Bab 4: Sikap Kasar Nicolas

1221 Kata
*** Hati Catherine mencelos mendengar ucapan kasar Nicolas. Ia mengangkat wajahnya, menatap pria itu yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi dingin dan penuh ketidaksabaran. “Aku kesulitan berjalan karena gaunku berat dan panjang, bukan karena aku tidak punya mata,” ucapnya pelan. Suaranya hampir bergetar, tapi ia tetap memaksa diri untuk menjawab. Diam saja hanya akan membuatnya semakin terhina. Nicolas seenaknya mengatai dirinya buta. Seenaknya memarahinya tanpa peduli betapa sulitnya ia berjalan dengan gaun berat ini, apalagi sambil mengejar langkah cepat pria itu. Benar-benar suami yang tidak berperasaan. “Sudah tahu gaunmu menyusahkan, kenapa harus buru-buru?!” bentak Nicolas. “Karena aku mengejarmu. Kamu jalannya cepat sekali,” balas Catherine lagi. Namun, segera ia mengalihkan pandangan ketika melihat rahang Nicolas mengeras. Tatapan pria itu tajam, seolah ingin menelannya bulat-bulat. Seram sekali. “Ayo bangun! Kenapa masih di situ?” Catherine menggigit bibirnya yang mulai bergetar, berusaha menahan tangis. Dadanya terasa sesak. Nicolas terus saja membentaknya, tanpa sedikitpun rasa peduli. Tapi yang lebih buruk, kakinya benar-benar sakit. Sepertinya ia keseleo karena jatuh tadi. Catherine mencoba berdiri, tetapi rasa nyeri yang menusuk membuatnya langsung terjatuh kembali. “Akh…” Ia merintih pelan. Nicolas menyipitkan mata, menatapnya penuh ejekan. “Sekarang berdiri saja tidak sanggup?” Sinis sekali suaranya. “Kakiku sakit…” jawab Catherine dengan suara lirih, matanya mulai berkaca-kaca. Ia berusaha menahan diri, tapi sedikit lagi, tangisnya akan pecah. Ia tidak peduli jika Nicolas akan semakin marah. Karena saat ini, ia sudah tidak sanggup lagi menahan semua sesak di dadanya. Di sisi lain, Nicolas mengalihkan pandangan, mendesah kasar dengan napas berat. Matanya terpejam sesaat, berusaha meredam gejolak emosinya. Ia belum bisa berdamai dengan takdir, belum bisa menerima kenyataan bahwa malam ini, ia telah menjadi seorang suami—menggantikan adiknya yang pengecut. ‘Sialan, Damon!’ Geramnya dalam hati. ‘Kalau aku menemukanmu, aku akan menghabisimu!’ Namun, pikirannya kembali pada Catherine. Nicolas menatapnya dengan ekspresi datar, matanya sedikit menyipit seolah memastikan apakah wanita itu benar-benar kesakitan atau hanya berpura-pura. “Berdirilah, Catherine,” perintahnya tegas. “Aku tidak bisa. Kakiku sakit sekali. Tinggalkan saja aku di sini, kamu duluan saja ke kamar. Nanti aku menyusul,” ujar Catherine tanpa menatapnya. Sekali lagi, Nicolas mendesah, lebih kasar dari sebelumnya. Rasa muak terhadap wanita itu semakin menguasai dirinya. Seharusnya mudah saja baginya untuk meninggalkannya di sana—tidak peduli, tidak merasa bersalah. Tapi entah kenapa, langkahnya terasa berat. Ia tidak bisa pergi begitu saja tanpa Catherine di sampingnya. Dengan enggan, ia akhirnya merendahkan tubuh, lalu mengangkat wanita itu ke dalam gendongannya. Catherine terkejut. Ia memekik pelan dan refleks melingkarkan lengannya di leher Nicolas. “Tidak usah gendong aku. Aku bisa sendiri,” ucapnya, berusaha menolak. “Diamlah sebelum aku melemparmu ke bawah. Jangan lupa, kita ada di lantai paling atas,” balas Nicolas dingin, melangkah menuju kamar. Catherine langsung terdiam. Kedua tangannya tetap melingkar di leher pria itu, sementara bibirnya mengerucut mendengar ancamannya. Dulu, ia sering mendengar cerita Damon tentang betapa galak dan kejamnya kakaknya. Dan sekarang, siapa sangka? Pria yang selalu digambarkan Damon sebagai seseorang yang tak berperasaan itu justru menjadi suaminya. Meski begitu, Catherine tidak tahu sampai kapan pernikahan ini akan bertahan. Meskipun baru sehari, rasanya seperti berabad-abad bagi Catherine. Hidup berdampingan dengan Nicolas bukanlah hal yang mudah. Pria itu ibarat iblis dalam wujud manusia—begitu menakutkan, begitu mengerikan. Begitu mereka memasuki kamar, pintu hotel tertutup otomatis di belakang mereka. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Nicolas melangkah lebar menuju ranjang yang dihias indah dengan taburan kelopak mawar merah, menciptakan suasana yang seharusnya romantis. Namun, tanpa peringatan, pria itu melempar tubuh Catherine ke atas kasur. “Aaakhh!” pekiknya tertahan. Tubuhnya terpental ringan di atas kasur empuk, sementara kelopak mawar beterbangan, sebagian jatuh berhamburan ke lantai. “Dasar menyusahkan!” dengus Nicolas kasar. Berdiri di sisi ranjang, tangannya bertolak pinggang, dan sorot matanya penuh amarah menusuk ke arah Catherine. “Tidak cukupkah kau membuatku menderita dengan pernikahan gila ini, hah?! Jawab!” Bentakannya menggema di dalam kamar. Catherine terkejut. Refleks, ia memejamkan mata, tubuhnya gemetar. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh, mengalir di pipinya. Ia menangis—bukan hanya karena dibentak, tapi juga karena ketakutan dan kebingungan. Apa salahnya? Mengapa ia harus menerima perlakuan seperti ini? “Bukan hanya kamu yang tidak menginginkan pernikahan ini, Nicolas. Aku juga sama, aku tidak menginginkannya,” suara Catherine bergetar, namun ia tetap menatap pria itu dengan penuh keberanian. Nicolas tertawa sinis. “Kalau memang benar kau tidak menginginkannya, kenapa tidak menolak, hah?!” bentaknya. Catherine mengepalkan tangannya. “Karena aku dipaksa oleh ayahku! Aku tidak punya pilihan, Nicolas! Aku bahkan sempat menolak dan ingin kabur, tapi ayahku mengunciku di ruangan. Dia menjagaku ketat di sana. Menurutmu, aku bisa apa? Apa yang bisa kulakukan untuk menolak perintahnya?” Alih-alih mereda, amarah Nicolas justru semakin membara. Ia mendekat ke sisi ranjang, menatap Catherine dari atas dengan tajam. “Memangnya apa yang sudah kau lakukan sampai Damon memilih kabur di hari pernikahannya? Dia adikku. Seburuk apa pun dia, aku tahu sifatnya. Dia bukan pengecut yang lari dari tanggung jawab tanpa alasan kuat. Dan yang tahu alasannya hanya kau dan dia.” Nicolas menyipitkan mata. “Apa yang membuat Damon meninggalkanmu, huh?” Catherine menelan ludah dengan gugup. Ia tak sanggup menjawab, tubuhnya menegang di bawah tatapan pria itu. “Kenapa diam?” Suara Nicolas terdengar tajam. “Jangan-jangan memang ada sesuatu yang kau sembunyikan. Mungkin saja bukan hanya Damon yang pernah tidur denganmu. Mungkin ada banyak pria lain, sampai-sampai dia tidak sudi menikahimu. Benar begitu?” Isak tangis Catherine terhenti. Mata besarnya menatap Nicolas dengan tatapan penuh luka. Ya Tuhan… apakah pria ini menganggapnya serendah itu? “Jawab aku, Catherine! Jangan diam saja!” tekan Nicolas dengan nada penuh tuntutan. Catherine menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit yang mengoyak hatinya. Dengan suara lirih, ia akhirnya menjawab, “Aku hanya pernah tidur dengan Damon.” Nicolas terdiam. Jawaban itu seolah menamparnya. Wanita ini… begitu gamblang mengakui bahwa ia pernah bersama Damon—adiknya sendiri. Dan sekarang, dia adalah istrinya. Nicolas menghembuskan napas kasar, matanya berkilat penuh kejengkelan. Tanpa berkata apa pun lagi, ia berbalik dan melangkah lebar menuju pintu. Ia membuka pintu dan keluar, meninggalkan Catherine sendirian di dalam kamar. Begitu pintu tertutup rapat, Catherine masih terduduk di atas ranjang. Tubuhnya terasa lunglai seolah semua tenaganya telah terkuras. Perlahan, ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu menangis sejadi-jadinya. Isakannya menggema di ruangan yang sunyi. Tak ada lagi yang perlu ia tahan. Tak ada lagi yang perlu ia khawatirkan. Nicolas sudah pergi, dan Catherine berharap pria itu tidak akan kembali. Terserah dia mau tidur di mana, Catherine tidak peduli. Untuk malam ini, ia hanya ingin menenangkan hatinya yang kacau, ingin menangis sepuasnya tanpa takut dimarahi atau dicemooh. Sementara itu, di luar kamar, Nicolas melangkah dengan cepat menyusuri koridor hotel. “Sial!” gumamnya dengan rahang mengeras. “Dosa apa yang pernah aku perbuat sampai harus menikahi bekas wanita adikku sendiri?” Ia meremas rambutnya dengan frustasi, napasnya memburu oleh amarah yang sulit diredam. ‘Sialan kau, Catherine… dasar wanita k*****t!’ desisnya dalam hati. Di tengah langkahnya yang tanpa tujuan, tiba-tiba ponselnya bergetar di dalam saku celana. Nicolas menghentikan langkah, lalu merogoh ponsel dan melihat nama yang tertera di layar. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menjawab panggilan itu dan menempelkan ponsel ke telinga. “Halo,” sapanya dingin. Suara di seberang terdengar. “Ke rooftop. Aku sudah disini menunggumu.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN