***
Catherine merasakan tubuhnya terguncang, disertai suara menggelegar yang menyambar di telinganya.
"Bangun!"
Suara itu—suara Nicolas—membuat matanya terbuka perlahan. Pemandangan pertama yang menyambutnya pagi ini adalah wajah galak suaminya yang menatap tajam seolah hendak membakar dirinya hidup-hidup.
Bahkan dalam keadaan baru terjaga, Catherine langsung tahu penyebab kemarahan itu. Pasti gara-gara posisi tidur mereka yang terlalu... intim.
Ya, mereka tidur saling berpelukan. Dan Nicolas, seperti biasa, pasti menganggap ini adalah bagian dari “rencana licik”-nya.
Pria itu kini sudah duduk tegak di atas kasur, rahangnya mengeras, sorot matanya menyala penuh kemarahan.
“Iya, iya, aku sudah bangun,” gumam Catherine sambil mengucek matanya pelan. Ia perlahan ikut menegakkan tubuh, lalu bersandar di kepala ranjang.
“Ada apa?” tanyanya santai.
Pertanyaan itu membuat alis Nicolas terangkat tinggi, ekspresinya tak percaya.
“Ada apa? Enteng sekali kau bicara! Seolah tak melakukan apa-apa!”
“Ya memang aku nggak tahu. Baru bangun tidur, langsung disemprot begini... Mana aku tahu salahku apa, Nico,” balas Catherine sambil memundurkan tubuhnya sedikit.
“Jangan pura-pura polos!” bentak Nicolas. “Apa yang kau lakukan semalam, hah? Kenapa bisa penampilanku seperti ini? Dan—kita tidur berpelukan! Kau pasti menjebakku! Cepat mengaku!”
Suara Nicolas menggema tajam di dalam kamar, seperti gelegar petir yang menghantam dinding-dinding sunyi. Bentakannya memecah keheningan pagi, membuat suasana di antara mereka menegang.
Sementara itu, Catherine hanya mendengus kesal. Tuduhan itu—lagi-lagi datang dari suaminya. Jika semalam ia merasa takut dan terintimidasi oleh pria itu, maka pagi ini... ketakutan itu nyaris menguap.
Dia sudah terlalu lelah.
Terlalu sering diperlakukan seperti ini oleh orang-orang di sekitarnya, terlalu sering dijadikan sasaran kemarahan tanpa alasan yang jelas. Tiada hari tanpa bentakan, tiada pagi tanpa tuduhan. Dan Catherine mulai merasa muak.
"Jangan diam saja, Cath! Apa yang kau lakukan sema—"
Ucapan Nicolas terputus. Catherine memotongnya cepat.
"Berhenti menuduhku sesuka hatimu! Aku tidak melakukan apa-apa! Aku tidak menjebakmu!" serunya lantang.
Matanya kini berkaca-kaca, bergetar menahan emosi dan tangis.
“Dari tadi malam sampai sekarang kamu terus memarahiku, mencaci, menuduhku seolah-olah aku ini manusia paling hina! Kenapa kamu nggak tanya ke dirimu sendiri apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa harus selalu aku yang disalahkan?!”
Napas Catherine terengah. Suaranya bergetar. Dan saat tak mampu lagi menahan gejolak di dadanya, air mata yang sedari tadi menggenang akhirnya jatuh—membasahi pipinya yang pucat.
Dia menangis. Lagi. Dan itu karena Nicolas. Suaminya sendiri.
Nicolas terdiam. Tubuhnya membungkuk sedikit, seolah tercekik oleh kenyataan yang baru saja ia lihat: istrinya yang menangis... bukan karena lemah, tapi karena tersakiti.
Beberapa detik berlalu dalam kesunyian, lalu ia membuka suara—pelan, hampir tak terdengar.
“Aku hanya... bertanya…”
Dan lagi—untuk kedua kalinya pagi itu—Nicolas tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Catherine menyela cepat.
"Aku tidak melakukan apa-apa. Aku sama sekali tidak berniat menjebakmu,” ucapnya. “Semalam, saat kamu kembali ke kamar... kamu dalam keadaan mabuk berat. Kamu muntah, kamu berkeringat, dan aku hanya—aku hanya membantumu membersihkan tubuhmu yang terkena muntahanmu sendiri."
Deg!
Nicolas terdiam. Tatapannya kosong sejenak, lalu dahinya perlahan mengernyit, seperti sedang berusaha merangkai kembali potongan-potongan ingatan yang tercerai berai.
Oscar.
