Bab 2: Pengantin Pengganti

1501 Kata
*** "Aku tidak setuju dengan permintaanmu, Clarissa!" Suara lantang Morgan, ayah Clarissa, menggema di dalam ruangan. Pria tua itu bangkit dari duduknya, ekspresinya penuh kemarahan dan ketidaksetujuan. Tatapan tajamnya tertuju pada putrinya, seolah mencoba menyadarkannya dari keputusan yang dianggapnya tidak masuk akal. Clarissa segera mengalihkan pandangannya ke arah sang ayah. Ekspresinya tetap datar, khas dirinya yang selalu rasional dalam mengambil keputusan. "Aku pun tidak menginginkan ini, Dad," ujarnya dengan suara tenang. "Tapi ini satu-satunya jalan keluar. Nicolas adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan permasalahan rumit ini." Morgan memicingkan matanya, menatap putrinya dengan sinis. "Solusi, kau bilang?" tanyanya dengan nada dingin. "Jadi menurutmu, jalan keluar terbaik adalah mengorbankan putramu sendiri? Memaksa Nicolas menikahi Catherine hanya karena adiknya yang pengecut kabur di hari pernikahannya?" Clarissa tetap bergeming. "Sekarang, jika bukan Nicolas yang menjadi suami pengganti Catherine, siapa lagi?" Suaranya tajam saat ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan, menatap satu per satu orang yang ada di sana. "Apakah ada orang lain yang bersedia? Atau mungkin ada yang bisa membawa Damon kembali ke sini dalam waktu kurang dari satu jam?" Ruangan mendadak sunyi. Tatapan Clarissa beralih ke Nicolas. "Kamu, Nico? Bisakah kau menemukan adikmu dan membawanya kembali sebelum para tamu menyadari bahwa pengantin pria telah menghilang?" Nicolas mengeraskan rahang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tidak bisa menjawab. Clarissa lalu menoleh ke Oscar, keponakannya yang masih duduk di sudut ruangan. "Atau mungkin kamu, Oscar?" Pria itu juga diam dengan wajah datarnya. Tak berhenti di situ, Clarissa kini menatap kakaknya, Lucas. "Atau mungkin Kak Lucas bisa melakukannya?" Lucas pun sama, hanya diam. Tak ada satupun dari mereka yang bisa memberi jawaban. Clarissa menghela napas panjang. Ia kembali menatap ayahnya dengan ekspresi serius. "Tidak seorang pun sanggup melakukannya, Dad," katanya pelan. "Kita semua tahu bahwa membatalkan pernikahan ini bukan pilihan. Pernikahan ini terjadi bukan karena perjodohan, ini adalah bentuk tanggung jawab keluarga Addison terhadap keluarga Harrington." Matanya menatap lurus ke arah ayahnya, tidak lagi sekedar meminta restu, tetapi menegaskan bahwa keputusannya sudah bulat. "Damon telah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya terhadap Catherine," lanjutnya. "Dan gadis itu harus segera menikah sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi padanya." "Lalu bagaimana jika ternyata Catherine mengandung anak Damon, sedangkan yang menjadi suaminya adalah Nicolas?" Suara Morgan meninggi, penuh kemarahan yang tak lagi bisa ia bendung. Wajahnya memerah, dadanya naik turun menahan emosi. "Apakah kau tidak berpikir sejauh itu, Clarissa? Kau sudah gila?!" Pria tua itu berdiri tegak, menatap tajam putrinya seolah tak percaya dengan keputusan yang baru saja ia dengar. Ia tak habis pikir bagaimana mungkin Clarissa bisa dengan mudahnya mengorbankan Nicolas—cucu kesayangannya—untuk menanggung beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab Damon. Namun, Clarissa tetap tenang. Seakan sudah mempersiapkan segala argumen, ia menatap ayahnya dengan dingin. "Mudah saja, Dad." Nada suaranya terdengar begitu ringan, "Setelah pernikahan selesai, kita akan berbicara dengan Catherine dan keluarganya. Kita akan membuat perjanjian bahwa Nicolas dan Catherine tidak boleh melakukan hubungan suami istri selama tiga bulan setelah pernikahan." Clarissa menyilangkan tangan di depan dadanya, ekspresinya tetap datar. "Dengan begitu, kita bisa memastikan apakah Catherine hamil anak Damon atau tidak." Ruangan itu kembali sunyi. Hanya terdengar tarikan napas berat dari Morgan yang masih berdiri dengan ekspresi terkejut dan marah. "Kau benar-benar gila, Clarissa,” desis Morgan. Ia menggelengkan kepala perlahan, seolah tidak percaya dengan keputusan putrinya. "Kau tidak waras! Dasar wanita sakit jiwa!" Tambahnya penuh emosi. Clarissa hanya diam. Semua yang ada di ruangan itu tetap diam, seolah tak ada yang berani membuka suara. Bahkan Axel, suami Clarissa, hanya bisa berdiri pasrah di sampingnya dengan ekspresi tegang. Ia tahu betul, ketika istrinya sudah mengambil keputusan, hampir mustahil untuk mengubahnya. "Tidak! Aku tetap tidak setuju!" suara Morgan kembali meninggi. "Nicolas tidak layak menerima sisa dari adiknya sendiri!" Clarissa membuka mulut, hendak membalas, tetapi Morgan langsung mengangkat tangannya, menghentikannya. "Diam! Diam, Clarissa! Hentikan kegilaanmu!" Ia menunjuk tajam ke arah wajah putrinya. Namun, Clarissa sama sekali tidak terintimidasi. "Keputusanku sudah bulat," ujarnya dingin. "Tidak seorang pun bisa mengubahnya. Tidak Nicolas, tidak Axel, dan tidak juga kau, Dad." Morgan mengepalkan tangannya, menatap putrinya dengan ekspresi penuh kemarahan dan kekecewaan. "Kau tidak berhak mengatur Nicolas! Yang membesarkannya adalah aku, bukan kau!" Engah Morgan. "Dan jangan lupa, tanpa aku, Nicolas tidak akan pernah ada di dunia ini,” balas Clarissa dengan tegas. "Clarissa!" Suara Lucas menggelegar memenuhi ruangan. Wajah pria paruh baya itu memerah, matanya memancarkan kemarahan yang tak lagi bisa ditahan. Ia sudah cukup muak mendengar bagaimana adiknya berbicara dengan nada tajam kepada ayah mereka. Morgan sendiri kini terdiam, namun tatapannya tajam menyorot ke arah putrinya. Seumur hidupnya, tak pernah ada satu orang pun yang berani menentangnya, kecuali hari ini. Clarissa—putrinya sendiri—berdiri di hadapannya dengan penuh keberanian, menentang keinginannya tanpa sedikitpun ragu. Clarissa akhirnya mengalihkan pandangannya dari sang ayah. Kini, tatapannya tertuju pada putranya, Nicolas, yang berdiri dengan ekspresi datar. "Persiapkan dirimu, karena sebentar lagi kamu harus berdiri di altar," ucapnya, penuh ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. Nicolas menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Ia bisa saja menolak perintah ibunya dengan mudah—pergi begitu saja, dan pernikahan ini pun batal. Namun, ia tahu betul bagaimana kepribadian ibunya dan kakeknya. Jika ia menentang, pertengkaran akan semakin besar, dan ia tak ingin melihat kakeknya jatuh sakit karena perdebatan yang tak berkesudahan. "Tenanglah," lanjut Clarissa dengan nada enteng, seakan ini bukan masalah besar. "Pernikahan ini hanya untuk menyelamatkan nama baik dua keluarga. Jika nanti terbukti bahwa Catherine hamil, kau bisa mengajukan pembatalan pernikahan, dan semuanya akan kembali normal seperti semula." Sejenak, ruangan kembali hening. Semua yang ada di dalamnya hanya bisa menatap Clarissa dengan ekspresi tak percaya. Lucas, Axel, bahkan Oscar hanya bisa menggelengkan kepala, entah karena kesal, marah, atau sekedar tak habis pikir dengan jalan pikiran wanita itu. Morgan mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras menahan amarah. "Anak ini benar-benar sudah gila," gumamnya geram. Namun, meskipun ia begitu marah, Morgan tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Clarissa sudah membuat keputusan, dan sekeras apa pun ia menentang, putrinya tetap tidak akan berubah pikiran. Pria tua itu merasakan sesuatu mendidih di dalam dadanya—amarah yang bercampur dengan ketidakberdayaan. Rasanya ia ingin menghancurkan dunia ini beserta isinya. Ia tidak bisa menerima kekalahan ini. Sejak kecil, Nicolas adalah cucu kesayangannya. Ia yang membesarkannya, mendidiknya, dan memastikan anak itu tumbuh menjadi pria yang kuat dan terhormat. Namun kini, semua pengorbanannya seolah sia-sia. Dengan begitu mudahnya, Clarissa menghancurkan rencana hidup yang telah ia susun dengan matang, hanya karena Damon yang pengecut, memutuskan untuk melarikan diri di hari pernikahannya sendiri. Sial! Morgan menggeram marah. Andai saja Clarissa bukan putrinya, mungkin detik ini wanita itu sudah tergeletak tak bernyawa di hadapannya. ** Setelah perdebatan yang cukup menegangkan, akhirnya Clarissa keluar sebagai pemenangnya. Tak ingin membuang waktu, ia dan suaminya, Axel, segera menemui Zev untuk membicarakan rencana mereka. Namun, begitu rencana itu disampaikan, Zev langsung tertegun. Wajahnya menyiratkan keterkejutan yang teramat sangat. Ia mengira Axel dan Clarissa sedang bercanda atau bahkan mempermainkannya. Tapi ketika Axel menjelaskan dengan serius—menegaskan bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan nama baik keluarga mereka—akhirnya, meskipun berat, Zev menyetujui keputusan itu. Nicolas akan menjadi suami pengganti bagi putrinya, Catherine. "Apa?!" Suara Catherine terdengar tercekat di tenggorokan saat mendengar keputusan ayahnya. Ia langsung bangkit dari duduknya, berdiri tegak dengan mata membelalak, menatap Zev dengan ketidakpercayaan. "Dad, ini tidak serius, kan?" Suaranya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. "Nicolas... dia akan menggantikan Damon dan menikahiku? Ini tidak benar, kan? Katakan padaku kalau ini hanya lelucon!" Zev tetap berdiri dengan ekspresi dingin, sama sekali tak terpengaruh oleh reaksi putrinya. "Hanya ini satu-satunya solusi, Catherine," ujarnya tegas. "Kau harus menikah dengan Nicolas untuk menyelamatkan nama baik keluarga kita dan menjaga kehormatanmu sebagai seorang wanita!" "Tidak!" Catherine menggeleng cepat, mundur selangkah dengan tubuh gemetar. "Aku tidak mau, Dad! Aku tidak mencintai Nicolas, dan dia pun tidak mencintaiku! Aku tidak bisa menikah dengannya! Tolong, jangan lakukan ini padaku!" Air mata mulai menetes di pipinya. Ia menoleh, berniat melarikan diri dari ruangan itu, tapi Zev dengan sigap menangkap lengannya dan menariknya dengan kasar. "Kau mau ke mana?" Suaranya tajam, menusuk seperti pisau. Tak ada kelembutan, seolah gadis di hadapannya bukanlah putri kandungnya. "Apa kau ingin melakukan hal yang sama seperti Damon? Kabur begitu saja dan mempermalukan keluarga ini di depan semua orang?!" Catherine terisak, menatap ayahnya dengan tatapan penuh permohonan. "Dad, kumohon... jangan paksa aku," suaranya hampir tak terdengar. Namun, wajah Zev tetap dingin, tak menunjukkan sedikit pun simpati. Tanpa menghiraukan tangisan putrinya, Zev memberi perintah kepada istrinya. "Panggil perias sekarang juga!" Tak lama kemudian, dua orang wanita masuk ke dalam ruangan, membawa perlengkapan rias mereka. Catherine bahkan belum sempat bernapas lega ketika Zev menyeretnya dengan paksa ke kursi rias. "Duduk!" Perintahnya keras dan tak terbantahkan. Dengan berat hati, Catherine menuruti perintah itu. Dua perias segera bersiap mempercantik wajahnya, seolah-olah ini adalah pernikahan yang membahagiakan, padahal bagi Catherine, ini adalah mimpi buruk. 'Tuhan… kenapa takdirku seburuk ini? Kenapa aku merasa tak seorang pun menyayangiku di dunia ini? Semua orang jahat padaku, dan sekarang... Engkau memberiku seorang suami yang begitu dingin seperti Nicolas.’ batin Catherine menangis lebih keras daripada yang tampak di wajahnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN