"Wangi sekali, Bu. Aroma apa ini?" Begitu membuka matanya pagi ini, indra penciumannya langsung diterpa aroma harum dan manis yang terasa menyenangkan. Membuat Reiga teringat pada masa kecilnya saat ia menghabiskan waktu di rumah Louise untuk berlibur bersama sepupunya.
"Nona Freya sedang membuat kue untuk Nyonya Louise, Den," jawab Martha tanpa dapat menyembunyikan senyumnya.
"Sepagi ini?" tanya Reiga tidak percaya.
"Sudah dari jam empat, Den."
"Bersemangat sekali dia." Reiga berdecak geli.
"Nona memang kelihatan bersemangat dan sangat ceria sejak kemarin siang, Den." Martha mengangguk setuju. "Bahkan kalau saya perhatikan, sejak Den Reiga memperkenalkan Nona dengan Nyonya Louise, Nona cukup banyak berubah. Nona terlihat jauh leboh ceria sekarang, tidak lagi murung seperti sebelumnya."
"Bagus kalau begitu, Bu." Reiga mendesah lega. "Sekarang di mana dia?"
"Tadi sebelum saya naik, saya lihat Nona sedang di halaman belakang."
"Sedang apa dia di sana?"
"Sepertinya Nona mau membuat buket bunga untuk Nyonya."
"Anak itu ternyata masih punya perasaan juga." Reiga menggeleng tidak percaya. Ketika tahu Freya membuat sendiri hadiah untuk Louise, Reiga sudah tercengang. Kemudian gadis itu pula yang berkeinginan membuatkan kue untuk Louise. Dan sekarang, belum cukup semua itu, Freya masih ingin membuatkan buket bunga untuk Louise. "Tadinya saya pikir dia mati rasa, Bu."
"Kenapa Den Reiga bilang begitu?" tanya Martha bingung.
"Ibu lupa seperti apa kelakuannya sebelum ini?" balas Reiga dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. "Suaranya yang selalu dingin, matanya yang terkadang tajam, terkadang kosong. Kalau diajak bicara susah. Kalau sedang mau bicara, kata-kata yang keluar selalu berhasil buat saya sakit kepala."
Martha mengangguk setuju. "Mungkin Nona bersikap begitu untuk melindungi dirinya, Den. Tinggal di tempat asing, dengan orang asing, pasti bukan hal yang menyenangkan."
"Ibu benar."
"Kalau sekarang, Nona mungkin perlahan mulai bisa menyesuaikan diri. Nona juga mulai merasa nyaman di sini, jadi sikapnya perlahan melunak."
"Semoga begitu, Bu." Reiga tersenyum kemudian bangkit berdiri dari tempat tidurnya. "Saya mandi dulu, tolong katakan pada Freya untuk bersiap. Kita berangkat satu jam lagi."
***
"Kita sudah mau pulang?" tanya Freya tidak lama setelah acara makan siang bersama Louise selesai, dan wanita tua itu masuk ke dalam kamarnya.
"Belum. Kita akan di sini sampai malam. Tapi Grandma perlu istirahat dulu."
Freya mengangguk lega.
"Kamu mau berkeliling melihat rumah Grandma?" ajak Reiga.
Freya kembali mengangguk. Melewatkan waktu berdua pria ini tidak lagi terasa menyebalkan bagi Freya, meski tidak bisa dikatakan menyenangkan juga. Beberapa minggu terakhir, Freya mulai terbiasa menghabiskan waktu bersama Reiga.
"Tempat sebesar ini hanya ditinggali sendiri, apa tidak sepi?" gumam Freya heran setelah Reiga mengajaknya berkeliling rumah Louise.
Reiga berjalan santai di sisi Freya, menyisipkan tangannya di saku celana, tersenyum samar menanggapi ucapan gadis itu. "Pasti sepi. Tapi Grandma suka. Tenang katanya."
"Kamu juga sama seperti Grandma?" tanya Freya spontan.
"Apanya?" Kening Reiga berkerut.
"Senang tinggal sendirian di tempat besar."
Reiga terkekeh sambil mengangkat bahunya. "Bukan senang, tapi tidak punya pilihan. Dan karena sudah terbiasa, jadi biasa."
"Terbiasa dari kecil maksudnya?" Sejak mengenal pria ini, rasa ingin tahunya sering terpancing tanpa ia sadari.
"Kira-kira begitu." Reiga mengangguk kecil. "Tapi sejak ada kamu, rumah saya sedikit lebih hidup. Ya, meskipun kamu selalu mengurung diri di kamar, tapi kenyataan bahwa ada orang lain di dalam rumah selain saya sendiri, membuat rumah itu terasa lebih hangat."
"Tempat apa itu?" Freya menunjuk ke arah sebuah pintu kayu yang terlihat tua namun unik.
Reiga menoleh ke arah yang Freya tunjuk. "Itu wine cellar, ruangan khusus untuk menyimpan wine."
Freya memicingkan matanya. "Grandma suka minum alkohol?"
"Bukan. Grandma itu kolektor." Reiga tersenyum geli. "Grandma mengumpulkan wine berkualitas tinggi dari seluruh dunia untuk disimpan."
"Untuk apa?"
"Dijual." Reiga terkekeh. Ia baru menyadari gadis yang selama ini selalu mencari masalah dengannya, ternyata bisa selugu ini. "Grandma cukup terkenal di kalangan para pecinta wine dari kelas atas. Mereka berani membeli wine dengan harga tinggi."
"Saya baru tahu ada yang seperti itu." Freya mengangguk kecil.
"Kamu mau coba lihat ke dalam?" tawar Reiga.
"Hmm." Freya merasa tertarik.
Reiga berjalan lebih dulu dan membuka pintu yang terlihat berat itu. Sebelum masuk, ia lebih dulu memperingatkan Freya agar tidak terkejut dengan kondisi di dalam. "Ayo, masuk! Hati-hati, di sini agak gelap."
"Ini benar-benar gelap dan agak dingin." Begitu menapaki tangga batu di balik pintu, seketika Freya merinding. Ia tidak suka suasana seperti ini.
Beruntung Reiga segera menyalakan lilin untuk menerangi ruangan tersebut. Setelah lilin menyala, nampaklah jajaran botol-botol wine yang tersusun rapi di sepanjang dinding batu.
"Memang, di sini tidak ada lampu. Grandma sengaja membuatnya seperti ini untuk menjaga kualitas wine tetap baik. Wine harus disimpan di tempat yang dingin dan terhindar dari cahaya." Reiga menjelaskan.
"Ada tahun-tahunnya?" Freya menunjuk ke arah catatan-catatan kecil di dinding batu.
"Hmm. Semakin ke sana, semakin tua tahun produksinya." Reiga menunjuk ke jajaran rak yang berada paling jauh dari pintu masuk. Setelahnya ia menunjuk ke arah rak kayu yang terlihat berbeda dengan lainnya. "Yang itu bahkan diproduksi sebelum perang dunia pertama."
Freya menunjuk jajaran botol-botol yang ada. "Harganya mahal?"
"Lumayan." Reiga mengangguk kecil.
"Jutaan?" tanya Freya.
"Tergantung usianya. Semakin tua semakin mahal. Bisa mencapai ratusan juta rupiah."
Mata Freya melebar sempurna. "Ada orang yang mau mengeluarkan uang sebanyak itu untuk sebotol minuman?"
Kali ini Reiga tidak bisa lagi menahan kegeliannya, ia tergelak kencang melihat ekspresi Freya yang baginya lucu. "Mungkin kedengarannya tidak masuk akal, tapi memang ada."
"..." Freya mengernyit. Merasa ironis dengan kehidupan di dunia ini. Ada orang-orang yang berjuang setengah mati mengumpulkan uang untuk bertahan hidup. Namun ada mereka yang tidak pernah merasakan kerasnya kehidupan hingga membuang uang tanpa berpikir.
"Sudah cukup lihat-lihatnya?" tanya Reiga ketika melihat Freya diam saja.
"Hmm."
"Ayo, keluar!" Reiga mempersilakan Freya untuk berjalan lebih dulu.
Freya yang sudah mencapai pintu, menoleh ke belakang. "Pintunya tidak bisa dibuka."
"Tolong pegang lilinya. Biar saya yang buka."
Freya mundur dan memberikan jalan untuk Reiga sambil memegangi lilin untuknya. "Terkunci?"
"Biasanya di bagian ini ada pegangan, tapi sekarang tidak ada. Pintu ini jadi tidak bisa dibuka dari dalam."
"Terus gimana caranya kita keluar?" Rasa panik mulai menyerang Freya.
"Tenang dulu," ujar Reiga berusaha menenangkan Freya.
"Kamu nggak bisa telepon orang untuk tolong kita?" tanya Freya cepat.
Reiga menggeleng kecil. "Handphone saya sedang dicas."
"Berapa lama kita harus menunggu di sini?" Freya mulai terdengar ingin menangis.
"Saya tidak bisa memastikan, tapi mungkin sampai Grandma bangun dan menyadari kita tidak ada." Reiga berusaha realistis. Rumah Louise selalu sepi, jadi jangan berharap ada orang yang akan mendengar meski mereka berteriak-teriak dari dalam sini. Apalagi ruang bawah tanah ini cukup jauh dari rumah utama dan pastinya kedap suara.
"..." Mendengar perkataan Reiga, wajah Freya semakin memucat.
"Kenapa wajah kamu ketakutan begitu?" Reiga menyadari ketakutan yang nampak jelas di wajah gadis itu.
