***
Ting! Tong!
Suara bel pintu membuat Catherine tersentak. Ia mengangkat wajah dari atas lututnya dan menatap ke arah pintu dengan dahi berkerut. Siapa yang datang malam-malam begini? Pikirnya dalam hati.
Jelas itu bukan Nicolas. Pria itu punya akses kartu kamar, tidak perlu repot menekan bel.
Namun rasa penasaran yang menggelitik mendorong Catherine untuk bangkit dari ranjang. Ia mengusap bekas air mata di pipinya dengan punggung tangan sambil melangkah perlahan menuju pintu.
Begitu pintu terbuka, dua orang wanita berseragam berdiri di hadapannya. Keduanya tersenyum sopan dan memberi salam.
“Selamat malam, Nona Addison,” sapa salah satu dari mereka sambil menunduk hormat.
Catherine menatap keduanya dengan bingung. “Selamat malam… Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan, meski nada suaranya terdengar hati-hati.
Salah satu wanita itu menjawab dengan senyum ramah, “Kami mohon maaf datang sedikit terlambat, Nona. Kami ditugaskan untuk membantu Anda melepaskan gaun pengantin dan riasan malam ini.”
Catherine sempat terdiam, masih menyimpan sedikit kebingungan. Namun akhirnya ia mengangguk kecil dan mempersilakan mereka masuk.
“Oh… Baiklah, kalau begitu silakan masuk.”
“Terima kasih, Nona.”
Keduanya melangkah masuk, dan Catherine membalas dengan senyum tipis. Mereka pun menuju area walk-in closet, di mana Catherine duduk di depan cermin besar, sementara kedua wanita itu segera membantu melepaskan gaun putih yang indah namun menyulitkan itu.
Catherine merasa sedikit lega. Ia sempat bingung bagaimana caranya melepaskan gaun itu seorang diri. Kini, setidaknya ada tangan-tangan terlatih yang membantu.
Sementara itu, di tempat lain…
Lift terbuka dengan suara khasnya. Nicolas melangkah keluar dengan wajah dingin, lalu berjalan lurus menuju rooftop hotel.
Angin malam menyambut kedatangannya, dan di sana, sudah menunggu tiga pria yang duduk santai di area lounge rooftop: dua sepupunya, Oscar dan Rich, serta sahabatnya, Rion.
Begitu melihat kemunculan Nicolas, Rion langsung menyeringai.
“Sudah kutebak, dia pasti datang. Mana mungkin betah terlalu lama di kamar,” ujarnya setengah mengejek.
Oscar dan Rich hanya saling melirik, tak menanggapi. Wajah mereka tetap serius, tak satu pun berniat bercanda. Mereka tahu, melihat ekspresi datar dan mata tajam Nicolas, ini bukan waktu yang tepat untuk melucu.
“Duduklah,” ucap Oscar sambil menggeser kursi dengan satu kakinya.
Tanpa banyak bicara, Nicolas segera menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi tersebut. Wajahnya tetap datar, namun jelas gurat lelah tergambar di sana.
Rich yang duduk di seberang langsung bergerak, menuangkan Whisky ke dalam gelas bertangkai tanpa perlu ditanya.
“Aku tidak ingin minum, Rich,” ucap Nicolas pelan.
“Untuk sekali ini saja. Aku tahu kepalamu sedang penuh, dan kau butuh ketenangan. Whisky bisa membantumu,” balas Rich santai.
Nicolas hanya menghela napas panjang. Namun akhirnya ia meraih gelas itu juga, membawanya ke bibir, dan meneguk isinya hingga habis dalam satu gerakan.
“Besok pagi, kami akan mulai mencari Damon,” ujar Oscar, memecah hening.
Mendengar itu, Nicolas menoleh perlahan, menatap sepupunya. “Tak usah. Biarkan saja. Kalau waktunya sudah tepat, dia pasti pulang.”
Oscar mengerutkan dahi, tak puas dengan jawaban itu. “Bagaimana kalau dia tidak pernah pulang karena merasa takut atau malu?”
“Aku rasa itu tidak akan terjadi. Dia akan pulang… cepat atau lambat. Percuma mencarinya sekarang.” Nicolas mengulurkan tangan, mengambil sebungkus rokok dan pemantik dari atas meja. Ia menyelipkan sebatang rokok ke bibir, menyalakannya, lalu menghisap dalam-dalam sebelum menghembuskan asap ke udara malam.
“Kalau saja aku tahu semua akan berakhir seperti ini, aku tak akan pernah datang ke pesta itu,” gumamnya pelan, suaranya berat, nyaris seperti gumaman penyesalan yang ditelan malam.
Oscar menggeleng pelan. “Aku tak menyesali kedatanganmu ke pesta itu. Yang aku sesalkan adalah keputusan Aunty Cla. Menyuruhmu menikahi wanita yang sudah tidur dengan adikmu sendiri? Itu… gila. Aku rasa dia mulai kehilangan akal sehat.”
Nicolas hanya terdiam, meskipun hatinya setuju dengan pernyataan Oscar. Keputusan ibunya terasa benar-benar tidak masuk akal.
Kalau saja ini hanya perjodohan biasa—di mana Catherine tidak pernah tersentuh oleh pria lain—mungkin Nicolas masih bisa berdamai dengan takdir.
Tapi ini jauh lebih rumit. Nicolas harus menggantikan posisi adiknya sebagai suami Catherine. Sedangkan Catherine telah ternoda, bukan oleh pria asing, melainkan oleh adiknya sendiri.
Entahlah, takdir macam apa yang sedang ia jalani.
Pikiran itu membuat kepalanya terasa makin berat.
Tiba-tiba, Rion yang sedari tadi hanya diam, bersuara, “Wait…”
Ketiganya langsung menoleh ke arahnya, menunggu lanjutannya.
“Aku jadi curiga… apa memang benar Catherine dan Damon pernah tidur bersama?” ucap Rion, nada suaranya penuh keraguan. “Entah kenapa, aku merasa ada yang janggal sejak awal.”
Nicolas mematung. Oscar tak langsung menjawab. Rich bahkan tampak mengerutkan kening, mencoba mencerna kemungkinan itu. Keraguan perlahan tumbuh—mungkin saja… memang ada sesuatu yang selama ini tidak mereka tahu.
“Apa maksudmu? Jangan asal berasumsi yang aneh-aneh, Rion!” tukas Rich dengan nada tak suka.
“Aku tidak asal bicara, Rich,” balas Rion tenang. “Aku punya alasan.”
“Alasan apa?” tantang Rich.
Rion menghela napas, lalu mulai menjelaskan, “Oke, kita semua tahu hubungan Catherine dan Damon cukup dekat sebelumnya.” Ia memberi jeda, menatap Nicolas sesaat. “Kau sendiri yang pernah bilang kalau Catherine adalah kekasih Damon, bukan?”
Nicolas hanya mengangguk pelan.
“Tapi ingat nggak dua bulan lalu, saat kita di pernikahan Michele dan Sexyana?” lanjut Rion. “Damon datang… tapi bukan dengan Catherine. Dia malah menggandeng wanita lain. Kalian masih ingat?”
Mata Rion menyapu wajah ketiga temannya satu per satu.
Nicolas langsung menegakkan tubuhnya. “Ya, aku ingat. Tapi aku tidak kenal siapa wanita itu.”
“Siapa pun dia, itu tidak penting sekarang,” tukas Rion. “Yang jadi pertanyaan—kenapa Damon tidak membawa Catherine, kalau memang mereka masih pacaran saat itu? Kenapa justru bersama wanita lain?”
Oscar dan Rich mulai terlihat berpikir.
“Itu yang harus kau cari tahu, Nico. Pastikan dulu… sejauh mana sebenarnya hubungan Damon dan Catherine. Jangan langsung percaya begitu saja saat Catherine bilang dia sudah pernah tidur dengan adikmu,” lanjut Rion dengan nada serius.
Ketiganya terdiam. Hening.
“Come on, man,” Rion kembali bicara. “Damon itu adikmu. Seandainya benar dia tidur dengan seorang wanita, lalu kabur seperti pengecut… kau pikir itu mungkin? Dia bukan orang yang dibesarkan di jalanan. Dia punya prinsip. Punya tanggung jawab.”
“Tapi masalahnya… Catherine sendiri yang mengaku,” sahut Nicolas pelan. “Dia bilang dia pernah tidur dengan Damon.”
“Dan di situlah letak masalahnya,” ujar Rion, menatap Nicolas lurus. “Masalahnya ada di Catherine. Jujur saja, aku tidak yakin Damon bisa sejahat itu. Meniduri seorang wanita, lalu kabur begitu saja di hari pernikahan? Itu bukan Damon yang kita kenal.”
Nicolas memejamkan mata sesaat. Kata-kata Rion mulai menggoyahkan keyakinannya.
“Aku yakin,” Rion melanjutkan, “Damon kabur bukan karena tidak mau bertanggung jawab. Tapi karena dia dipaksa untuk menanggung sesuatu yang bukan menjadi tanggung jawabnya sejak awal.”
