkat.
Freya menundukkan wajahnya untuk menghindari tatapan Reiga. Tangannya yang berada dalam genggaman Reiga menimbulkan sensasi yang membuat jantungnya berpacu lebih cepat, dan entah mengapa tatapan mata Reiga pagi ini membuatnya sedikit terhanyut.
Setelah keheningan yang cukup lama di antara mereka, Reiga kembali mengajak Freya berbicara. "Saya harus pergi selama enam hari, ada pekerjaan yang harus saya selesaikan di Batam. Kamu tidak apa-apa saya tinggal sendiri di sini?"
Freya menggeleng. "Tidak apa-apa. Banyak orang di sini."
"Atau kamu mau menginap di rumah Grandma selama saya pergi?" Reiga mencoba menawarkan pilihan lain untuk Freya.
"Tidak perlu." Freya menggeleng yakin. Bukan ia tidak mau menghabiskan waktu di rumah Louise, tapi apa yang harus ia katakan sebagai alasan? Bukankah terlalu janggal bagi adik seorang teman Reiga untuk menginap di rumah nenek pria itu?
"Sebenarnya saya khawatir meninggalkan kamu sendirian di sini," ujar Reiga sambil menatap Freya sungguh-sungguh.
"Tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya tidak akan melarikan diri." Freya tersenyum samar.
Reiga memang khawatir, entah untuk apa. Namun yang pasti bukan khawatir karena Freya akan melarikan diri, hanya khawatir memikirkan gadis itu sendirian tanpa ada orang lain yang menjaganya. "Saya bukan takut kamu melarikan diri, Freya. Saya khawatir kalau ada apa-apa dengan kamu karena Ardi harus ikut pergi menemani saya, jadi tidak ada yang menjaga kamu di sini."
"Saya bisa menjaga diri dengan baik." Freya menjawab yakin.
"Yakin tidak mau ke rumah Grandma saja?" tanya Reiga lagi.
"Hmm."
"Kalau saya memaksa?" bujuk Reiga.
"Apa saya punya hak menolak?" balas Freya pelan. Ia tahu dirinya tidak dalam posisi untuk bisa menolak keinginan Reiga. Pria itu bisa melakukan apa saja yang diinginkannya.
Reiga menggeleng kecewa. Ia tidak mengharapkan reaksi seperti itu dari Freya.
"Jaga diri baik-baik selama saya tidak ada. Kalau terjadi sesuatu, jangan ragu hubungi saya. Kamu bisa?" Ada rasa khawatir yang kentara dalam suaranya.
Freya mengangguk dan tersenyum. "Jangan khawatirkan saya."
Reiga tertegun melihat senyum Freya, baru disadarinya gadis itu jarang sekali tersenyum. "Ingat, jaga diri kamu dengan baik," ujarnya sebelum bangkit berdiri. Hatinya sangat berat meninggalkan Freya sendirian di rumah. Jika mungkin dia ingin mengajak gadis itu, meski sebenarnya Reiga tidak perlu terlalu khawatir, karena ia tetap menempatkan pengawal untuk selalu menjaga rumahnya. Mungkin ia hanya khawatir berlebihan saja.
"Hmm."
"Satu lagi," ujar Reiga sebelum melangkah meninggalkan meja makan.
"Ya?" Freya menengadah dan menatap Reiga, menunggu perintah lain yang akan pria itu ucapkan.
Reiga mengetuk ponsel yang tadi ia berikan. "Selalu bawa ini bersama kamu. Selalu angkat setiap saya menghubungi atau balas saat saya mengirim pesan."
"Hmm." Meski terdengar aneh, Freya tetap mengiyakan perintah Reiga.
"Janji?" tuntut Reiga.
"Ya." Freya mengangguk kecil.
"Kalau begitu aku pergi." Reiga mengusap lembut puncak kepala Freya kemudian langsung berlalu.
Freya tertegun cukup lama, terkejut dengan hal kecil yang Reiga lakukan. Usapan ringan yang menyebabkan wajahnya memanas dan jantungnya berdetak sangat kencang. Belum lagi Reiga yang tiba-tiba menggunakan kata ganti 'aku' untuk dirinya. Namun sudut bibirnya terangkat dan kemudian berubah menjadi senyuman kecil.
***
Sudah dua hari sejak Reiga pergi, dan Freya merasakan rumah ini sangat sepi tanpa Martha juga Reiga. Dia berjalan berkeliling rumah untuk menghilangkan rasa jenuhnya dan kembali berakhir di ruang baca milik Reiga.
Rumah inilah yang telah dihuninya selama delapan bulan terakhir. Rumah yang tidak disangkanya ternyata dapat memberinya ketenangan yang selama ini tidak pernah dimilikinya. Freya mulai bisa berdamai dengan keadaan, ditambah dengan kenyataan bahwa Reiga memperlakukannya dengan baik. Hanya satu kenyataan yang membuatnya resah, keberadaan Farell.
Suara dering ponsel menghentikan lamunannya. Tanpa perlu melihatnya terlebih dulu, Freya sudah tahu siapa yang menghubunginya. Freya meraih ponselnya dan menjawab panggilan Reiga.
"Halo?" sapa Reiga begitu Freya menjawab panggilannya.
"Ya?" Freya menjawab dengan canggung. Ini terasa sangat aneh untuknya. Sejak Reiga berangkat, entah sudah berapa kali pria itu menghubungi dan mengiriminya pesan, hanya sekadar untuk menanyakan keadaannya.
"Semua aman?" Pertanyaan biasa yang selalu ditanyakannya. Setiap ada kesempatan, Reiga memang selalu menyempatkan diri menelepon Freya. Entah bagaimana, gadis itu seolah-olah terus bercokol dalam pikirannya.
"Ya."
"Bosan?"
"Tidak juga."
"Tidak mau ke rumah Grandma?" Untuk kesekian kalinya Reiga kembali meminta Freya ke rumah neneknya.
Freya mengigit bibirnya menahan senyum. "Tidak perlu, di sini saja."
"Apa saja yang kamu kerjakan hari ini?"
"Tidak banyak. Hanya membaca buku."
"Ada buku baru yang sedang ingin kamu baca?"
Freya mengernyit bingung. Merasa aneh dengan pertanyaan Reiga. "Tidak ada."
"Buku yang sudah lama ingin kamu baca tapi sulit dicari?" tanya Reiga lagi.
"..." Freya semakin heran dengan pertanyaan Reiga.
"Ada?" desaknya.
"Ada."
"Apa judulnya?"
"World Architecture the Masterworks."
"Penulisnya?"
"Will Pryce." Meski merasa aneh, Freya tetap terus menjawab pertanyaan-pertanyaan Reiga.
"Ya sudah. Kalau begitu aku lanjut meeting dulu."
"Hmm." Untuk kesekian kalinya Freya tidak bisa menahan senyumnya ketika mendengar Reiga kembali menggunakan kata 'aku'.
***
"Kamu sudah makan?" tanya Reiga dari anak tangga paling bawah malam itu.
Setelah hampir gila karena dilanda kekhawatiran memikirkan Freya, Reiga kembali satu hari lebih cepat dari jadwalnya semula. Sesampainya di rumah siang tadi, hal pertama yang Reiga lakukan adalah mencari keberadaan Freya. Ada keinginan yang tidak tertahankan untuk segera melihat wajah gadis yang memenuhi pikirannya selama mereka berjauhan.
Reiga akhirnya menemukan Freya sedang duduk membaca buku di ruang baca miliknya. Gadis itu nampak begitu tenggelam dalam dunianya sendiri. Reiga memilih untuk tidak mengganggunya dan membiarkan Freya sendiri. Bagi Reiga, hanya dengan melihat sosok Freya saja sudah cukup untuk membuatnya tersenyum lebar. Aneh. Tapi seperti itulah efek yang ditimbulkan Freya padanya akhir-akhir ini.
Freya yang tengah berada di pantry terkejut ketika tiba-tiba mendengar suara Reiga. Ia tidak tahu jika pria itu sudah kembali. Gelas yang tengah digenggamnya meluncur menuju lantai dan pecah.
"Jangan bergerak!" Reiga berseru dan bergegas menuju tempat Freya berdiri sambil berjingkat menghindari pecahan gelas di atas lantai. Diangkatnya gadis itu, dan didudukkannya di atas kursi. "Tetap di sini!"
"Kenapa sudah ada rumah? Bukannya besok jadwal kepulangan kamu?" tanya gadis itu masih dengan rasa terkejut.
"Pekerjaanku selesai lebih cepat," jawab Reiga sambil memunguti pecahan gelas dan membuangnya.
"Kapan kamu sampai di rumah?" Freya merasa heran karena dia sama sekali tidak mendengar ada orang yang datang.
"Tadi siang."
"Kenapa tidak bilang-bilang ...," gumamnya sendiri.
"Kamu terlihat sangat menikmati bacaanmu, aku tidak mau mengganggu. Jadi aku langsung ke kamar dan tidur." Reiga tersenyum dan berjalan mendekat ketika sudah selesai membersihkan pecahan gelas di lantai. Ia mengulurkan tangan untuk mengusap wajah Freya dan menyelipkan anak rambut gadis itu ke belakang telinganya. "Apa kamu senang aku pulang?"
Freya berusaha menghindari tatapan Reiga yang akhir-akhir ini memberi efek berbeda padanya. Bagaimana ia harus menjawab?
"Kenapa diam?" Reiga berbicara sambil terus menatap Freya, tidak ingin melepaskan pandangannya dari gadis itu. Wajah gadis itu selalu membayanginya selama dia pergi. "Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi."
"Pertanyaan yang mana?" tanya Freya bingung. Ia sulit memfokuskan pikirannya.
"Kamu sudah makan atau belum? Aku lapar," ujar Reiga sambil masih tidak melepaskan tatapannya dari wajah Freya.
"Kalau begitu saya akan buatkan makanan." Freya bergegas turun dari kursi dan melihat bahan makanan di kulkas. Menghindari tatapan Reiga yang membuatnya kacau.
"Tidak perlu. Kita makan di luar saja," tolak Reiga.
"Tapi ...." Ini mengejutkan. Meski Reiga tidak pernah mengatakannya secara langsung, dan Freya sendiri tidak mengerti alasannya, tapi Freya tahu Reiga sebisa mungkin tidak ingin membawanya ke tempat publik.
"Ayo, aku ingin mengajak kamu keluar rumah. Untuk menebus kesalahanku." Reiga menarik tangan Freya dan mengajaknya berjalan menuju pintu. Akhir-akhir ini ia sering memikirkan Freya yang terkurung di rumahnya setiap hari. Reiga tahu resiko yang mungkin akan terjadi, tapi ia tidak bisa menahan dirinya. Ia ingin membuat gadis ini senang, ingin melihatnya tersenyum. Senyum yang mulai menjadi candu baginya.
"Memangnya kamu salah apa?" tanya Freya heran.
"Meninggalkan kamu sendirian di rumah," jawabnya santai sambil mempererat genggaman tangan mereka.
***
--- to be continue ---