Bab 9: Damon Syok
“Apa?! Nico menikahi Catherine?! Arvind, jangan bercanda!” seru Damon, matanya membelalak tak percaya. Ia menatap tajam sang kakak sepupu, Arvind, seolah menuntut klarifikasi atas kabar mengejutkan itu.
“Kaget sekarang? Iya?” balas Arvind tajam. “Setelah membuat skandal, mengacaukan keluarga, bikin semua orang pusing… sekarang kau malah mengorbankan Nico. Bagus!”
Damon menggeleng cepat, seolah ingin menolak kenyataan yang diucapkan Arvind.
“Tidak! Ini nggak mungkin! Tidak mungkin Nico yang menggantikan aku. Pernikahan itu pasti batal, kan? Iya, kan, Vind?!” suaranya meninggi, panik.
Arvind menatapnya dengan ekspresi jengah, kecewa yang tak bisa disembunyikan.
“Kenapa nggak mungkin, hah? Nyatanya, pernikahan itu tetap berlangsung—meski tanpa dirimu. Catherine tetap menikah, dan Nico yang jadi pengantinnya. Semua itu karena kau, Damon!” dengusnya keras.
Hening. Damon terdiam. Mulutnya membisu. Otaknya menolak untuk menerima kenyataan yang baru saja disampaikan.
Dia meninggalkan Catherine karena merasa belum siap menikah. Lagipula, menurutnya, tak ada yang harus dipertanggungjawabkan.
Catherine bukan kekasihnya. Dia tidak pernah mencintai wanita itu. Mereka hanya berteman—bersahabat. Tak lebih. Meski Catherine sering mengaku ke banyak orang bahwa mereka adalah pasangan kekasih.
Entahlah… apa maksud Catherine selama ini? Damon tak pernah benar-benar mengerti.
Termasuk ketika wanita itu tega menjebaknya, membuat keadaan seolah-olah mereka tidur bersama dan melakukan sesuatu yang tak pantas.
Tidak!
Damon yakin, bahkan dalam keadaan tak sadarkan diri, dia tidak menyentuh Catherine. Tidak menyentuh wanita itu—sama sekali tidak. Meski Catherine bersumpah bahwa mereka telah melakukannya, Damon tetap tidak percaya.
“Vind… Seharusnya Nico menolak. Bukan malah mau-maunya dia ganti posisi ku,” gumam Damon akhirnya, suaranya pelan, nyaris terdengar seperti penyesalan.
Arvind, yang sejak tadi menahan emosi, kini tak bisa menahan lagi.
“Itu menurutmu! Tapi kau nggak tahu bagaimana kondisinya saat itu! Aunty Cla memaksa Nico, Damon. Bahkan Grandpa Morgan menolak keras, tapi dia juga nggak digubris! Mereka bertengkar! Suasana sangat tegang, dan semua itu—semua!—gara-gara kau!” bentak Arvind, suaranya meninggi.
Damon menunduk. Pandangannya kosong, tak lagi sanggup menatap Arvind. Perlahan, kedua tangannya terangkat ke kepala. Jemari-jemarinya menelusup ke sela-sela rambut tebalnya, lalu mencengkram kuat-kuat.
‘Arghh! Sial!’ teriaknya dalam hati. Rambutnya diremas, wajahnya frustrasi.
‘Nico pasti marah sekali. Dia pasti nunggu aku kembali…’
‘f**k! Ini semua gara-gara kamu, Cath! Kalau saja kamu nggak nekat, semua ini nggak akan terjadi!’
Di tengah gejolak hatinya yang semakin kalut, Damon menoleh saat mendengar suara Arvind kembali terdengar.
“Kau tahu, aku sarankan jangan pulang sekarang. Tunggu sampai semuanya agak tenang. Atau setidaknya tunggu sampai Grandpa Morgan kembali ke New York. Kalau dia lihat wajahmu sekarang, aku jamin dia akan menghajarmu habis-habisan,” ujar Arvind. Sarannya masuk akal.
Damon juga memikirkan hal itu. Ia bersyukur jika Sang Kakek Morgan tidak sampai membunuhnya. Karena akibat kebodohan dirinya, cucu emas pria tua itu—Nicolas—justru menjadi korban.
Ia bisa membayangkan betapa murkanya sang kakek yang selama ini dijuluki iblis tua oleh semua orang yang mengenalnya.
Damon bisa bayangkan dengan jelas betapa murkanya kakek mereka yang kejam itu.
Seketika tubuh Damon bergidik.
Bayangan tongkat emas sang kakek menghantam kepalanya, atau… yang lebih buruk lagi, pria tua itu mungkin saja benar-benar menembakinya dengan pistol antiknya.
Tidak! Tidak! Damon tidak ingin bayangan mengerikan itu menjadi kenyataan.
Kemudian, Damon mengangguk pelan, menyetujui saran Arvind.
“Oke… aku tidak akan pulang sekarang,” gumamnya pelan.
Arvind menghela napas pendek. Meski merasa bersalah karena terpaksa merahasiakan keberadaan Damon dari keluarga, terutama dari Nicolas, di sisi lain ia juga tak tega jika harus membiarkan sepupunya itu dihukum oleh semua orang.
Menurutnya, jika Damon memang harus menerima konsekuensi, biarlah itu datang dari Nicolas saja. Jangan sampai Morgan juga ikut turun tangan. Kalau sampai kakek mereka turun tangan… bisa-bisa Damon tidak akan selamat.
Ya, sejak kabur dari pernikahan dengan Catherine kemarin, baru hari ini Damon memberanikan diri menghubungi seseorang—dan orang itu adalah Arvind, satu-satunya yang ia percaya.
Meski Arvind marah dan kecewa, Damon tahu, sepupunya itu tidak akan tinggal diam membiarkannya dalam bahaya.
**
Sementara itu, di tempat berbeda—tepatnya di kamar hotel—Nicolas dan Catherine baru saja kembali usai sarapan di restoran lantai dasar.
Meski awalnya Catherine tampak semangat memilih menu, nyatanya ia tak menikmati satu pun makanan di hadapannya. Pikiran wanita itu melayang, dipenuhi satu nama: Hale.
Bagaimana pria itu sekarang?
Apa yang dia pikirkan setelah tahu dirinya sudah menikah?
Karena Catherine mendadak diam dan kehilangan selera makan, Nicolas yang sudah muak akhirnya menyudahi sarapan lebih cepat dan menyeret Catherine kembali ke kamar.
Dan disinilah mereka sekarang. Dalam suasana tegang dan sunyi.
Nicolas duduk di sofa dengan wajah datar dan dingin khas dirinya. Sementara Catherine terduduk di tepi ranjang, kesal menahan emosi. Ia masih tidak bisa menerima sikap suaminya tadi di hadapan Hale.
“Kamu nggak seharusnya bicara seperti itu ke Profesor Hale tadi,” ucap Catherine, akhirnya memecah keheningan.
Nicolas yang sedang fokus menatap layar ponselnya seketika berhenti menggulir. Ia mengangkat wajah, menatap Catherine dengan tajam.
“Seperti itu bagaimana maksudmu?” tanyanya datar.
“Ya seperti tadi.” Catherine menjawab singkat, masih menahan kesal.
“Bicara yang jelas, Catherine. Kau bukan balita berusia dua tahun.” Pedas sekali omongannya.
Catherine menggigit bibir bawah, menahan tangis dan amarah yang bersamaan meletup di d**a.
“Tadi kamu bilang kamu lelah karena semalam tenagaku terkuras. Untuk apa kamu mengatakan itu di hadapan Profesor Hale? Kamu pikir aku tidak tahu maksudmu?” sembur Catherine, tak mampu lagi menahan emosinya.
Nicolas tak langsung membalas. Ia hanya menoleh kembali ke ponsel, membuka pesan masuk dari Rion yang baru saja muncul.
“Hey, The Fung… bagaimana semalam? Apakah sang Junior berhasil memasuki lembah hangatnya?”
Pesan dari Rion itu hanya dibaca dalam hati oleh Nicolas. Ia bahkan tak tertarik untuk mengetik balasan. Malas. Jijik. Ia bersumpah, jika bertemu nanti, Rion akan mendapat bogem mentah darinya.
Lalu, Nicolas kembali mengarahkan fokus ke Catherine.
“Silakan jelaskan padaku, di mana letak salahnya dari ucapanku tadi?” ujarnya datar, sembari meletakkan ponsel di atas meja. Tatapannya menusuk, sedingin es kutub.
“Sudah aku jelaskan tadi sebelum kita turun, Nicolas. Semalam kita tidak melakukan apa-apa!”
“Lalu siapa yang mengira kita melakukan apa-apa?” balas Nicolas cepat.
“Ya kamu!” Suara Catherine meninggi.
“Buktinya?”
“Buktinya ya ucapanmu tadi! Di depan Profesor Hale! Kamu bicara seolah—”
“Jadi, menurutmu, hanya bercinta yang bisa menguras tenaga seseorang?” potong Nicolas, sarkastik.
Deg!
Catherine terdiam. Kedua matanya membelalak.
Nicolas bangkit dari sofa. Langkahnya tenang tapi mengintimidasi. Ia mendekat hingga berdiri tepat di hadapan Catherine.
“Benar begitu?” desaknya tajam.
“Mengurus pria mabuk berat yang muntah, merengek, dan nyaris pingsan… itu tidak melelahkan? Baru disebut melelahkan kalau kau mendesah semalaman?”
Tertegun. Kemudian, Catherine mendongak, menatap Nicolas. Tapi sebelum ia sempat bicara, Nicolas melanjutkan.
“Kau bilang ucapan itu membuat orang lain salah paham?”
Catherine mengangguk. “Ya! Orang lain bisa berpikir yang macam-macam!”
“Orang lain?” ulang Nicolas. Sorot matanya menyipit. “Kau takut dia salah paham? Profesor Hale? Kenapa? Memangnya apa yang kau sembunyikan? Atau jangan-jangan… kau punya hubungan spesial dengannya? Dengan dosenmu sendiri?”
Catherine terpaku. Matanya mulai memerah. Airnya menggenang. Ia menatap pria di depannya dengan getir.
“Sebenarnya, kau tidur dengan siapa, Catherine? Damon atau dosenmu?”
Deg!
Dada Catherine seketika mencelos. Ucapan itu seperti tusukan belati yang menghunjam dadanya dalam-dalam. Ingin rasanya ia menangis sejadi-jadinya, namun ia menahan.
Walau air mata menggenang, bibirnya tetap bergetar mencoba menahan isak tangis.
“Jaga ucapanmu, Nicolas…” bisiknya lirih, bergetar.
“Aku hanya bertanya. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?”
Hening. Sunyi. Mencekam.
“Kecemasanmu terhadap pria itu…” Nicolas kembali berbicara, pelan namun tajam. “…membuktikan bahwa ada sesuatu di antara kalian. Dan ketika aku menanyakan hal itu, kau justru tidak terima. Tersinggung.”
“Aku tidak tidur dengannya! Aku bukan w************n yang tidur dengan banyak pria!” bentak Catherine dengan suara bergetar.
“Aku tidak tahu kau murahan atau tidak, Catherine.” Jawab Nicolas tanpa ekspresi. “Makanya aku bertanya. Kau tinggal jawab—dengan jujur.”
Catherine akhirnya tak kuasa menahan. Air mata yang sejak tadi mengambang, kini jatuh tanpa henti di pipinya. Namun kali ini, tangis itu tak lagi menyentuh hati Nicolas.
Pria itu hanya menatap dingin. Datar. Muak.
Hening sesaat.
Nicolas menarik pandangannya dari Catherine. Ia menatap ke arah lain, menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.
“Aku menikahimu karena aku menggantikan posisi Damon,” ujarnya akhirnya, suaranya dingin dan tajam. “Tak ada yang tahu apakah kau akan hamil anaknya atau tidak. Tapi kalau ternyata kau positif hamil, maka kau wajib menjaga sikap. Kau tidak boleh dekat dengan pria manapun, apalagi sampai berhubungan. Setidaknya sampai anak itu lahir.”
Ia menatap tajam ke arah Catherine, lalu melanjutkan.
“Setelah itu, terserah kau mau berhubungan dengan siapa, aku tidak peduli. Tapi untuk saat ini, aku dengan tegas melarangmu menjalin hubungan sembarangan! Aku tidak mau Addison memiliki keturunan yang tidak jelas. Kau mengerti?!” bentaknya tajam.
Catherine tersentak. Refleks, matanya terpejam, menahan isak yang hampir pecah dari tenggorokannya.
Nicolas menghembuskan napas kasar, penuh amarah.
“Jangan membuatku repot, Catherine. Karena aku paling benci wanita yang merepotkan! Wanita pembangkang! Menyusahkan!” Ujarnya dingin.
Akhirnya, Catherine terisak pelan. Bahunya bergetar, namun ia masih menahan tangisnya agar tidak meledak di hadapan pria itu.
“Kalau kau memang punya hubungan dengan dosenmu, beritahu dia untuk menunggu. Sampai kau terbukti tidak hamil anak Damon dan pernikahan kita selesai.” tambah Nicolas, penuh penekanan.
Di saat yang sama, ponsel di atas meja tiba-tiba berdering. Nicolas menoleh, lalu segera melangkah dan mengambilnya. Ia melihat layar—nama sopir tertera di sana. Tanpa banyak pikir, ia menerima panggilan itu.
“Ya.” Suaranya tetap dingin.
“Tuan, saya sudah di bawah. Apakah perlu saya naik ke atas?”
“Tidak. Tunggu di bawah.”
“Baik, Tuan.”
Sambungan telepon terputus. Nicolas memasukkan ponsel ke dalam saku celana, lalu melemparkan tatapan tajam ke arah Catherine yang masih terisak di tempat.
“Kita pulang sekarang.” ujarnya tegas.
Tanpa menunggu reaksi dari Catherine, Nicolas langsung melangkah menuju pintu dan keluar dari kamar hotel.
Catherine buru-buru menyusul, langkahnya tergesa. Ia hanya menggenggam ponsel—beberapa barang lainnya akan diurus oleh asisten Nicolas nanti.
Beberapa menit berlalu. Nicolas dan Catherine tiba di lobi hotel, lalu masuk ke dalam mobil. Catherine duduk di samping Nicolas, masih mengusap air mata yang terus menetes.
Sopir langsung menyalakan mesin dan membawa mobil meninggalkan area hotel tanpa menunggu instruksi lebih lanjut.
Hampir lima menit berlalu dalam diam. Hanya isak pelan Catherine yang terdengar di dalam kabin mobil. Lalu tiba-tiba, suara Nicolas memecah kesunyian.
“Berhenti.” perintahnya kepada supir.
Tanpa ragu, sopir menepi dan menghentikan mobil di pinggir jalan.
Nicolas melirik Catherine dengan pandangan tajam.
“Turun.”
Catherine langsung menoleh. Matanya membesar. Ia menatap Nicolas dengan ekspresi tak percaya.
‘Dia ingin menurunkanku… di jalan?’ batinnya tak percaya.
“Aku bilang turun!” bentak Nicolas. Keras.
Namun bukannya menurut, Catherine justru semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat menahan ketakutan.
Nicolas menghela napas dengan kasar, lalu keluar dari mobil. Dengan langkah lebar, ia mengitari bodi mobil, kemudian berhenti di sisi tempat duduk Catherine. Dengan kasar, ia membuka pintu dan tanpa banyak bicara, tangan kanannya langsung meraih pergelangan tangan Catherine.
“Turun!” perintahnya lagi, lebih tegas dan mengintimidasi.
“Aku nggak mau!” jerit Catherine histeris.
“Turun, Catherine!”
“Aku nggak mau, Nicolas! Aku takut…” isaknya tersendat-sendat. Air mata terus mengalir, dan suara tangisnya membuat supir di kursi depan mulai gelisah. Pria itu menolehkan kepala sedikit, tampak bingung harus berbuat apa.
Nicolas membungkukkan tubuhnya, berdiri tepat di antara pintu yang terbuka lebar. Posisi tubuhnya kini terjepit di antara rangka pintu dan kap mobil.
Sebelah tangan mencengkeram kuat tepian pintu, sementara tangan lainnya mencengkeram sisi atas kap mobil. Otot-otot lengan dan rahangnya menegang, ekspresinya seperti bom yang tinggal menunggu meledak.
“Makanya berhenti menangis! Kau dengar? Berhenti menangis, sialan!” bentaknya keras, suaranya menggema di udara terbuka.
Seketika, Catherine terdiam. Tangisnya terhenti meski air matanya masih deras membasahi pipi. Napasnya memburu, dan dengan tubuh gemetar, ia perlahan beringsut mundur—masuk lebih dalam ke kursi tempat Nicolas sebelumnya duduk. Ia memeluk dirinya sendiri, seperti mencoba mencari perlindungan dari ancaman yang tak terlihat.
Melihat itu, Nicolas mendongakkan wajah. Ia menarik napas dalam-dalam lalu berdiri tegak. Dengan gerakan kasar, ia mengusap keringat yang mengalir di dahinya menggunakan telapak tangan, lalu masuk kembali ke dalam mobil dengan kasar dan membanting pintu.
“Jalan.” titahnya dingin kepada sang sopir.
Tanpa berkata sepatah kata pun, supir langsung menjalankan mobil, meninggalkan tempat tersebut dalam sunyi yang mencekam—hanya tersisa isak pelan Catherine yang kembali pecah dalam diam.
Sementara itu, Nicolas memejamkan mata. Kepalanya bersandar pada headrest kursi mobil, mencoba meredam emosi yang bergejolak di dalam dadanya.
Ia marah. Sangat marah.
Catherine begitu terang-terangan menunjukkan kedekatannya dengan Hale.
Cemburu?
Tentu saja tidak. Mana mungkin Nicolas merasa cemburu?
Sebelumnya, hubungan mereka bahkan tak pernah dekat. Meski sesekali bertemu di acara-acara besar yang mempertemukan dua keluarga, mereka tidak pernah terlibat dalam obrolan pribadi. Bahkan, untuk sekedar menyapa pun nyaris tidak pernah. Catherine hanya akrab dengan Damon—itu saja.
Lantas, kenapa Nicolas begitu marah?
Alasannya sederhana, seperti yang sudah ia katakan:
Ia tidak ingin Catherine menjalin hubungan dengan pria lain, setidaknya sampai jelas apakah kejadian malam itu dengan Damon akan menghasilkan seorang anak atau tidak.
Itu saja.
Ya, hanya itu. Tak lebih, tak kurang.
Jika Catherine memang hamil, maka artinya wanita itu sedang mengandung keturunan Addison. Dan sebagai cucu tertua dari keluarga Addison, Nicolas merasa bertanggung jawab untuk memastikan anak itu lahir dengan baik, tumbuh dengan layak, dan tidak ternodai oleh skandal atau ketidakjelasan asal-usul.
***