***
“Nicolas, lepaskan! Ish… apa sih peluk-peluk! Kamu bau! Lepaskan aku!”
Catherine terus memberontak, meronta-ronta dalam pelukan erat Nicolas yang tengah mabuk berat.
Pintu kamar hotel sudah tertutup rapat. Nicolas menyeret tubuh ramping Catherine menuju ranjang. Sesampainya di sana, ia mendorongnya hingga Catherine jatuh terlentang di atas kasur.
Namun sebelum Nicolas sempat menindih tubuhnya, Catherine bergerak cepat—menggulingkan diri ke samping. Di saat yang sama, Nicolas pun menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dalam posisi tengkurap, seolah Catherine yang berada di bawahnya.
Catherine buru-buru bangkit. Ia merapikan nightdress-nya yang kusut tak karuan sambil menatap suaminya dengan kesal.
“Siapa sih yang kasih dia alkohol? Astaga!” gerutunya, kesal.
Sementara itu, Nicolas membalikkan tubuhnya ke posisi terlentang. Napasnya terengah-engah, matanya yang setengah sadar menatap kabur ke arah Catherine. Lalu, secara tiba-tiba, ia bangkit dan meraih lengan wanita itu.
Catherine mencoba menarik lengannya menjauh, tapi naas, tangan Nicolas justru berpindah dan menarik nightdress-nya. Catherine memekik kaget. Tubuhnya terhentak saat Nicolas menariknya lebih dekat.
Lengan kekar pria itu melingkar erat di pinggang ramping Catherine. Kuat. Terlalu kuat hingga Catherine hampir tak bisa bergerak. Ia kini duduk di pangkuan Nicolas sambil terus berusaha melepaskan diri.
“Nicolas, cukup!”
Catherine menggenggam rambut Nicolas dan menariknya kuat saat pria itu mencoba mendekatkan wajahnya ke lehernya. Ia tak tinggal diam. Catherine tidak akan membiarkan Nicolas menyentuhnya dalam keadaan seperti ini—dalam kondisi mabuk dan tak sadar.
“Aku… aku disarankan oleh…” gumam Nicolas terputus-putus. Napasnya berat, tersengal di bawah pengaruh alkohol.
Catherine mengernyit, penasaran. Apa sebenarnya yang ingin dikatakannya?
“Disarankan apa? Dan oleh siapa?” tanyanya, berharap Nicolas bisa menjawab meski dalam keadaan setengah sadar.
Lalu, dengan suara parau, Nicolas menjawab, “Disarankan untuk bercinta dengan istriku.”
Seketika itu juga, mata Catherine membelalak lebar. Bibirnya menganga. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Siapa yang kasih saran seperti itu?” tanya Catherine dengan nada tajam, sebelah tangannya sibuk menghalau tangan Nicolas yang kini mencoba menggerayangi dadanya.
“Rion…” jawab Nicolas singkat. “Sahabatku,” sambungnya dengan nada malas.
Catherine menggelengkan kepala tak percaya. Sungguh, ia tak habis pikir sahabat suaminya bisa memberi saran seabsurd itu.
“Tidak usah didengarkan. Kamu jangan ikuti saran dia, itu tidak benar, Nico. Kamu tidak mencintai istrimu, lalu bagaimana mungkin kamu akan bercinta dengannya?” katanya, berusaha menyadarkan pria itu dari kekacauan pikirannya yang jelas dipengaruhi oleh alkohol.
“Istriku adalah… mantan kekasih adikku,” ujar Nicolas sambil terkekeh pelan. Seolah kalimat barusan adalah sebuah lelucon. “Mereka pernah tidur bersama. Seharusnya yang bertanggung jawab itu Damon, bukan aku. Tapi sialnya, wanita bodoh itu malah mau-mau saja menikah denganku.”
Catherine yang awalnya masih tenang, seketika berubah ekspresinya. Nada bicara Nicolas benar-benar membuatnya jengkel. Dan tanpa pikir panjang, ia menoyor kening suaminya dengan cukup keras.
“Sembarangan kalau bicara! Aku bukan wanita bodoh! Tapi adikmu saja yang pengecut—dia yang meninggalkanku!” ketusnya tajam sebelum bangkit dari pangkuan Nicolas. Ia mendorong tubuh pria itu hingga terjatuh terlentang di atas kasur.
Dengan napas memburu dan d**a naik-turun karena kesal, Catherine berdiri sambil bertolak pinggang, menatap suaminya yang tergeletak tanpa daya.
Tatapannya kemudian jatuh pada kemeja putih yang dikenakan Nicolas—basah dan tampak kusut. Bau menyengat alkohol dan muntahan menguar, membuat perut Catherine langsung bergejolak mual.
“Ya ampun, baunya…” desisnya, lalu segera melangkah menuju kamar mandi.
Tak lama, ia keluar dengan handuk basah di tangan. Nicolas masih dalam posisi yang sama, tak bergerak. Catherine meletakkan handuk itu di sisi kasur, lalu mulai membuka satu per satu kancing kemeja suaminya. Tangannya sedikit gemetar saat kain itu terlepas dari tubuh kekar Nicolas.
Dengan cepat, ia melempar kemeja bau itu ke lantai dan mengambil handuk yang sudah dibasahi. Tapi saat hendak mengusap tubuh Nicolas, matanya secara tak sengaja menatap langsung ke d**a bidang pria itu. Napas Catherine tertahan.
Dada bidang, perut six-pack, dan lekuk otot yang tampak sempurna—semuanya tampak begitu nyata di hadapannya. Pandangannya turun tanpa sadar, mengikuti jejak urat-urat yang muncul di bawah perut suaminya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Catherine menelan ludah dengan kasar.
‘Astaga…’
Kepalanya dipenuhi gambaran liar suatu benda yang tersembunyi di balik celana suaminya. Jelas ia mencoba menepisnya, tapi matanya terlalu jujur untuk bisa membohongi apa yang tengah dilihat.
‘Ih, Catherine! Jangan gila. Jangan bayangkan yang aneh-aneh!’ serunya dalam hati, memarahi dirinya sendiri.
Namun kenyataannya, tubuh suaminya malam ini sungguh terlalu menggoda untuk diabaikan…
Catherine mulai fokus membersihkan tubuh Nicolas. Dengan hati-hati, ia mengelap sekitar leher suaminya, lalu berpindah ke bahu, turun ke d**a bidang, dan perut. Sentuhannya lembut, telaten, memastikan tak ada bekas muntahan atau keringat yang tertinggal.
Meskipun dalam hati Catherine masih diselimuti kekesalan dan kebingungan, ia tetap merawat suaminya dengan penuh tanggung jawab. Mungkin karena nurani.
Setelah hampir selesai, Nicolas yang tadinya terdiam kembali membuka mata. Dalam sekejap, tangan pria itu terangkat dan menarik tubuh Catherine dengan kuat hingga wanita itu terjatuh ke dalam pelukannya.
“Sebentar, Nicolas! Aku belum selesai!” pekik Catherine dengan panik.
Namun Nicolas tak menggubris. Ia masih di bawah pengaruh alkohol, pikirannya kabur, namun tubuhnya bergerak impulsif. Pelukannya menguat, mengunci tubuh Catherine tanpa celah. Sebelah tangannya menyusuri lekuk tubuh wanita itu, menciptakan rasa tak nyaman di d**a Catherine.
“Nicolas, jangan…” bisiknya, mulai resah.
Ketika Nicolas mencoba mendekatkan wajah, berusaha mencium bibirnya, Catherine buru-buru memalingkan kepala. Jantungnya berdetak cepat, namun bukan karena cinta—melainkan penolakan.
Dia tidak mau.
Tidak seperti ini.
Bibirnya adalah sesuatu yang berharga, tidak pernah tersentuh oleh pria manapun dan dia tidak akan memberikannya saat pria itu tidak sadar sepenuhnya, saat mabuk membuatnya tak tahu apa yang ia lakukan.
**
Sementara itu di tempat lain…
“Besok aku yakin Nicolas bakal menghajarmu habis-habisan, Rion,” ujar Rich, menatap sahabatnya dengan pandangan menyipit.
Saat ini, ketiganya—Oscar, Rich, dan Rion—masih berada di atas rooftop hotel. Sebelumnya, Rion mengantar Nicolas hingga ke depan pintu kamar Catherine. Namun, setelah itu, ia langsung pergi tanpa menunggu apakah pintu dibuka atau tidak.
“Kalau benar itu terjadi, maka aku sarankan jangan ada yang melerai mereka,” sahut Oscar tenang.
Rion justru menanggapinya dengan kekehan pelan. Ia tampak puas, seolah berhasil mencapai tujuannya setelah membuat Nicolas menenggak alkohol melebihi batas untuk pertama kalinya.
“Sudahlah kalian berdua, tidak usah berlebihan,” ujarnya ringan, seolah semua yang ia lakukan tadi hanyalah hal sepele. “Mana tahu, dengan kejadian ini bisa membuktikan apa yang selama ini kita asumsikan.”
“Iya, kalau Catherine masih tersegel,” timpal Rich. “Tapi bagaimana jika sebaliknya? Apakah masalahnya tidak akan makin runyam? Belum lagi kalau ternyata Catherine memang pernah tidur dengan Damon. Kalau dia hamil, nanti bisa bingung—siapa ayah dari anak itu? Nicolas atau Damon?”
Rion mendadak terdiam. Wajahnya berubah. Sepertinya pikirannya mulai terkontaminasi oleh kemungkinan buruk yang baru saja dilontarkan Rich.
Oscar pun menambahkan dengan nada datar, “Mabuk sama dengan tidak sadar. Coba bayangkan kalau ternyata saat ini Nicolas memperkosa istrinya.”
Ucapan Oscar membuat Rion meringis. Ia mendecak, mencoba menyangkal. “Ck, kalian ini terlalu berlebihan. Aku yakin Nicolas nggak akan mungkin memperkosa istrinya.”
“Dia dalam kondisi mabuk, Rion!” seru Rich, geram dan kesal karena sahabatnya seolah tak berpikir panjang tadi.
Rion kembali diam. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencoba mengusir kegelisahan yang mulai menyerangnya.
Perasaan was was menyusup perlahan. Bagaimana jika semua kekhawatiran itu benar? Bagaimana jika Nicolas benar-benar kehilangan kendali dan… memperkosa Catherine?
Sial.
Kenapa dia tidak memikirkan semua kemungkinan ini sebelumnya?
“Menyesal sekarang, huh?” sindir Rich dengan nada sinis.
Rion hanya mampu menghela napas dengan kasar. Menyesal? Mungkin. Tapi semua sudah terlanjur.
“Sudahlah, kita tunggu besok pagi. Semoga pikiran-pikiran buruk kalian itu tidak jadi kenyataan,” ucapnya, mencoba berpikir positif—meskipun dalam hatinya, kegelisahan mulai meraja.
**
Esok paginya…
Pagi mulai menjelang. Cahaya matahari yang lembut menyusup malu-malu melalui celah tirai kamar hotel, menorehkan semburat keemasan di sepanjang dinding dan lantai.
Ranjang berukuran king size itu tampak berantakan, sprei kusut dan selimut tergulung setengah, menyisakan pemandangan pasangan pengantin baru yang tertidur dalam posisi intim.
Nicolas memeluk Catherine dari belakang, lengan kirinya melingkar erat di pinggang sang istri, sementara wajahnya terkubur setengah di lekuk leher Catherine. Tubuh mereka begitu rapat, seakan tak menyisakan ruang di antara kulit mereka.
Di lantai, beberapa bantal terjatuh, kemeja putih Nicolas terbuka lebar dengan salah satu lengannya terpuntir, dan handuk hotel yang digunakan Catherine untuk mengelap tubuh Nicolas malam sebelumnya teronggok basah di dekat kaki ranjang. Aroma samar parfum, alkohol, dan tubuh mereka bercampur menjadi satu.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan damai itu, hingga Nicolas mulai menggeliat pelan. Alisnya berkerut, seakan menolak kenyataan pagi yang datang terlalu cepat. Matanya masih terpejam, namun napasnya berubah—lebih dalam, lebih sadar.
Ia menggerakkan lengan, dan saat merasakan beban hangat yang asing menindihnya, tubuhnya menegang seketika.
Dalam sepersekian detik, kesadarannya kembali penuh. Matanya terbuka lebar dan langsung membelalak ketika pandangannya jatuh pada Catherine yang masih tertidur pulas dalam pelukannya.
Rambut perempuan itu menjuntai lembut di bahunya, sebagian menutupi wajah cantiknya.
"Oh fvck!" umpatan itu meluncur tanpa filter, suaranya rendah tapi jelas, penuh keterkejutan. Nicolas menggenggam ujung sprei, otaknya mencoba mengolah apa yang baru saja ia sadari.
Ia menggoyangkan bahu Catherine dengan panik. "Catherine, bangun!"
***