"Saya benci tempat gelap," ujarnya dengan suara bergetar. Perlahan ia terduduk di tangga batu dan memeluk lututnya. "Saya benci tempat tertutup yang gelap begini."
"Hei, shh!" Reiga ikut duduk di sisi Freya. "Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kita akan baik-baik saja di sini."
"Gimana kalau lilinnya habis?" serunya hampir menangis. "Gimana kalau banyak binatang keluar? Gimana kalau tiba-tiba ada orang jahat? Gimana-"
"Shh, tenanglah." Entah dorongan dari mana yang membuat Reiga melingkarkan lengannya di sekeliling pundak Freya. "Ada aku di sini. Kamu aman, Freya."
Merasakan tangan Reiga melingkarinya, ada sedikit ketenangan yang Freya dapatkan. Padahal selama ini, sentuhan yang membuatnya nyaman hanya ia dapatkan dari Farell. Sementara sentuhan orang lain selalu membuatnya jijik dan takut. Tapi kali ini tidak.
"Kamu mau cerita sama aku?" tanya Reiga lembut. Belum pernah ia bersikap sebaik ini sebelumnya.
"..." Freya menoleh dan menatap Reiga penuh tanya.
"Cerita tentang hal yang membuat kamu takut. Mungkin dengan menceritakannya kamu bisa merasa lebih baik."
"Dia ..., orang itu ..., b******n itu ...," ujar Freya tersendat-sendat.
"..." Reiga menunggu dengan sabar, menunggu Freya melanjutkan ucapannya.
"Dia sering mengurung aku di tempat gelap seperti ini selama berhari-hari. Bukan cuma gelap, tempat itu juga sempit dan kotor." Freya tidak bisa menahan ingatan itu kembali mendatanginya. Bukan ia tidak pernah berusaha melupakannya. Bukan ia tidak pernah berusaha melawan. Tapi ingatan-ingatan itu begitu kuat mencengkeramnya.
"Apa orang yang kamu maksud itu Kevin Jordie?" tanyanya hati-hati.
"Jangan sebut namanya!" seru Freya tiba-tiba kemudian menutup telinganya dengan kedua tangannya. Mendengar nama itu, di tempat seperti ini, membuat semuanya terasa semakin nyata.
"Oke, maaf ...," ucap Reiga cepat-cepat. "Apa dia melakukan sesuatu yang buruk pada kamu?"
"Sangat buruk," bisik Freya lirih.
"Masih berkeras menolak aku?" Aroma alkohol yang pekat menguar dari tubuh Jordie yang duduk di sisi tempat tidurnya.
"..." Freya diam saja, hanya menatapnya tajam penuh kebencian.
"Masih juga tidak mau menyerah?" tantang Jordie.
"Tidak akan pernah." Freya mendesis berani.
"Tetap lebih memilih mati?" Bukan Jordie berbaik hati menghargai keinginan gadis ini. Ia hanya tidak ingin melihat Freya kembali mencoba mengakhiri hidupnya.
"Mati jelas lebih baik," balasnya dingin.
"Dasar keras kepala!" maki Jordie sengit. Ia bangkit berdiri dan menarik Freya dengan kasar. Dipaksanya gadis itu mengikutinya.
"Mau bawa saya ke mana?" tanya Freya datar. Sama sekali tidak terlihat gentar. Entah sejak kapan, ia berubah menjadi gadis keras yang dingin. Ia bukan lagi gadis lemah yang cengeng, yang selalu menangis ketakutan setiap kali menghadapi masalah. Kini ia menjadi jauh lebih kuat.
"Ke tempat yang kamu suka dan pastinya pantas untuk pembangkang macam kamu!" Jordie terus menyeretnya menuruni tangga demi tangga, melewati gudang-gudang penyimpanan, menyusuri lorong-lorong panjang, yang semakin lama semakin gelap, hingga akhirnya Jordie berhenti di depan sebuah pintu besi. Ditendangnya pintu itu dengan kencang dan didorongnya Freya dengan kasar hingga tersuruk ke dalam sana.
"Tidur saja di sini! Karena kamu selalu menolak aku, sementara aku tidak ingin kamu mati, di sini akan lebih baik. Mungkin setelah merasakan sentuhan-sentuhan manis dari para tikus, kecoak, dan entah apa lagi di dalam sana, kamu akan tahu kalau menghabiskan waktu dengan aku itu jauh lebih baik."
Ketika pintu terbanting menutup di hadapannya, suara anak kunci diputar, kemudian langkah kaki Jordie yang menjauh, Freya menghela napasnya. Matanya mencoba menyesuaikan keadaan di dalam ruangan gelap ini. Ruangan yang benar-benar gelap, tanpa cahaya, tanpa jendela, berbau lembab dan kotor.
***
--- to be continue ---