***
Lantai dasar hotel masih terasa sepi ketika Catherine dan Nicolas keluar dari lift. Aroma kopi baru diseduh langsung menyambut mereka, bercampur dengan wangi telur dan roti panggang.
Keduanya berjalan berdampingan menuju restoran hotel. Restoran itu sudah menyiapkan buffet sarapan. Meja panjang berisi berbagai hidangan menggoda disusun rapi.
Catherine mengambil piring dan berjalan pelan sambil memperhatikan satu per satu menu yang ditawarkan. Dia memilih avocado toast di atas roti sourdough, dihiasi taburan chili flakes dan microgreens.
Di sebelahnya, ada scrambled eggs yang tampak lembut dan creamy. Catherine menambahkan beberapa iris smoked salmon, lalu tak lupa mengambil semangkuk kecil Greek yogurt dengan granola dan buah beri segar—blueberry, raspberry, dan potongan stroberi.
Nicolas berdiri tak jauh darinya, lebih simpel dalam memilih. Dia mengambil beberapa potong bacon renyah, hash browns, dan buttermilk pancakes yang ia siram dengan sirup maple. Ia juga menambahkan satu buah breakfast burrito yang berisi telur, keju, dan sosis—menu khas yang sering ditemukan di LA.
Setelah selesai memilih menu sarapan, Catherine dan Nicolas berjalan bersisian menuju salah satu meja kosong yang terletak di sudut restoran, dekat jendela besar yang menampilkan panorama kota Los Angeles di pagi hari.
Cahaya matahari menerobos masuk, menciptakan bayangan hangat di atas meja putih yang tertata rapi dengan peralatan makan mengilap dan serbet kain berwarna gading.
Nicolas lebih dulu meletakkan piringnya di atas meja. Namun, bukannya langsung duduk, ia berdiri sejenak, matanya melirik Catherine yang sedang menarik kursinya perlahan.
"Aku ke toilet sebentar. Kau sarapan saja, tidak usah menungguku," ucapnya datar. Meski suaranya tidak lagi setajam tadi pagi, tapi tetap menyisakan jarak.
Catherine mengangkat wajahnya, menatap pria itu sejenak. Ada sesuatu di matanya—bukan kemarahan, bukan pula kesedihan. Lebih kepada kelelahan yang tak terucapkan. Ia mengangguk pelan.
Toilet pria berada di sisi kanan restoran, tak jauh dari area minuman. Nicolas melangkah cepat ke arah sana, dan dalam hitungan detik, punggungnya yang lebar telah menghilang di balik lorong pendek.
Catherine menghela napas pelan dan duduk di kursinya. Ia melirik ke arah piringnya, lalu ke piring Nicolas yang masih utuh. Aroma dari makanan membuat perutnya semakin keroncongan. Ia bahkan bisa merasakan lututnya mulai bergetar sedikit karena lapar yang ditahan sejak semalam.
Tapi… makan lebih dulu dari suaminya? Rasanya tidak sopan, apalagi di awal pernikahan mereka yang masih canggung ini.
Namun, Nicolas sendiri tadi yang bilang: Kau sarapan saja, tidak usah menungguku.
Kalimat itu seharusnya menjadi izin. Tapi kenapa rasanya tetap salah jika ia mulai lebih dulu?
Catherine menatap sejenak potongan avocado toast di piringnya, lalu kembali mengangkat pandangannya ke arah lorong tempat Nicolas menghilang. Tak ada tanda-tanda ia akan kembali dalam waktu dekat. Dengan ragu, ia mengambil garpu. Jari-jarinya dingin.
“Sedikit saja…” gumamnya pelan, seolah meminta maaf pada seseorang yang tak ada.
Ia mulai menyentuh makanannya. Perlahan. Namun saat rasa pertama menyentuh lidahnya, perutnya seperti bersorak lega. Catherine tahu, dia tidak akan bisa berhenti sekarang.
Baru saja suapan pertama ditelan, Catherine menarik napas pelan, mencoba menikmati rasa creamy dari scrambled eggs yang bercampur dengan gurihnya smoked salmon. Perutnya yang sejak tadi keroncongan mulai terasa sedikit lega.
Tiba-tiba, suara berat namun hangat terdengar dari arah belakangnya.
“Catherine?”
Suara itu… terlalu familiar.