Dia yang menelepon Nicolas malam itu, memintanya naik ke rooftop untuk ngobrol sebentar. Di sana ada Oscar, Rich, dan Rion. Mereka duduk berjam-jam, membahas permasalahan yang sedang terjadi—pernikahan Nicolas dengan Catherine, dan semua itu ditemani whisky. Banyak. Terlalu banyak.
Dan Rion—seperti biasa—tak berhenti menuangkan isi botol ke dalam gelasnya.
Rahang Nicolas mengetat. Ia mulai mengingatnya dengan lebih jelas. Ya, benar... setelah itu kepalanya terasa berat, dunia seperti berputar, dan lalu... gelap. Dia tidak ingat apapun lagi setelah itu.
Catherine benar. Dan dia—lagi-lagi—sudah menuduh wanita itu semaunya.
Hening.
Catherine mengusap air matanya yang mengalir di pipi, lalu kembali bersuara, kali ini lebih pelan, namun tetap menggetarkan hati.
“Meskipun di matamu aku ini w************n dan menjijikkan... tapi aku tidak sejahat itu, Nicolas. Aku tidak akan memanfaatkan keadaanmu ketika kamu tak sadar. Aku bukan wanita seperti itu. Kamu salah besar kalau menuduhku begitu.”
Nicolas hanya terdiam. Tenggorokannya terasa kering, dan ia meneguk saliva dengan kasar, sekadar membasahinya. Tak ada yang bisa ia katakan untuk membantah—karena semua itu benar.
Catherine pun memilih diam. Rasanya cukup. Semua sudah ia katakan. Ia bangkit dari ranjang, turun tanpa suara, lalu melangkah menuju kamar mandi.
Namun belum sempat ia membuka pintu, Nicolas buru-buru turun dari ranjang, mengejarnya dengan langkah lebar.
“Catherine, tunggu—” panggilnya serak, sambil meraih pergelangan tangan wanita itu.
Namun Catherine segera menarik tangannya kasar, melepaskan diri darinya.
“Apa?!” serunya, menatap Nicolas dengan mata yang masih basah. “Apa lagi yang mau kamu katakan? Mau bilang semua yang aku ucapkan barusan cuma kebohongan? Bahwa aku ini cuma pura-pura baik?! Kamu nggak percaya?!”
Tanpa diduga, tindakan Catherine membuat Nicolas terpaku di tempat. Matanya membelalak saat melihat wanita itu—dengan amarah dan luka yang tak tertahan—menampar pipinya sendiri.
Plak!
"Kamu mau pukul aku, kan?!" teriak Catherine histeris. "Ayo! Pukul! Lakukan sesuka hatimu!"
Plak!
Tamparan kedua mendarat di pipi sebelahnya. Tubuhnya sedikit terhuyung.
Nicolas langsung bergerak. Terkejut. Panik. Tangannya cepat menahan lengan Catherine sebelum wanita itu sempat menyakiti dirinya lagi.
"Hey! Apa yang kau lakukan?!" serunya cemas.
"Lepaskan aku, Nico!" bentak Catherine, meronta dengan emosi yang sudah meluap-luap.
“Cukup, Catherine!” Nicolas buru-buru meraih kedua tangan Catherine, menguncinya agar tak melukai diri sendiri lagi.
“Oke, oke… aku minta maaf. Aku minta maaf karena sudah menuduhmu. Sudah. Cukup,” ucap Nicolas dengan suara berat, lalu memaksa menarik Catherine ke dalam pelukannya. Ia tak peduli meskipun wanita itu berusaha keras menolak.
“Lepaskan aku, Nico!” seru Catherine sambil memukul-mukul punggung Nicolas. Namun, pukulannya terasa lemah—hanya luapan emosi yang tak mampu lagi ia kendalikan.
Tak lama, isakan lirih mulai terdengar. Catherine menangis, menumpahkan semua sesak yang sejak tadi menyesakkan dadanya.
“Aku hanya panik… aku takut telah berbuat yang tidak-tidak padamu. Ya, hanya itu. Aku tidak bermaksud yang lain,” ucap Nicolas lirih. Ia berharap pengakuannya itu bisa sedikit menenangkan Catherine.
Padahal, ia tahu betul bahwa tadi, ia menuduh wanita itu tanpa alasan, tanpa bukti, hanya karena ingin meluapkan kekesalannya terhadap wanita itu.
Namun melihat bagaimana Catherine menampar dirinya sendiri tadi… membuatnya tercengang. Ia tak menyangka wanita itu akan bertindak seputus asa itu. Nicolas pikir Catherine akan menampar dirinya, tapi kenyataan justru sebaliknya.
Kini, ia merasa iba. Dan… tak tega.
“Ke-napa semua orang ja-hat padaku… Bahkan ayahku sendiri tidak pernah mempercayaiku sekalipun,” isak Catherine, tersedu-sedu dalam pelukannya.
Nicolas terdiam seketika. Keningnya berkerut mendalam mendengar ucapan itu.
‘Ayahnya tidak pernah mempercayainya?’ pikirnya. ‘Apakah hubungan mereka tidak baik-baik saja selama ini?’
Beberapa saat berlalu dalam keheningan yang hanya diisi suara isakan.
Lalu perlahan, Nicolas mengurai pelukan itu. Namun Catherine menunduk, enggan menatap wajahnya. Ia tahu wanita itu masih marah padanya.
Tapi Nicolas ingin Catherine melihatnya, maka dengan lembut, ia meraih dagu Catherine—membawa wajah sembab itu agar menatap ke arahnya.
Nicolas menatap kedua pipi Catherine yang kini memerah karena ulah wanita itu sendiri. Ia mendesah pelan, menyayangkan tindakan nekat Catherine yang menyakiti dirinya sendiri.
"Ya... aku sudah ingat," ucap Nicolas, suaranya kini jauh lebih lembut, sangat berbeda dari sikap yang dingin seperti monster.
“Semalam aku memang mabuk. Tapi setelah kembali ke kamar, semuanya... gelap. Aku tidak ingat apa-apa. Dan—aku... aku hanya takut kalau aku kehilangan kendali. Takut kalau aku melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kulakukan padamu.”
Catherine hanya menatapnya diam, matanya masih basah oleh air mata. Tidak menjawab, hanya mendengarkan.
Nicolas menelan ludah, lalu melanjutkan dengan hati-hati, “Tapi... benar, kan? Kita tidak melakukan apa-apa semalam?”
Catherine menggeleng pelan. Hanya itu. Tanpa suara.
Nicolas mengangguk sedikit, rasa lega perlahan menyelinap ke dadanya.
“Syukurlah kalau begitu...” katanya sambil menarik napas pelan. Lalu ia melepaskan tangannya dari kedua bahu Catherine. “Ya sudah, kalau mau mandi, silakan.”
Tanpa sepatah kata pun, Catherine membalikkan badan dan melangkah menuju kamar mandi. Ia masuk dan langsung menutup pintunya dengan lembut—tanpa suara.
Hening kembali menyelimuti ruangan.
Nicolas berdiri terpaku. Pandangannya tertuju pada pintu kamar mandi yang kini tertutup rapat.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendongak menatap langit-langit kamar. Kedua tangannya meraup wajahnya kasar, mencoba meredam kekacauan dalam dirinya.
“Sial...” gumamnya lirih. “Kenapa malah jadi serumit ini?”
Penyesalan membuncah. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa kalah oleh sikap dan kata-katanya sendiri.
**
Hampir tiga puluh menit berlalu, Nicolas duduk menunggu Catherine. Namun, sang istri belum juga keluar dari kamar mandi. Rasa penasaran mulai menggelayuti benaknya, hingga akhirnya ia bangkit dari duduk dan melangkah ke arah pintu kamar mandi.
Tok! Tok! Tok!
“Catherine…?” panggilnya, seraya menempelkan telinganya lebih dekat ke daun pintu.
Namun, belum sempat ia melanjutkan, pintu itu terbuka secara tiba-tiba, menampilkan sosok Catherine yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Wajahnya segar, kulitnya terlihat lembab, dan tubuh rampingnya hanya dibalut handuk putih sebatas paha. Rambutnya masih basah, menjuntai hingga ke bahu.
Nicolas refleks mundur satu langkah. Tatapannya terhenti pada penampilan Catherine—ia sempat tertegun beberapa detik.
“Kau terlalu lama di dalam, jadi aku ketuk pintu hanya sekedar memastikan,” jelas Nicolas cepat.
“Ya, aku minta maaf,” jawab Catherine singkat sebelum berjalan melewatinya menuju walk-in closet, tanpa memberi kesempatan pada Nicolas untuk menanggapi. Sementara itu, Nicolas langsung masuk ke kamar mandi.
Berbeda dengan Catherine yang membutuhkan hampir setengah jam, Nicolas hanya memakan waktu lima belas menit. Setelah selesai, ia keluar dari kamar mandi dengan tubuh atas telanjang dan hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya.
Matanya sempat menyapu seluruh kamar, namun tidak menemukan keberadaan sang istri. Saat melangkah masuk ke walk-in closet, barulah ia melihat Catherine sedang duduk di depan meja rias, sibuk mengeringkan rambut dengan hair dryer.
Melalui pantulan cermin, Catherine melihat kemunculan Nicolas. Ia sempat terkejut dan buru-buru mematikan pengering rambutnya, meletakkannya kembali ke tempat semula, lalu segera bangkit dan keluar dari walk-in closet.
Nicholas hanya melirik. Melihat reaksi canggung Catherine membuatnya menggeleng kecil sebelum lanjut mengenakan pakaian.
Tak lama, Nicolas pun selesai bersiap. Ia keluar dari walk-in closet, mengenakan pakaian rapi. Pandangannya tertumbuk pada Catherine yang kini duduk di sofa dekat ranjang, tampak sibuk menatap layar ponselnya.
“Kau mau sarapan di mana?” tanya Nicolas setelah menghentikan langkah tak jauh dari tempat Catherine duduk.
Catherine langsung mengangkat wajah. Tatapannya bertaut pada sosok suaminya yang kini berdiri di depannya. Sejenak, ia mematung. Dalam diamnya, ia mengamati pria itu.
Tampan, maskulin, dan selalu tampil rapi. Begitulah kesan Nicolas di matanya.
Segera, Catherine mengalihkan pandangannya dan menjawab, “Terserah kamu saja.”
Nicolas mengangguk pelan. “Ayo kita turun. Sarapan di bawah.”
Catherine mengangguk singkat, lalu bangkit dari duduknya. Ia melangkah beriringan dengan Nicholas keluar dari kamar hotel.
Suara langkah kaki mereka bergema lembut di sepanjang koridor menuju lift. Nicolas, seperti biasa, berjalan tenang dengan tubuh tegap. Salah satu tangannya masuk ke dalam saku celana, menunjukkan kesan santai namun tetap dingin.
Di sampingnya, Catherine melirik sekilas—diam-diam.
‘Tumben dia nggak marah-marah lagi. Kenapa ya?’ batinnya bertanya-tanya, heran dengan perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba terasa… tenang.
Saking larutnya dalam lamunan, Catherine hampir saja melewati lift. Untung saja Nicolas sigap. Pria itu meraih pinggang rampingnya dengan satu gerakan ringan.
“Mau ke mana, hmm?” tanyanya, suara beratnya terdengar dekat di telinga Catherine. Keningnya tampak berkerut tipis, memandangi wanita itu dengan tatapan datar penuh tanya.
Catherine refleks menengadahkan wajah, membalas tatapan pria itu. Wajahnya terlihat kebingungan. Rupanya dia belum sadar bahwa sudah melangkah selangkah melewati lift.
“Liftnya di sini. Memangnya kau mau turun lewat tangga darurat?”
“Hah?” Catherine sontak gelagapan. Seketika ia tersadar dari lamunannya dan menyadari posisinya yang salah.
“Mau lewat tangga?” ulang Nicolas, masih dengan nada datar. Meski ia tahu Catherine hanya tidak fokus, ia sengaja mengulang pertanyaan itu.
“Tidak,” jawab Catherine cepat sambil menggeleng pelan.
“Lalu kenapa liftnya dilewati?”
“A-Aku… tadi melamun,” jawab Catherine dengan nada gugup.
“Melamun? Soal apa?” Nicolas kembali bertanya.
‘Ish… dia ini kenapa sih banyak sekali pertanyaannya. Nggak mungkin aku jawab jujur kalau dari tadi aku memperhatikannya. Bisa-bisa dia besar kepala. Atau lebih parah, marah-marah lagi,’ gerutu Catherine dalam hati, semakin gugup.
“Catherine?” panggil Nicolas saat Catherine tak kunjung menjawab.
“Tugas,” jawab Catherine cepat. “Iya, tugas kuliah,” tambahnya buru-buru.
Nicolas menatapnya datar. “Bukankah kau ambil cuti?”
Catherine refleks menggaruk tengkuk yang tak gatal—gerakan yang jelas mencerminkan kegelisahannya.
Nicolas mengalihkan pandangannya, lalu menghela napas panjang. Suaranya terdengar serak saat akhirnya ia bicara lagi.
“Cepat masuk ke dalam lift,” perintahnya singkat.
Tanpa membantah, Catherine langsung mematuhi. Keduanya pun melangkah masuk ke dalam lift dan turun ke lantai dasar untuk sarapan pagi bersama.
***