Semua yang diucapkan Rion memang terdengar masuk akal. Kini, benih keraguan itu mulai tumbuh di hati Nicolas.
Kemudian Oscar membuka suara, “Kalau apa yang dikatakan Rion benar, berarti cuma ada dua kemungkinan. Catherine berbohong dan dia sebenarnya baik-baik saja—atau dia memang pernah tidur dengan pria lain, tapi ingin Damon yang bertanggung jawab.”
“Menurutku, kemungkinan kedua lebih masuk akal,” timpal Rich dengan nada yakin.
“Pernah tidur dengan pria lain?” tanya Oscar memastikan.
Rich hanya mengangkat bahu. “Mungkin saja. Kita nggak ada yang tahu pasti.”
Nicolas hanya diam. Tatapannya kosong, pikirannya berkecamuk.
“Nico…” Rion tiba-tiba melirik ke arahnya dengan senyum penuh arti.
“Diam!” potong Nicolas cepat, sudah tahu ke mana arah pembicaraan sahabatnya itu.
“Tes aja sekali. Dia masih perawan—” Rion sembari menggerakkan pinggulnya maju mundur sambil duduk. “Atau tidak,” lanjutnya cuek, tak peduli dengan peringatan Nicolas.
Dan tanpa ragu, Nicolas langsung melempar puntung rokoknya ke arah Rion. Pria itu dengan cekatan menghindar sambil tertawa.
“Kurang ajar!” gerutu Nicolas kesal, meskipun nada suaranya tak sekeras tadi.
Tawa kecil sempat terdengar, namun suasana segera kembali serius. Mereka kembali terlibat dalam diskusi panjang tentang masalah yang tengah menimpa Nicolas.
Sementara itu, Rich terus menuangkan minuman ke dalam gelas. Nicolas, yang biasanya tidak terlalu akrab dengan alkohol, malam ini justru jadi yang paling sering meneguknya.
Dia memang jarang minum—hanya pada saat-saat tertentu saja. Dan malam ini, semua terasa terlalu berat untuk ditanggung dalam keadaan sadar sepenuhnya.
Pusing. Frustrasi. Marah.
Alkohol, setidaknya, bisa sedikit meredam semua kekacauan itu. Membuat pikirannya tenang—walau hanya sesaat.
**
Mansion Harrington…
Ceklek!
Ophelia membuka pintu ruang kerja Zev dan mendorongnya pelan. Sebuah senyum lembut terulas di bibirnya saat matanya menangkap sorot lelah suaminya.
“Aku pikir kamu akan tidur disini malam ini, Sayang,” ucap Ophelia, mencoba mencairkan suasana.
Zev duduk di kursi kerjanya, bersandar sambil menatap Ophelia yang perlahan mendekat. Ia tidak langsung menanggapi, hanya diam sejenak dengan ekspresi kosong.
Ophelia menarik kursi di depan meja, mendekatkannya ke arah Zev lalu duduk di atasnya dengan anggun.
“Sekarang sudah larut malam, kenapa kamu masih di sini?” tanyanya dengan suara khasnya yang lembut. “Besok pagi kita harus berangkat ke rumah mertuanya Cath, ingat?”
Zev mengalihkan pandangan, menatap ke arah jendela yang gelap, lalu menghela napas panjang.
“Aku tidak mengantuk. Dari tadi aku hanya memikirkan Catherine,” ujarnya jujur. Sesaat kemudian, tatapannya kembali mengarah ke Ophelia.
Ophelia tampak sedikit mengernyit, mencoba memahami. “Memikirkan Catherine?” ulangnya pelan.
Zev mengangguk pelan. “Ya. Aku tahu ini mungkin terdengar tidak pantas… tapi entah kenapa, aku justru merasa lega karena Catherine akhirnya menikah dengan Nicolas.”
Ophelia terdiam. Wajahnya memperlihatkan kebingungan bercampur penasaran.
Zev melanjutkan. “Damon dan Nicolas memang bersaudara. Tapi Nicolas jauh lebih unggul dalam banyak hal. Dia pria yang dewasa, tegas, dan punya wibawa. Kalau soal kecerdasan, Damon juga tidak kalah cerdas dari kakaknya. Tapi… entah kenapa, tetap saja aku merasa lebih tenang Catherine bersama Nicolas.”
Kejujuran itu mengalir begitu saja dari mulut Zev.
Ophelia masih menatapnya lekat-lekat. “Jujur saja, aku masih belum mengerti maksudmu, Sayang. Lega karena Catherine menikah dengan Nicolas? Kenapa?” tanyanya, lembut tapi penuh rasa ingin tahu.
Zev segera menjawab, “Nicolas bukan hanya jelas secara bibit, bebet, dan bobot, tapi juga pria yang tegas dan bertanggung jawab. Itu sebabnya aku merasa yakin, saat aku menyerahkan seluruh hak Catherine padanya nanti, Nicolas akan mengelolanya dengan baik. Masa depan Catherine akan terjamin. Aku tidak khawatir dia akan dimanfaatkan pria lain, karena yang menjadi suaminya adalah Nicolas.”
Deg!
Membeku. Mendengar itu, ekspresi Ophelia seketika berubah. Meski tak begitu kentara, ada rasa tidak suka yang muncul di wajahnya.
Catherine akan menerima hak sebagai ahli waris keluarga Harrington?
Oh, tidak bisa. Sampai mati pun Ophelia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Catherine tidak boleh mendapatkan sepeserpun dari kekayaan Harrington. Ia sudah bersumpah untuk itu.
Apapun akan ia lakukan demi menggagalkan semua rencana Zev. Ophelia tak ingin seluruh pengorbanannya selama ini berakhir sia-sia.
Bagi Ophelia, satu-satunya yang berhak mewarisi kekayaan Harrington hanyalah putrinya—Zinnia. Bukan Catherine.
“Aku mengerti, Sayang…” Ophelia akhirnya angkat suara. “Tapi bukankah sebelumnya kita sudah membahas soal kelangsungan pernikahan mereka? Dan besok, kita akan melanjutkan pembahasan itu bersama Catherine dan Nicolas. Pihak Addison juga menyarankan agar pernikahan ini bersifat sementara. Apalagi jika nanti terbukti Catherine hamil anak Damon, maka suka tidak suka, pernikahannya dengan Nicolas harus dibatalkan.”
Zev menghela napas panjang. “Ya, aku tahu. Apa yang aku katakan tadi… itu hanyalah harapan seorang ayah untuk masa depan anaknya. Tapi kalau kenyataannya seperti itu, ya… mau bagaimana lagi,” ujarnya dengan nada pasrah.
Ophelia menarik napas pendek, mengangguk pelan, seolah menyetujui. Namun dalam diam, pikirannya bergolak.
‘Aku harus mencari cara untuk memisahkan Catherine dari Nicolas. Jika pada akhirnya Nicolas selamanya menjadi suami Catherine, posisiku dan Zinnia benar-benar dalam bahaya. Lambat laun, anak sialan itu pasti akan menyingkirkan kami. Dan aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi.’
‘Mansion ini… seluruh kekayaan Harrington, hanya boleh menjadi milik Zinnia. Putriku,’ batinnya penuh dengan tekad serta rencana licik.
Selama bertahun-tahun, Ophelia sudah mengorbankan segalanya—menjadi istri Zev, berpura-pura menjadi ibu yang baik untuk Catherine—meskipun pada kenyataannya Ophelia dan Zinnia kerap menyiksa Catherine di belakang Zev—itu harus ada timbal balik. Dan satu-satunya hal yang ia inginkan hanyalah satu: Zinnia menjadi pewaris sah Harrington. Meskipun, Zinnia tak memiliki hubungan darah sedikit pun dengan keluarga ini.
**
Jarum jam telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Catherine tampak tertidur lelap di atas ranjang, seorang diri. Namun, tidur nyenyaknya mulai terusik oleh suara bel kamar yang berdentang nyaring dan berulang kali.
Wanita itu menggeliat pelan, alisnya berkerut. Ia bergumam lirih, kata-katanya tak begitu jelas. Tapi karena bel terus-menerus berbunyi, Catherine akhirnya terbangun sepenuhnya dan perlahan bangkit dari tempat tidur.
Dengan langkah malas, ia melirik ke arah jam dinding. “Sudah jam dua pagi… Siapa yang datang malam-malam begini? Ya Tuhan, apa dia tidak tahu ini waktunya orang tidur?” gumamnya kesal, sambil menyeret langkah menuju pintu.
Tanpa berpikir untuk mengintip lebih dulu, Catherine langsung membuka pintu. Dan detik berikutnya, kedua matanya membelalak saat melihat sosok pria menjulang di hadapannya—dengan penampilan berantakan, wajah kusut, dan aroma alkohol yang menyengat.
“N-Nico…” ucapnya dengan suara bergetar, tak percaya.
Nicolas berdiri di sana, jelas dalam kondisi mabuk berat. Tatapannya kosong, namun langkahnya mantap.
“Akkkh!” Catherine menjerit kecil ketika pria itu tiba-tiba melangkah masuk dan langsung memeluk tubuhnya erat.
***