Tubuh Catherine menegang. Garpu yang baru saja ia turunkan terhenti di udara. Perlahan-lahan, dengan rasa penasaran bercampur gugup, ia menoleh ke belakang. Wajahnya terangkat seiring pandangannya berpaling.
Detik berikutnya, matanya sontak membelalak.
Seorang pria berdiri tak jauh dari mejanya. Tingginya masih sama seperti yang ia ingat, dengan postur tegap dan sorot mata tajam yang khas. Rambut hitam kecokelatannya kini sedikit lebih panjang dari terakhir kali mereka bertemu, namun masih tertata rapi. Ia mengenakan kemeja biru tua yang digulung hingga siku, dipadukan celana bahan abu gelap yang memberi kesan kasual namun tetap berwibawa.
“Professor Hale?” suara Catherine nyaris tercekat, mengalun pelan namun penuh keterkejutan.
Pria itu—dosen yang pernah menjadi salah satu bagian penting dalam hidup akademiknya, dan lebih dari itu… seseorang yang pernah hampir ia buka pintu hatinya untuknya—berdiri di sana, nyata, di hadapannya, di sebuah hotel di Los Angeles yang bahkan tidak pernah ia bayangkan akan mempertemukan mereka kembali.
Hale tersenyum tipis. “Saya hampir tidak mengenalimu.”
Catherine masih terpaku. Otaknya mencoba memproses kehadiran sosok dari masa lalu itu, sementara jantungnya berdebar tak karuan, jauh lebih cepat dari yang seharusnya untuk pagi hari yang tenang.
Profesor Hale masih berdiri di sana, membuat Catherine terpaku di tempat duduknya. Detik itu juga, waktu terasa melambat. Suara-suara di sekitar mereka menjadi latar yang samar, sementara pikirannya berusaha mengejar kenyataan bahwa sosok di hadapannya benar-benar nyata.
“Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini,” ujar Catherine pelan, nyaris seperti bisikan yang diselimuti rasa kaget. Perlahan, ia bangkit dari duduknya dan berdiri saling berhadapan dengan Profesor Hale.
Hale tersenyum tipis, ekspresinya tenang seperti biasa. “Sudah cukup lama, ya? Hampir dua tahun sejak terakhir kali kita bertemu.”
“Iya. Dan waktu itu, Anda pergi tanpa kabar. Semua orang bertanya-tanya. Termasuk saya.”
Hale tertawa kecil, suaranya tetap rendah dan santai. “Waktu itu saya memang tidak sempat pamit. Mendadak harus berangkat ke Seattle, ditugaskan ikut proyek kolaborasi dengan University of Washington. Kami mengembangkan sistem pembelajaran digital berbasis AI untuk perguruan tinggi,” terangnya panjang lebar.
Catherine mengangguk perlahan, mulai mengingat kembali rumor-rumor yang dulu beredar. Tapi tak pernah ada yang benar-benar pasti.
“Lalu sekarang… Anda kembali ke LA?”
Hale mengangguk. “Iya. Proyek itu baru saja rampung. Dan mulai pekan depan, saya akan kembali mengajar di kampus.”
“Oh…” Catherine mengedip, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Ia tidak menyangka akan kembali bertemu Hale dalam situasi seperti ini—dimana dia baru saja menikah.
Tatapan Hale sejenak menelusuri wajah Catherine, seolah mencari jejak waktu yang telah lewat. “Senang melihatmu lagi, Catherine. Kau kelihatan… lebih dewasa sekarang. Dan… semakin cantik.”
Catherine hanya tersenyum kecil, tidak yakin harus menjawab apa.
“Oh iya, Catherine, saya sempat menghubungi nomor lamamu beberapa kali,” kata Hale tiba-tiba. “Tapi tidak aktif.”
Catherine refleks menoleh padanya, sedikit terkejut.
“Oh, ya? Ah… iya. Nomor saya yang lama memang sudah tidak aktif, Prof,” jawabnya cepat, berusaha terdengar santai. “Saya ganti dengan nomor baru sekitar setahun lalu.”
Hale mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. “Oh, pantas saja.”
Ada jeda. Sejenak pria itu tampak ragu—matanya sempat mengarah ke piring Catherine, lalu kembali ke menatapnya. Tapi kemudian ia berbicara lagi.
“Kalau kamu tidak keberatan… boleh saya minta nomor barumu?”
Catherine terdiam. Tatapannya tidak langsung menjawab, melainkan mengarah keluar jendela sejenak, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu di dalam kepalanya. Tapi hanya beberapa detik. Lalu ia kembali menatap Hale dan mengangguk pelan.
“Boleh, Prof,” jawabnya ringan. Nyaris tanpa beban.
Ya, memang tidak ada beban. Meskipun kini statusnya adalah seorang istri, Catherine tahu pasti arah pernikahannya. Mereka hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk berpisah. Ia dan Nicolas bukan pasangan yang diciptakan untuk bertahan. Jadi, apa salahnya?
Wajah Hale berubah lebih cerah. Ia tersenyum lebar—mungkin senyuman paling tulus yang pernah Catherine lihat pagi ini. Ia segera menyelipkan tangan ke saku celananya, mengeluarkan ponsel, dan menyodorkannya ke Catherine dengan gerakan tergesa namun tetap sopan.
Catherine menerimanya tanpa banyak bicara. Jemarinya lincah mengetikkan deretan angka, lalu menyimpannya ke dalam kontak sebelum menyerahkan kembali ponsel itu ke Hale.
“Sudah, Prof,” ujarnya singkat.
“Terima kasih, Catherine,” ucap Hale. Ia menatap layar ponselnya sebentar, lalu menambahkan, “Saya coba telepon ya? Kalau berkenan, saya juga berharap kamu menyimpan nomor saya.”
Catherine mengangguk pelan, sedikit kikuk kali ini. Tapi ia tetap meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, dan tepat saat itu juga layar ponsel menyala—ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal.
Catherine melihat layarnya. “Ini dari Prof, ya?”
Hale hanya mengangguk sambil tersenyum senang.
Catherine menekan ikon hijau sebentar, lalu menutup panggilan dan segera menyimpan nomornya. “Sudah saya simpan, Prof.”
“Terima kasih,” balas Hale, kali ini suaranya terdengar semakin hangat.
Hale tiba-tiba mengalihkan pandangannya dari wajah Catherine dan menatap ke arah meja di belakangnya. Di sana, terlihat dua piring. Satu masih penuh dan belum tersentuh—jelas bukan milik Catherine—dan satu lagi sudah berantakan dengan sisa roti panggang dan telur di ujungnya.
Pandangan Hale sedikit menyipit, lalu ia bertanya pelan, “Kau di sini dengan seseorang?”
Catherine refleks terdiam. Wajahnya seketika berubah. Ada kegugupan yang muncul begitu saja di matanya. Ia membuka mulut, hendak menjawab, namun belum sempat satu kata pun terucap—suara langkah berat terdengar di belakang Hale.
Sosok Nicolas telah berdiri di sana, tepat di sisi Hale. Tanpa sepatah kata, pria itu berdiri tegak, dengan wajah tenang namun tatapan tajamnya menyorot ke arah Catherine.
Hale langsung menyadari kehadiran pria itu. Ia bergeser sedikit ke samping, memberikan ruang tanpa mengubah sikap sopannya.
Catherine seketika gelisah. Pandangannya berpindah dari Nicolas ke Hale, lalu kembali lagi. Bukan karena takut dimarahi Nicolas—tidak mungkin. Pria itu bahkan tak pernah benar-benar peduli padanya. Justru yang membuat Catherine resah adalah bayangan tentang reaksi Hale saat mengetahui siapa Nicolas sebenarnya.
Siapa pria yang kini berdiri di antara mereka.
Nicolas menatap Catherine lekat. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan—dingin, datar, namun juga penuh pengamatan.
“Siapa?” tanyanya kepada wanita itu, suaranya dalam dan berat seperti biasa. “Temanmu?”
Hale tak langsung bicara, hanya menoleh sejenak, jelas ikut penasaran. Catherine menghela napas perlahan, mencoba menyusun kata dengan hati-hati meski nadanya terdengar gugup.
“Beliau… adalah dosenku di kampus. Namanya… Profesor. Hale.”
Nicolas mengangguk kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke Hale. Wajahnya tetap datar. Namun ada penilaian yang tajam di balik sorot matanya.
Hale, dengan sopan dan tenang, menjulurkan tangan. “Hale. Saya dosen Catherine di kampus.”
Nicolas menerima jabatan tangan itu tanpa ekspresi. “Aku suaminya,” jawabnya singkat. “Nicolas Addison."
Deg!
Tubuh Hale sontak membeku. Matanya membesar sepersekian detik sebelum ia cepat-cepat menetralkan ekspresinya. Namun Catherine bisa melihat jelas bagaimana pria itu nyaris kehilangan kata-kata.
“Suami Catherine?” ulang Hale pelan, seolah perlu memastikan bahwa ia tak salah dengar.
Nada suaranya terdengar aneh—campuran antara keterkejutan, kekecewaan, dan ketidakpercayaan. Matanya berpindah dari Nicolas ke Catherine, mencari jawaban yang lebih meyakinkan di sana.
“Ya,” sahut Nicolas tenang. “Kami menikah kemarin. Dan semalam, kami menginap di sini… sebagai pengantin baru.”
Catherine sontak menegang. Ia membelalak, tak percaya dengan seberapa blak-blakannya Nicolas bicara.
‘Ya ampun, Nico… kenapa juga harus dijelaskan sedetail itu?’ gerutu Catherine dalam hati, merasa campur aduk antara malu, jengkel, dan bingung.
Hale hanya berdiri diam. Wajahnya tetap mencoba tenang, tapi senyum yang sempat menghiasi bibirnya tadi sudah sepenuhnya menghilang. Napasnya tampak lebih berat, seperti sedang mencoba meredam gejolak emosi yang datang tiba-tiba.
Dan di antara mereka bertiga, keheningan yang menggantung terasa seperti beban yang tak kasat mata—namun begitu nyata.
“Anda ingin bergabung di sini dengan kami?”
Suara Nicolas tiba-tiba memecah keheningan yang menggantung di antara mereka. Tenang, datar, namun mengandung nada samar yang sulit ditebak—antara ramah atau bahkan memperingatkan.
Hale tersentak kecil. Pandangannya segera teralihkan dari Catherine dan beralih menatap pria di hadapannya. Sekilas, ekspresinya menunjukkan kebingungan, lalu cepat-cepat digantikan senyum tipis yang tampak seperti upaya menutupi kegugupan.
“Ah, tidak. Terima kasih,” tolak Hale halus, sedikit mengangguk sopan.
Nicolas membalas dengan anggukan pelan. Wajahnya tetap sama seperti sebelumnya—datar, nyaris tanpa emosi. Tapi justru ketenangannya itu yang membuat suasana semakin terasa tegang.
Kemudian, tanpa peringatan, Nicolas melangkah mendekat ke arah Catherine. Tubuh tinggi itu berdiri tepat di sisinya, membuat Catherine otomatis menoleh.
Belum sempat dia bereaksi, sebuah tangan kekar dan hangat melingkar di pinggangnya. Gerakan itu tenang, tapi ada kesan posesif dan sengaja di dalamnya—seolah Nicolas sedang menegaskan sesuatu kepada Hale.
Lengan Nicolas menariknya sedikit lebih dekat, dan Catherine bisa merasakan hembusan napas suaminya di dekat telinganya.
Lalu suara itu terdengar. Pelan, namun cukup jelas untuk membuat darahnya berdesir.
“Ayo kita sarapan,” ucap Nicolas. “Aku tahu kau sangat lapar… apalagi tenagamu banyak terkuras semalam.”
Deg!
Dunia Catherine seolah berhenti berputar.
Wajahnya langsung memanas. Ia menegang di bawah lingkaran lengan Nicolas, dan jantungnya seolah ingin meledak. Matanya refleks melirik Hale, yang jelas mendengar kalimat itu.
Hale terdiam. Ekspresi wajahnya sulit dibaca. Ada kejutan yang samar terlihat, tapi juga kepahitan yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
Catherine ingin bicara—apa saja, bahkan mungkin membantah kalimat itu—tapi lidahnya seolah kelu. Ia hanya bisa menunduk, berharap entah bagaimana bumi membukakan celah agar ia bisa menghilang dari situasi ini.
Sementara itu, Nicolas tetap berdiri tenang. Senyum samar muncul di sudut bibirnya, seperti seseorang yang baru saja memenangkan permainan yang hanya dia pahami aturannya.
***