Part 11

1855 Kata
“Pertanyaan saya, kenapa saya?” Tanpa segan gadis itu mengajukan pertanyaan yang ada dalam kepalanya. Adskhan seketika turut mengerutkan dahi mendengar pertanyaan gadis itu, namun sebelum dia bertanya, Caliana kembali bersuara. “Bukannya saya tidak ingin membantu. Seperti yang saya katakan pada Anda sebelumnya. Saya tidak terlalu dekat dengan Syaquilla. Dan sejauh yang saya tahu, Anda memiliki keluarga yang lebih dekat dengan Syaquilla. Sir Lucas misalnya. Jadi kenapa Anda tidak meminta bantuan beliau?” Masuk akal. Pikir Adskhan. Seperti yang sudah Adskhan duga sebelumnya, Caliana memang berbeda daripada wanita kebanyakan. Jika wanita pada umumnya justru akan menjadikan ini semua kesempatan untuk mencari perhatian Adskhan, maka Caliana tidak. Jika gadis lain akan mengiyakan permintaan Adskhan meskipun mereka tidak tahu cara membantu, maka Caliana bertindak sebaliknya. Adskhan menggaruk pelipisnya tanpa sadar. “Saya tidak akan mengelak kalau Syaquilla memang lebih dekat dengan pamannya daripada saya.” Aku Adskhan jujur. “Ya, mau tak mau Anda harus mengakui kalau Sir Lucas memang lebih mudah didekati.” Gumam Caliana. Adskhan mendengarnya namun ia memilih untuk mengabaikannya. Ia memilih untuk melanjutkan ucapannya yang sebelumnya. “Dan bukannya saya tidak mau meminta bantuan padanya. Hanya saja…” ia memberikan jeda seraya berpikir mencari alasan yang tepat untuk dia katakan. “Kupikir pendekatan sesama wanita akan lebih mudah.” Jawabnya kemudian. Caliana mengangkat sebelah alisnya, tanpa sedikitpun menyembunyikan tatapan kecurigaannya. Lalu kemudian ia mengedikkan bahu.”Kalau begitu, Anda bisa menunggu kembalinya ibu saya dari Manado.” Jawabnya santai. Telak. Adskhan tak punya sanggahan. “Itu bukan ide buruk, sebenarnya. Tapi rasanya akan lebih aneh jika saya meminta bantuan ibu kamu.” “Kenapa?” “Karena saya tidak terlalu mengenalnya.” Jawab Adskhan apa adanya. “Apa bedanya? Anda juga tidak terlalu mengenal saya.” Ucap Caliana lagi. Ya Tuhan, kenapa sesulit ini. Gumam Adskhan dalam hati. Tidak mungkin juga dia mengatakan secara terang-terangan kalau dia ingin mencapai dua pulau dalam sekali dayung kan? Beruntungnya pintu lift kemudian terbuka dan ia memiliki jeda lainnya untuk merangkai alasan. Mereka berjalan keluar dari lift dan seketika disambut oleh pekikan ceria remaja yang sudah mereka kenal. “Itaaannn…” pekikan lantang itu diiringi dengan cengiran lebar dan lambaian tangan sosok gadis yang merupakan kembaran kecil Caliana. “Lama bingits sih..” gerutu gadis itu ketika Caliana dan Adskhan mendekat. “Carin udah laper Tannn…” lanjutnya. “Kerjaan kamu tuh, lapar melulu. Sebenarnya itu perut atau kantong ajaib sih?” ledek Caliana. “Yah Itan, emangnya Carin Doraemon?” ucap gadis itu seraya memutar bola mata. “Ya udah, ayo.” Ucap Caliana lagi. Namun sebelum keduanya melangkah, Adskhan menahan lengan Caliana. “Jadi?” tanya pria itu masih menunggu keputusan. Caliana memandang Adskhan dengan datar namun penuh pemikiran. “Anggap saja aku tidak punya banyak waktu. Jika kesempatanku denganmu tidak berhasil, setelah Lucas kembali, aku akan meminta bantuannya.” Ucapnya sedikit memelas. Caliana terdiam, lalu kemudian mengangguk. “Akan saya pikirkan.” Ucapnya pelan. Adskhan