***
Nicolas berdiri tegap di altar, sosoknya begitu gagah dalam balutan tuksedo hitam dengan potongan sempurna yang membingkai tubuh atletisnya. Kemeja putih yang ia kenakan kontras dengan dasi hitam yang terikat rapi di lehernya. Wajahnya tetap dingin, tanpa ekspresi, hanya sorot matanya yang tajam menatap lurus ke depan, menunggu kedatangan pengantin wanita—Catherine Dawn Harrington.
Gereja megah itu dipenuhi oleh para tamu yang duduk rapi di kedua sisi bangku panjang. Di antara tamu, terdengar bisikan-bisikan pelan—rasa penasaran, keheranan, dan bahkan keraguan tentang pernikahan ini karena mereka melihat kehadiran pengantin pria yang berbeda dari yang seharusnya.
Saat tiba waktunya, cahaya lampu menyorot ke arah pintu utama. Suara terompet mulai menggema, memenuhi seluruh ruangan dengan nada megah yang menandakan momen sakral akan segera dimulai.
Dan disanalah Catherine berdiri.
Gaun putihnya panjang menjuntai, dengan renda halus yang membalut tubuh rampingnya. Wajahnya tertutup kerudung tipis transparan—Veil, namun mata indahnya yang sembab dan penuh kepasrahan masih bisa terlihat. Ia menggigit bibirnya pelan, mencoba menguatkan diri saat semua mata tertuju padanya.
Di sebelahnya, Zev berdiri tegap, ekspresinya dingin dan tak terbaca. Dengan tangan kokohnya, ia menggenggam lengan putrinya, memberi isyarat agar Catherine mulai melangkah.
Biasanya, pengantin wanitalah yang menggandeng lengan ayahnya. Namun, tidak demikian bagi Catherine. Justru Zev yang menggenggam erat lengan putrinya—seolah memaksanya untuk terus melangkah menuju Nicolas.
Dengan iringan musik yang menggetarkan jiwa, mereka maju perlahan. Setiap langkah Catherine terasa berat, seolah membawa beban yang tak terlihat. Jantungnya berdebar tak menentu, dadanya terasa sesak, namun ia tak punya pilihan lain.
Sementara itu, Nicolas tetap diam di tempatnya, tak ada perubahan dalam ekspresinya. Sorot matanya tetap tajam, namun tak ada kilatan emosi di sana. Seolah ia hanyalah seorang pria yang tengah menjalani takdir yang sudah ditetapkan untuknya—tanpa keberatan, tanpa antusiasme.
Langkah demi langkah, Catherine semakin dekat ke altar. Detik-detik yang terasa begitu panjang, Catherine akhirnya tiba di hadapan Nicolas. Langkahnya terhenti, namun tubuhnya masih sedikit gemetar.
Ia bisa merasakan tangan Ayahnya semakin erat menggenggam lengannya sebelum akhirnya Zev mengalihkan pandangannya ke Nicolas yang berdiri tegap di depannya.
Tanpa banyak kata, Zev mengambil tangan Catherine dan menyerahkannya kepada Nicolas. Nicolas menerima tangan Catherine, meskipun gerakannya tampak enggan. Jemarinya yang dingin menyentuh kulit hangat Catherine, namun ia tidak berusaha mengeratkan genggaman.
Zev mundur perlahan, bergabung dengan keluarga dan tamu undangan yang kini menyaksikan dengan penuh perhatian.
Di depan mereka, seorang pastor berdiri. Ia menatap kedua mempelai sebelum membuka upacara sakral itu.
Suasana gereja begitu hening. Catherine menundukkan kepalanya sedikit, berusaha mengatur napasnya yang tak beraturan.
Pastor membuka suara. “Sebelum kita melanjutkan pemberkatan pernikahan ini, saya ingin bertanya kepada kalian berdua di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya.”
Ia menoleh ke arah Nicolas terlebih dahulu.
“Nicolas Delcan Addison, apakah engkau bersedia menerima Catherine Dawn Harrington sebagai istrimu, mencintai dan menghormatinya, dalam suka maupun duka, dalam keadaan sehat maupun sakit, hingga maut memisahkan?”
Seketika, gereja terasa semakin sunyi. Semua orang menunggu jawaban dari Nicolas.
Namun pria itu hanya diam. Matanya menatap lurus ke depan, tanpa sedikit pun menoleh ke arah Catherine. Rahangnya mengeras, seakan menimbang-nimbang kata yang harus ia ucapkan.
Catherine semakin gugup. Jemarinya yang saling menggenggam mulai bergetar. Ia bisa mendengar bisikan pelan dari beberapa tamu yang mulai cemas dengan keheningan ini.
Pastor menatap Nicolas dengan lembut, seolah ingin mengingatkannya bahwa ia harus menjawab.
Beberapa detik berlalu. Hingga akhirnya, dengan suara rendah dan dingin, Nicolas membuka mulutnya.
“Ya, saya bersedia.”
Jawaban itu terdengar begitu hampa. Tak ada emosi, tak ada ketulusan, hanya kata-kata yang terpaksa diucapkan demi menyelesaikan upacara ini.
Catherine memejamkan matanya sejenak. Ia tahu sejak awal bahwa Nicolas tidak menginginkan pernikahan ini, namun mendengar langsung ketidakpeduliannya terasa jauh lebih menyakitkan.
Pastor mengalihkan pandangannya kepada Catherine.
“Catherine Dawn Harrington, apakah engkau bersedia menerima Nicolas Delcan Addison sebagai suamimu, mencintai dan menghormatinya, dalam suka maupun duka, dalam keadaan sehat maupun sakit, hingga maut memisahkan?”
Catherine menggigit bibirnya. Ia mengangkat wajahnya sedikit, menatap lurus ke depan tanpa benar-benar melihat Nicolas. Suaranya bergetar ketika ia menjawab, “Ya, saya bersedia.”
Pastor tersenyum tipis dan mengangguk.
“Dengan demikian, karena kalian telah menyatakan janji suci ini di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya, maka dengan kuasa yang diberikan oleh Gereja, saya menyatakan kalian sebagai suami dan istri. Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia.”
Kata-kata itu bagaikan palu godam bagi Catherine. Tidak ada jalan untuk mundur. Ia kini resmi menjadi istri Nicolas Delcan Addison.
Salah satu bridesmaid membawa sebuah kotak beludru biru tua ke hadapan mereka. Saat dibuka, dua cincin berlian berkilauan di dalamnya, mencerminkan kemewahan yang sesuai dengan status kedua keluarga.
Nicolas mengambil salah satu cincin dan menyelipkannya ke jari Catherine tanpa banyak reaksi. Perempuan itu hanya bisa menatapnya sesaat sebelum mengambil cincin lainnya dan memasangkannya di jari Nicolas.
Cincin-cincin itu kini terpasang dengan sempurna, mengikat mereka dalam sebuah pernikahan yang terasa lebih seperti kewajiban daripada kebersamaan yang diinginkan.
Pastor kemudian memberi isyarat bahwa kini saatnya mereka menyegel pernikahan dengan sebuah ciuman.
Catherine menegang. Ia tahu momen ini akan datang, tetapi tetap saja hatinya berdegup kencang. Di hadapan begitu banyak tamu, ia harus menerima ciuman dari pria yang bahkan tidak menginginkan pernikahan ini.
Nicolas melangkah mendekat, membuat Catherine tanpa sadar menahan napas. Namun, saat wajahnya semakin dekat, pria itu mengangkat tangannya dan meletakkan ibu jarinya di bibir Catherine.
Lalu, dengan tenang, ia mengecup punggung jarinya sendiri.
Dari kejauhan, semua orang melihatnya sebagai ciuman pernikahan yang sempurna. Tak ada yang menyadari bahwa sebenarnya Nicolas sama sekali tidak menyentuh bibir istrinya.
Tepuk tangan bergema di seluruh gereja. Catherine hanya bisa menunduk, menyembunyikan perasaan yang bercampur aduk dalam hatinya, sementara Nicolas tetap berdiri tegak, seolah semua ini tidak berarti apa-apa baginya.
Di antara para tamu yang bertepuk tangan, Zinnia duduk dengan ekspresi dingin. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, matanya menatap tajam ke arah Catherine yang kini berdiri di sisi Nicolas.
Sial!
Ditinggal Damon, Catherine justru mendapatkan Nicolas—pria yang lebih segalanya. Lebih tampan, lebih berkuasa, lebih berwibawa. Pria itu begitu sempurna dimata Zinnia.
Zinnia merasakan dadanya sesak. Kenapa pula sialan itu selalu beruntung?! Kenapa setiap hal yang seharusnya menjadi kehancurannya justru berakhir dengan keuntungan?
Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang mendidih dalam dirinya. Momen yang seharusnya menjadi aib bagi Catherine kini berubah menjadi sesuatu yang bahkan diidamkan banyak wanita.
Matanya menyipit. Ia tidak akan tinggal diam melihat Catherine mendapatkan semua ini begitu saja.
Zinnia menyandarkan tubuhnya, menatap dingin ke arah altar dengan senyum sinis yang nyaris tak terlihat. Kepalanya sedikit miring, matanya menyipit penuh kebencian.
‘Damon memang t***l, tapi kenapa malah Nicolas yang harus menggantikannya? Lebih tampan, lebih berkuasa, lebih segalanya!’ batinnya.
Ia mengepalkan tangan di pangkuannya, kukunya hampir menembus kulit.
‘Kenapa anak sialan itu selalu beruntung?! Seharusnya dia menderita, menangis di depan semua orang! Bukan berdiri di sana dengan pria yang bahkan jauh lebih baik!’
Matanya masih terpaku pada Catherine, yang kini berdiri dengan wajah pucat di sisi Nicolas.
‘Tunggu saja, Catherine. Keberuntunganmu tidak akan bertahan lama,’ bisik Zinnia tajam di dalam hati, penuh dendam.
Setelah ini, entah hal buruk apa lagi yang akan ia lakukan terhadap adik tirinya itu.
**
Beberapa jam kemudian…
Acara pernikahan telah selesai. Nicolas dan Catherine kini tiba di hotel tempat mereka akan menghabiskan malam pertama mereka sebagai suami istri.
Malam pertama?
Nicolas mendengus sinis dalam hati. Mana mungkin ia melakukan hal menjijikkan itu dengan wanita yang pernah di tiduri oleh adiknya sendiri? Meskipun secara hukum dan agama Catherine kini sah menjadi istrinya, bagi Nicolas, pernikahan ini hanya formalitas belaka.
Tanpa menunggu Catherine, ia keluar dari lift dan melangkah dengan tenang melewati koridor yang sunyi.
Di belakangnya, Catherine berusaha mengikuti. Ia mengangkat kedua sisi gaun pengantinnya yang berat agar lebih mudah bergerak. Namun, malang baginya, gaun itu tetap menjadi penghalang. Ia tersandung dan jatuh ke lantai.
Bugh!
“Awwh!”
Catherine meringis kesakitan. Kedua telapak tangannya menahan tubuhnya dari hantaman langsung ke lantai dingin.
Di depan sana, langkah Nicolas terhenti. Ia menoleh sekilas, melihat istrinya terjatuh di belakangnya. Sejenak, ia hanya berdiri diam, napasnya terdengar berat sebelum akhirnya memutar tubuh dan berjalan kembali ke arahnya.
Suara pantofel kulit yang ia kenakan menggema di sepanjang koridor, hingga akhirnya ia berdiri tepat di hadapan Catherine. Menatapnya dengan dingin.
“Apakah kau buta sampai tidak bisa melihat jalan dengan benar?” suaranya terdengar tajam, tanpa sedikit pun kepedulian.
Deg!
***