Ketika akan menuju kamarnya, langkah Reiga terhenti di depan pintu kamar Freya karena menyadari lampu kamar gadis itu masih menyala. Reiga berdiri ragu di sana. Menimbang apakah lebih baik mengajak gadis itu berbicara atau melewatinya saja? Akhirnya ia memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Freya, meski Reiga tahu kamar gadis itu tidak pernah dikunci dari dalam, karena ia sendiri yang melarangnya.
"Belum tidur?" tanya Reiga begitu Freya membuka pintu kamarnya.
Freya mengangguk. "Baru pulang?"
Reiga juga mengangguk sebagai jawaban. "Kamu sedang apa?"
"Mengerjakan hadiah untuk Grandma Louise." Freya mengedik ke arah sofa di dekat tempat tidurnya tempat ia meletakkan gulungan benang.
"Hadiah?" Reiga terkejut namun tidak bisa dipungkiri ia merasa senang. "Buatan kamu sendiri?"
"Hmm." Freya kembali mengangguk.
"Apa yang kamu buat?" tanyanya ingin tahu.
"Cardigan. Rasanya akan cocok untuk Grandma," ujar Freya disertai seulas senyum. "Memang ini biasa saja, tapi karena ini handmade, saya harap Grandma akan suka."
"Saya rasa juga begitu." Reiga ikut tersenyum kecil. "Kalau begitu, menurut kamu hadiah apa yang harus saya berikan untuk Grandma."
"Cardigan?" Kening Freya berkerut, ia kembali mengedik ke belakang sambil menjawab dengan nada bertanya.
"Itu 'kan dari kamu."
"Anggap saja dari kita berdua," balas Freya tenang.
"Mana bisa begitu?" Reiga tertawa kecil. "Saya 'kan tidak ikut membuatnya bersama kamu."
"Tapi kalau bukan karena kamu memanggil guru crochet untuk saya, saya tidak mungkin bisa membuatnya." Freya yang awalnya sangat membenci pelajaran crochet karena merasa bahwa itu hal yang sia-sia, tiba-tiba merasa bersemangat untuk menekuninya demi membuatkan hadiah untuk Louise.
"Baiklah." Melihat Freya yang bersikap sangat kooperatif malam ini, Reiga merasa senang. "Kalau begitu mungkin saya akan tambahkan dengan membeli kue kesukaan Grandma saja."
"Kue apa yang Grandma suka?"
"Seingat saya Grandma suka macam-macam pie dan pastry." Reiga tahu dengan baik makanan kesukaan Louise, karena sejak dulu sang nenek sering membuatnya sendiri dan memberikannya pada cucu-cucunya.
"Kalau begitu tidak perlu beli," ujar Freya tenang. Dia bisa membuatnya sendiri. Lagi-lagi karena Reiga yang memanggilkan guru untuknya mengajarinya.
"Jangan bilang kamu juga mau membuatnya sendiri?" tanya Reiga menahan tawa.
"Tidak boleh?" balas Freya.
"Bukan begitu." Reiga langsung menggeleng. "Saya hanya jadi merasa tidak enak sama kamu."
"Tidak masalah. Saya senang melakukannya." Freya sendiri merasa heran dengan dirinya yang langsung jatuh cinta pada Louise dan mau melakukan apa saja untuk menyenangkan wanita tua itu. Bersama Louise, Freya seperti menemukan sebuah keluarga.
"Kalau begitu terima kasih." Reiga mengangguk kecil.
"Mmm ...." Freya terlihat ragu untuk bertanya.
"Ya?"
"Nanti saya boleh ikut ke rumah Grandma Louise lagi?" tanyanya hati-hati.
Sebelah alis Reiga terangkat. "Kamu senang sekali berada di sana, hm?"
"..." Freya mengangguk pelan.
Reiga tersenyum samar. "Kamu boleh ikut. Sekarang tidurlah, ini sudah malam."
***
"Boleh saya masuk?" Reiga berdiri di pintu kamar Freya dan memerhatikan hal yang sedang gadis itu kerjakan.
Freya yang tengah duduk di sofa sambil menekuni gulungan benang di pangkuannya, tersentak begitu mendengar suara Reiga. Diangkatnya kepalanya dan menatap heran sosok yang berdiri santai di ambang pintu kamarnya. Heran melihat Reiga yang kini sering bertandang ke kamarnya, heran mendengar pemilik rumah ini meminta izin terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam kamar yang ia tempati. "Mau apa?"
"Kamu sedang mengerjakan cardigan untuk Grandma, 'kan?" Reiga mengedik ke arah tangan Freya.
"Hmm." Freya mengangguk.
"Saya mau ikut menemani." Reiga berjalan masuk lalu duduk dengan tenang di sebelah Freya.
"..." Freya mengerjap bingung, tapi tidak bisa berkata apa-apa.
"Kamu tenang saja, saya tidak akan macam-macam." Reiga tertawa geli melihat kepanikan di mata Freya. "Dan saya juga tidak akan ganggu kamu."
"Kenapa tidak tidur saja?" Freya berusaha untuk tidak terganggu dengan kehadiran Reiga.
"Belum mengantuk. Lagipula besok hari Sabtu."
Mendengar kata Sabtu, Freya langsung bereaksi. "Kamu mau ke rumah Grandma?"
"Sayangnya tidak," balas Reiga tanpa berpikir dulu.
Freya diam saja, berusaha untuk tidak terlihat kecewa dengan jawaban Reiga.
"Minggu depan saja di hari ulang tahun Grandma," lanjut Reiga.
"..." Freya menoleh kemudian menatap Reiga dengan pandangan bertanya.
Reiga mengangkat bahunya santai. "Nanti Grandma akan mengomentari saya yang tidak punya tempat tujuan selain kantor dan rumah Grandma."
Freya memicingkan matanya. Teringat percakapan antara Reiga dan Louise waktu itu. "Memangnya kamu benar-benar tidak pernah jalan-jalan?"
"Setiap hari saya jalan-jalan," balas Reiga asal.
"Bukan urusan pekerjaan maksudnya," sahut Freya gemas.
"Jalan-jalan itu enak kalau ada yang menemani. Kalau sendiri malah jadi menyedihkan," tandas Reiga.
"Kenapa tidak ajak seseorang? Pasangan kamu misalnya," balas Freya spontan.
Reiga tergelak kencang mendengar kata-kata Freya. "Kamu pikir kalau saya sudah punya pasangan, saya bisa menyimpan kamu di rumah saya tanpa menimbulkan masalah?"
Meski sebal dengan istilah 'menyimpan' yang Reiga gunakan, Freya terpana melihat pria ini tertawa selepas itu di hadapannya. Selama ini, jangankan melihat Reiga tertawa lepas, melihatnya tersenyum saja jarang, bahkan melihat Reiga dalam wajah bersahabat saja merupakan momen langka.
"Benar juga." Freya bergumam membenarkan. Namun pikirannya jadi menjalar ke mana-mana.
Reiga melihat Freya membuka kemudian mengatupkan mulutnya kembali, seolah ingin mengatakan sesuatu. "Kamu terlihat masih ingin mengatakan sesuatu."
"..." Freya menoleh dan menggeleng. Tapi matanya memang menyiratkan rasa penasaran.
"Ya, kamu seperti ingin bilang sesuatu," desak Reiga.
Freya mengedikkan bahunya pelan. "Saya cuma heran kenapa kamu tidak punya pasangan."
"Memang apa anehnya?" balas Reiga santai.
"Saya rasa usia kamu sudah cukup untuk berkeluarga. Atau kalau belum berkeluarga, pasangan setidaknya ada." Freya tidak mengerti bagaimana sekarang mereka bisa berbincang-bincang santai seperti ini tanpa menaikkan level suara masing-masing.
"Memangnya kalau seusia saya harus punya pasangan?" tanya Reiga geli.
"Yang saya tahu laki-laki di usia berapa pun, tidak suka sendirian. Mereka senang dikelilingi perempuan, baik dengan status atau pun tidak. Apalagi laki-laki yang punya uang dan kekuasaan."
Reiga terkekeh. "Teori itu tidak berlaku buat saya."
"Apa kamu tidak suka dengan perempuan?" celetuk Freya.
Reiga mengernyit curiga. "Dalam artian?"
"Penyuka sesama jenis?" ujar Freya setengah berbisik.
Lagi-lagi Reiga tergelak kencang."Saya normal, Freya. Hanya malas dan tidak minat saja untuk menjalin kedekatan dengan perempuan. Terlalu merepotkan buat saya."
Freya meringis menyadari kebodohannya.
"Kamu sendiri? Sudah pernah memiliki kekasih?" tanya Reiga setelah tawanya reda. Sebenarnya Reiga cukup heran dengan efek yang Freya timbulkan padanya akhir-akhir ini. Perasaannya terasa lebih ringan dan santai setiap kali menghabiskan obrolan singkat bersama gadis ini. Bahkan saat ini ia bisa sampai tertawa lepas karena kepolosan dan keterusterangan Freya yang menurutnya lucu.
Freya menggeleng ngeri. "Hidup saya sudah cukup repot tanpa perlu ditambahi dengan urusan percintaan."
"Perempuan biasanya senang memiliki seseorang untuk tempat bersandar. Ada yang menjaga dan memberi perhatian," lanjut Reiga.
"Saya tidak termasuk di antaranya." Freya bergidik ngeri. Pengalamannya dengan laki-laki selalu buruk sejauh ini.
Reiga menatap Freya cukup lama, kemudian mengangguk membenarkan. "Kamu memang terlihat begitu."
"..." Freya mengernyit, menatapnya dengan pandangan penuh tanya.
"Keras kepala dan mandiri." Reiga terkekeh.
***
--- to be continue ---