melepas tangannya dengan perlahan. “Mana Qilla?” tanya Caliana saat ia sudah berada dekat dengan keponakannya. “Karena hari ini dia gak akan nginep di rumah Itan. Jadi ya, dia ada di rumahnya.” Jawab Carina santai. Caliana hanya menganggukkan kepala. “Jadi, mau beli makan trus pulang, atau pulang dulu terus cari makan?” tawar Caliana kemudian. “Kita pulang, Itan mandi, sholat magrib abis itu baru makan diluar.” Saran Carina. Caliana hanya mengangguk saja dan kemudian mobil melaju ke perumahan pribadi miliknya. Jarak rumah Caliana memang tidak terlalu jauh dari kantor. Sepuluh menit saja mereka sudah sampai di komplek perumahan Caliana. Bukan tipe cluster mewah, namun juga bukan perumahan subsidi. Tapi rumah kelas menengah yang dibeli Caliana dari hasil warisan yang didapatnya sepeninggal Papanya. Cantik, muda dan kaya. Hal itu cukup menggambarkan sosok Caliana. Bagaimana tidak, di usianya yang baru menginjak ke dua lima, dia sudah memiliki semuanya. Rumah, mobil dan juga usaha di bidang kuliner. Dan pekerjaannya sebagai seorang akuntan di Coskun pun gajinya tidak bisa dikatakan sedikit. Belum lagi setiap bulannya dia mendapatkan persentase keuntungan yang didapat dari perusahaan mendiang ayahnya yang saat ini dikelola kakaknya. Selain itu, menjadi satu-satunya anak perempuan di keluarganya juga memberikan begitu banyak keuntungan. Karena selain hal disebut diatas, dia juga sudah pasti mendapatkan uang jajan bulanan dari ketiga kakak laki-lakinya. Jadi, sebenarnya tanpa bekerja pun Caliana sudah mendapatkan penghasilan yang cukup. Lebih dari cukup malah. Terlebih usahanya meningkat dengan pesat. Pendapatannya bisa mencukupi biaya hidupnya selama sebulan. Dan tidak hanya itu, Caliana itu sangat pandai dalam melakukan investasi. Jadi kenapa Caliana masih terus bekerja? Alasannya karena. Satu, ibunya sangat tidak suka jika dia mengerjakan cafenya. Beliau selalu mengatakan bahwa Caliana harus memiliki pekerjaan tetap yang menopang hidupnya. Dua, menurut ibunya pula. Bekerja bisa membuatnya menemukan jodoh yang tepat untuknya. Orang yang mapan. Seolah mapan saja cukup untuk mengisi kualifikasi seorang suami. Caliana membuka gerbang rumahnya. Ia sengaja memasang pintu pagar besi yang tinggi untuk menghindari hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Meskipun komplek perumahan ini terbilang aman, tapi tetap saja. Ia wanita dan lebih banyak tinggal sendirian di rumah. Jadi lebih baik mencegah daripada kebobolan. Mereka masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar. Caliana masuk ke dalam kamarnya sementara Carina masuk ke dalam kamar lain yang memang selalu dia gunakan setiap kali dia menginap di tempat Caliana. Saat Caliana sedang melepas kemejanya, keponakannya itu membuka pintu kamar tanpa permisi, membuat Caliana memekik dan melotot padanya. “Carin!” pekiknya tajam. Di daun pintu remaja itu malah balik nyengir padanya. “Iya maaf, salah Itan sendiri kenapa gak kunci pintu.” Ucap bocah itu tanpa merasa bersalah sedikitpun. Caliana memutar bola mata namun melanjutkan kegiatannya membuka celana dan melemparkannya dengan sembarangan ke dalam kerangjang cucian. “Apa? Sampe gak sabar nunggu beres mandi dulu.” Tanyanya yang kemudian meraih bathrobe dan mengenakannya. “Carin lihat di lemari es masih ada bahan makanan. Kita masak aja ya?” tawarnya. Caliana mengerutkan dahi. "Yakin mau masak aja? Nanti kamu yang nyuci piring, mau?" tanyanya. Carina mengangguk antusias. "Gak papa." Ucapnya yakin. Caliana mengedikkan bahu. “Ya udah, Itan mandi dulu.” Ujarnya dan berjalan masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, Caliana sudah keluar kamar dengan rambut basah setelah keramas yang ia bungkus dengan handuk kecil. Mengenakan kaus oversize lengan pendek dan juga celana setengah paha berwarna krem. "Let's see." Gumamnya membuka lemari es dua pintunya, melihat apa saja yang bisa dia makan. "Nasi, mie atau pasta?" "Nasi aja. Carina udah bikin nasinya." Tunjuknya pada rice coocker yang mulai berbunyi mendidih. Caliana membulatkan matanya. "Gercep juga kamu." Ledeknya. Carina kembali menunjukkan cengirannya. "Ya, kalo urusan makan kan harus gerak cepat Tan. Masak nya agak banyakan ya, kalo gak habis kan bisa buat sarapan." Pinta Carina. Caliana hanya menganggukkan kepala. Ia mengambil ayam dari dalam frezeer dan mendinginkannya dalam suhu ruang di dalam air. Sementara itu ia meracik bumbu untuk ayamnya dan mengeluarkan labu hijau beserta cabai untuk tumisannya. Carina membantunya mengupas bawang dan memetik cabai. Caliana ingin makan makanan pedas. Pekerjaan mereka terhenti saat waktunya magrib. Dan berlanjut setelah kewajiban mereka di tunaikan. Setengah jam kemudian, saat Caliana sedang meniriskan ayam dari bumbu kuningnya, bel rumahnya berbunyi. Caliana mengernyit, memandang keponakannya yang hanya mengangkat bahu, namun tak ayal beranjak juga menuju pintu. "Siapa?" Teriaknya dari dapur. "Qilla!" Jawab Carina dengan teriakan juga. Ia masuk kembali ke dalam rumah diikuti Qilla di belakangnya. "Buku Qilla ketuker, dia mau ambil." Carina masuk ke dalam kamarnya sementara Syaquilla mendekat ke arahnya. "Itan masak apa?" tanya gadis itu penasaran. "Ayam goreng, tumis labu sama sambal. Qilla udah makan?" Gadis itu menggeleng. "Kita makan bareng aja, supirnya ajak masuk aja." Ujar Carina tanpa mengalihkan perhatiannya dari ayam yang sedang dibaliknya. "Qilla kesini sama Papa." Ucap gadis itu malu-malu. Caliana tertegun sejenak. Terbiasa melihat Syaquilla diantar supir, jadi ia sedikit kaget ketika papanya sendiri yang mengantar sang putri. "Oh.." gumam Caliana. "Ya udah, ajak aja Om sekalian. Tanggung juga, bentar lagi mateng ini." Jawab Carina datar. Ia menyerahkan buku ke tangan Syaquilla seraya mengedipkan sebelah mata. "Gak papa kan, Tan?" Caliana hanya mengangkat bahu. "Ya gak papa, kalo Papanya Qilla mau. Lagian masaknya banyak pula." Jawabnya masih tak mengalihkan perhatiannya pada masakannya. Kali ini ia sedang mengulek sambal sekaligus sesekali mengaduk tumisannya. "Ya udah. Biar Papanya Qilla, Carin yang panggil. Kamu bantuin Itan sana." Perintahnya pada Syaquilla. "Siapin piring sama gelasnya aja." Perintah Carina yang mulai menyusun ayam yang ia tiriskan ke atas piring. Lalu tumisannya ke dalam mangkuk besar. "Beneran gak papa numpang makan disini?" Tanya Adskhan yang masuk mengikuti Carina. Pria itu tertegun sejenak ketika melihat Caliana yang biasanya rapi dengan setelan kerja nya kini mengenakan pakain santai yang malah membuatnya terlihat menggoda. Kakinya yang putih dan panjang terlihat mulus dan menggiurkan untuk disentuh. Dan atasannya, kaus kebesaran itu justru membuatnya terlihat lebih menggiurkan lagi. Menunjukkan lengan putihnya, dan garis lehernya yang putih dan jenjang. Rambut-rambut nakal yang keluar dari balik handuk kecilnya dan menjuntai di kedua sisi lehernya justru seolah mengundang Adskhan untuk mengecupnya. Ya Tuhan, godaan macam apa ini. Ia hanya berniat mengantar putrinya mengambil buku lalu setelahnya hendak mengajaknya makan di sebuah cafe yang disarankan Lucas, sebelum akhirnya malah mendapatkan tawaran makan malam di rumah Caliana dengan sajian pembuka si pemilik rumah itu sendiri. "Makan di halaman belakang aja ya. Biar berasa lesehan gitu." Ucapan Carina mengalihkan perhatian Adskhan. Bagai kerbau dicocok hidung, Adskhan mengangguk saja dan mengikuti sahabat putrinya itu ke area belakang rumah dengan membawa rice coocker di tangannya. Sementara Syaquilla membawa alat makan dan Carina membawa teko berisi minuman dingin. Di belakangnya Caliana membawa nampan berisi lauk pauk yang di masaknya. Gazebo berbentuk persegi berukuran dua kali dua meter itu sudah dilapisi karpet puzzle dengan motif kayu. Adskhan memindahkan meja kayu rendah yanh terletak di sisi luar gazebo ke dalam gazebo sebelum akhirnya meletakkan rice cooker di atasnya. Caliana duduk di samping Carina, sementara Syaquilla duduk di sampingnya. Posisi mereka duduk berhadap-hadapan. "Kayak lagi piknik ya." Gumam Syaquilla saat Caliana menyerahkan piring yang sudah diisi nasi ke hadapannya. "Iya, piknik keluarga berencana." Jawab Carina datar. "Kok keluarga berencana?" Syaquilla mengerutkan dahi. "Iya, dua anak cukup." Jawab Carina dengan gaya yang dibuat mirip seperti iklan keluarga berencana yang muncul di tv. "Trus kalo ini liburan keluarga berencana, kalian jadi anaknya gitu?" Jawab Caliana yang menyendokkan nasi untuk Adskhan kemudian untuk dirinya sendiri. "Ya iya, anggap aja aku sama Qilla kembaran. Masa iya kembaran sama Itan." Carina kembali menjawab dengan cueknya seraya memasukkan lauk-pauk ke atas piringnya. "Om, kalo masakannya gak enak maklumin aja, ya. Kalo keasinan gak usah komen, kata orang itu tandanya pengen nikah." Adskhan hanya tersenyum mendengarnya. Ia tidak bisa fokus pada makanannya, ia malah lebih fokus memperhatikan Caliana yang sibuk melayani semua orang. Dan melihat wajahnya yang tanpa olesan apapun serta aroma tubuhnya yang segar dalam jarak sedekat ini benar-benar membuat Adskhan tidak tahan ingin menyentuhnya. Lagi-lagi Adskhan harus ekstra menahan diri. "Itan gak sopan. Masa mau makan itu handuk masih dipake." Komen Carina sat sadar dengan penampilan tantenya. "Udah biarin aja, kamu rempong deh ih. Makan di rumah ini, bukan di cafe." Jawabnya Caliana santai dan memilih menyuapkan makanan ke dalam mulutnya tanpa menggunakan sendok. "Kalo uncle tahu, bakal diomelin." Gumam Carina dengan gaya so' dewasanya. "Dia gak tahu ini." Jawab Caliana lagi. Selanjutnya acara makan kembali di d******i dengan obrolan Carina dan Syaquilla. ___________________ Buat yang belum kasih komen, hayo kasih komennya... ramaikan cerita ini biar bisa up up up
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN