7. Sisi Lain

1711 Kata
"Apa kamu memang selalu sediam ini?" Reiga merasa terganggu dengan suasana di dalam mobilnya yang sangat hening. Jika biasanya ia memang sendirian di dalam mobil, maka sepi adalah hal yang wajar. Tapi jika ada orang lain di dalam mobilnya namun tidak ada terjadi percakapan sama sekali di antara mereka, Reiga risih. "Hmm." Freya mengangguk kecil. "Setahu saya, perempuan biasanya banyak bicara," ujar Reiga menanggapi sambil matanya tetap fokus ke arah jalanan di depannya. "Teori itu tidak berlaku untuk saya," balas Freya datar. "Kamu tidak suka bicara dengan semua orang atau hanya dengan orang-orang yang kamu tidak suka?" tembak Reiga. Mungkin saja karena gadis ini membencinya, maka gadis itu malas berbincang-bincang dengannya. "Semua orang." Reiga mengernyit. "Memangnya kamu tidak punya teman selama ini?" "Tidak." "Satu teman pun tidak ada?" tanya Reiga tidak percaya. Freya mengangguk yakin. "Tidak pernah ada." "Kamu aneh sekali," gumam Reiga. Sepanjang pengetahuannya, makhluk bernama perempuan itu selalu hidup secara berkoloni. Jarang sekali menemukan makhluk individual di antara mereka. "Saya tidak bisa percaya pada siapa pun." Tanpa sadar ia menghela napasnya. "Itu alasan saya tidak mau dekat dengan orang lain, berteman, atau menjalin hubungan apa pun." "Menyedihkan sekali hidup kamu." Reiga meringis memikirkan hidup Freya yang nyatanya lebih menyedihkan dibanding hidupnya sendiri. Bagi Reiga, hidupnya saja sudah menyedihkan. Tidak memiliki banyak orang yang dapat ia percaya, namun setidaknya masih ada. Tapi gadis ini sama sekali tidak punya satu teman pun. "Tidak perlu diperjelas, saya sudah tahu," balasnya ketus. "Kamu membenci saya?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu tercetus dari mulut Reiga. Freya menoleh perlahan ke arah Reiga dan menatapnya. "Kelihatannya?" Menyadari Freya yang menoleh ke arahnya, Reiga melakukan hal yang sama. Menatap mata Freya lekat-lekat, kemudian mengangguk setelah mendapat sebuah kesimpulan. "Kelihatannya begitu." "Bagus kalau sadar," gumam gadis itu kejam. "Kamu membenci Farell?" tanya Reiga lagi. "Maunya begitu, tapi tidak bisa." "Kenapa?" "Karena dia sudah melakukan banyak hal untuk saya. Dan cuma dia yang saya punya," jawabnya sendu. Rasa penasaran Reiga terpancing. Entah mengapa ia ingin tahu lebih dalam mengenai kehidupan gadis ini. "Kalian hanya hidup berdua?" "Hmm." Freya mengangguk kecil. "Orang tua kalian?" tanyanya hati-hati. "Sudah tidak ada." Reiga mengangguk paham. Sekarang ia mengerti kenapa Farell bisa-bisanya menyerahkan Freya dengan sedemikian mudah. Ternyata karena hanya tinggal mereka berdua saja di dunia ini. "Bagaimana ceritanya kalian sampai terjebak bersama Kevin Jordie?" "Kenapa ingin tahu?" Mendengar nama itu membuat kemarahan di dalam diri Freya kembali bangkit. "Hanya penasaran." Reiga menjawab santai. "Sepengamatan saya, Farell orang yang baik, dia juga cerdas. Kalau tidak terjebak bersama Kevin Jordie, mungkin masa depannya akan baik." Analisa Reiga memang benar. Kakaknya adalah orang yang baik. Dulu. "Mas Farell tidak pikir panjang. Setelah Mama kami meninggal, yang Mas Farell pikirkan cuma mencari uang untuk mencukupi kebutuhan kami dan terus menyekolahkan saya. Mas Farell meninggalkan kuliahnya dan bekerja untuk orang itu." "..." Reiga diam mendengarkan. Cukup takjub mendengar gadis ini mau berbicara panjang lebar dengannya. "Dan manusia tanpa hati itu memanfaatkan kondisi kami. Memanfaatkan ketidakberdayaan kami demi kepentingannya sendiri. Dia membuat kami berhutang banyak dengan membiayai seluruh pendidikan saya. Hutang demi hutang yang semakin bertumpuk membuat Mas Farell tidak bisa berhenti bekerja untuk orang itu," lanjut Freya. "Kakak kamu pernah mencoba berhenti?" "Pernah. Tapi akibatnya malah membuat keadaan kami semakin buruk." "Apa yang Jordie lakukan?" Reiga semakin penasaran. Sebenarnya ia bisa mencari tahu semua itu sendiri, tapi mendengarkan cerita itu mengalir dari mulut Freya terasa lebih menyenangkan. "Dia memberi Mas Farell pilihan. Tetap bekerja untuk dia, atau pergi dan membiarkan dia menjual saya." "Dan Farell memilih bertahan demi kamu?" "Hmm." Freya mengangguk sedih. Sejak saat itulah kehidupan mereka semakin hancur. Mereka terjerat semakin dalam lubang gelap tanpa tahu cara untuk membebaskan diri. Hening setelahnya. "Sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Freya setelah mereka berkendara cukup lama, melewati beberapa pusat perbelanjaan, namun Reiga terus saja menyetir tanpa terlihat akan berhenti. "Saya juga belum tahu." "..." Mata Freya melebar tanpa sadar. "Saya tidak tahu mau membeli apa untuk oma saya. Mungkin kamu bisa memberi saran?" Freya menggeleng kecil. "Saya tidak bisa bantu memilihkan hadiah untuk orang yang tidak pernah saya lihat." "Kalau begitu, sebaiknya hari ini kita ke rumah Grandma Louise saja." "Hadiahnya?" "Lain kali." "Memang ulang tahunnya kapan?" "Masih akhir bulan nanti." "..." Freya menghitung dalam hatinya. Akhir bulan berarti masih ada waktu sekitar dua minggu.  "Mau ikut saya bertemu Grandma? Nanti kalau sudah berkenalan, mungkin kamu bisa membantu saya memilih hadiah yang tepat." "Saya bukan orang yang senang berkenalan dengan orang baru." "Saya yakin kamu pasti akan menyukai Grandma Louise." *** "Grandma," Reiga memanggil seorang wanita tua berwajah Latin yang tengah duduk membaca buku di atas tempat tidurnya. "Rei! Masuk, Sayang." Louise menutup bukunya, meletakkannya di nakas samping tempat tidurnya. Wajahnya tampak berbinar menatap Reiga. Reiga menoleh ke belakang dan mengajak Freya ikut masuk ke dalam kamar Louise. "Ayo, masuk!" Freya mengikuti langkah Reiga dengan ragu. Ia selalu merasa tidak nyaman ketika harus berhadapan dengan orang baru. "Nona, kenapa berdiri saja di situ? Mendekatlah," panggil Louise ramah ketika menyadari Reiga tidak datang sendiri. Ini sungguh kejutan, untuk pertama kalinya Reiga mengunjunginya dengan membawa seseeorang, perempuan pula. Reiga menoleh ke arah Freya yang berdiri di dekat tempat tidur Louise. "Freya, ini Grandma Louise. Grandma, ini Freya." Melihatnya keduanya dari dekat, Freya menyadari kemiripan di antara mereka. Sekarang tahulah Freya dari mana Reiga mendapatkan perpaduan wajah Asia dan Latin-nya itu. Freya mendekat dan menyalami Louise, namun wanita itu malah menarik Freya mendekat dan mengecup kedua belah pipinya. "Cantik sekali," puji Louise dan sukses membuat wajah Freya memerah. Ditepuknya lembut pipi Freya. "Jadi siapa Nona cantik ini, Rei?" "Freya ini adiknya teman Rei, Grandma," jawab Reiga santai. Louise mengangguk sambil tersenyum hangat. Ditepuknya sisi tempat tidurnya. "Sini, Sayang. Duduk di sini dan temani nenek tua ini berbincang." "Maaf, Nyonya. Boleh saya ke toilet dulu?" Freya meringis menahan rasa ingin berkemih yang ditahannya sejak tadi. "Tentu boleh, Cantik. Tapi jangan panggil aku nyonya. Panggil aku grandma, Sayang." "Baik, Grandma. Saya ke toilet dulu." Freya bergegas menuju pintu kamar mandi mengikuti arah yang Reiga tunjuk. "Kenapa kamu ke sini lagi, Sayang? Baru minggu lalu kamu datang." Louise memandangi Reiga penuh sayang. Reiga berjongkok di sebelah tempat tidur Louise. Mengambil tangan keriput Louise, dan menggenggamnya hangat. "Grandma nggak suka Rei datang, ya?" "Tentu Grandma suka, Sayang." Louise menangkup pipi Reiga dengan tangannya yang lain. "Tapi Grandma sedih karena itu artinya kamu tidak memiliki tempat lain untuk dikunjungi selain rumah nenek tua ini. Akhir pekan kamu sering sekali dihabiskan bersama Grandma, atau kalau tidak kemari, kamu pasti sibuk mengubur diri dalam tumpukan pekerjaan." Reiga menggeleng dengan tatapan meminta Louise berhenti mengkhawatirkannya. "Rei cuma khawatir sama Grandma. Kalau Rei nggak datang, siapa yang menemani Grandma? Coba Grandma mau ikut tinggal sama Rei, Rei jadi nggak perlu khawatir lagi." Louise tersenyum sedih. Ia tidak bisa meninggalkan rumah yang begitu penuh kenangan akan suaminya. "Hati Grandma ada di sini, Sayang. Grandma tidak bisa memikirkan tinggal jauh dari rumah ini. Jadi buat Grandma, kalian yang sesekali datang berkunjung saja sudah cukup menghibur." Reiga menggenggam tangan Louise semakin erat. "Tapi Grandma harus ingat, kapan pun Grandma mau, rumah Rei selalu terbuka buat Grandma." "Freya, kemari. Jangan diam saja di situ," panggil Louise ketika menyadari Freya berdiri kikuk di depan pintu kamar mandi. Freya merasa tidak tahu harus bersikap bagaimana ketika keluar dari kamar mandi dan menemukan kedua orang itu tengah terlibat dalam pembicaraan hangat yang manis. Ia takjub melihatnya. Tidak pernah dalam kehidupannya yang kejam ini Freya melihat interaksi manis yang menghangatkan hati seperti itu. Dan yang lebih membuatnya takjub adalah sikap Reiga. Pria yang dalam pikirannya selalu menyebalkan, dingin, bahkan terkesan jahat, bisa bersikap lembut seperti itu. "Grandma, Rei terima telepon dulu." Ia bangkit berdiri ketika merasakan ponselnya bergetar. Reiga menuju pintu dan menoleh ke arah Freya. "Kamu ngobrol dulu dengan Grandma, saya ke depan sebentar."            Setelah Reiga meninggalkan kamar, Louise kembali menepuk sisi tempat tidurnya meminta Freya mendekat. "Sejak kapan kamu kenal dengan Reiga, Sayang?" "Belum lama, Grandma. Kira-kira empat bulan." "Baru sebentar ternyata." Wajah Louise terlihat keheranan. "Grandma terkejut Rei mengajak kamu, karena sebelumnya Rei tidak pernah membawa gadis siapa-siapa ke sini, Sayang." Freya tersenyum canggung. Louise mengambil tangan Freya, menggenggamnya, kemudian menumpukan tangannya yang lain di atas punggung tangan Freya. "Tapi Grandma berharap hubungan kalian akan berkembang." Freya merasa terkejut ketika merasakan genggaman hangat Louise di tangannya. Sudah sangat lama Freya tidak pernah merasakan sentuhan hangat dari orang lain. Sentuhan tulus yang membuatnya nyaman, bukan sentuhan menjijikan yang membuatnya mual dan ketakutan. "Anak itu tidak pernah dekat dengan wanita mana pun. Juga tidak pernah bersikap benar menghadapi wanita. Tapi melihat Reiga membawa kamu ke sini, Grandma senang sekali." Freya tidak tahu cara menanggapi kata-kata Louise, maka ia lebih memilih mengalihkan perhatian wanita ini. Freya melemparkan pandangannya keluar jendela dan menemukan bunga cantik berwarna ungu di depan jendela kamar Louise. "Grandma menyukai Ageratum?" Pertanyaan Freya berhasil menyita perhatian Louise. Dia terkejut mendapati gadis muda itu mengetahui nama bunga kesukaannya. Bunga yang bibitnya dibawa dari tanah kelahirannya, bunga yang jarang dikenal oleh banyak orang. "Grandma terkejut kamu mengetahui nama bunga itu, dan ya Grandma menyukainya." "Apakah karena bunga itu mengingatkan akan masa kecil Grandma?" tebak Freya. Louise terkekeh senang. "Sepertinya kamu tahu banyak soal bunga." "Tidak terlalu banyak, Grandma." "Tapi jarang ada gadis muda sepertimu yang tertarik pada hal membosankan seperti ini." "Dulu Mama saya memiliki toko bunga, dan sampai sekarang merawat bunga-bunga itu memberi ketenangan tersendiri bagi saya, Grandma." Reiga masuk dan memutus percakapan mereka. "Grandma, ayo kita ke ruang makan! Letty bilang sudah waktunya Grandma makan."   "Kalian akan menemaniku makan siang?" tanya Louise penuh harap. "Tentu, Grandma." Reiga mengangguk kemudian mendekat dan memapah tubuh Louise, membantunya untuk pindah dari tempat tidur ke atas kursi roda. "Bagus. Aku selalu suka suasana meja makan yang ramai." Louise tersenyum puas. Percakapan demi percakapan terus mengalir di antara mereka, dan tanpa sadar kedekatan di antara Freya dan Louise terjalin begitu saja. Hingga ketika tiba saatnya Reiga dan Freya untuk kembali, gadis itu merasa berat untuk berpisah. Bersama Louise ia bisa memperbincangkan banyak hal dan waktu terasa cepat berlalu. "Kamu suka menghabiskan waktu bersama Grandma?" tanya Reiga saat mereka sudah dalam perjalanan kembali ke rumahnya. "Hmm." Freya mengangguk dengan seulas senyum di wajahnya. Hatinya terasa ringan hari ini. Senyum tipis di wajah Freya membuat Reiga tanpa sadar ikut tersenyum. "Saya tahu kamu pasti akan menyukai Grandma." *** --- to be continue ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN