*** Clarissa masih berdiri di tempatnya. Tubuhnya tegak, kedua tangan terlipat di depan d**a. Matanya menatap pintu yang baru saja tertutup beberapa menit lalu—pintu yang menjadi saksi perpisahan singkat antara dirinya dan putra sulungnya itu. Ia menarik napas dalam, namun tidak langsung melepaskannya. d**a wanita paruh baya itu mengembang perlahan, seolah menahan segala bentuk emosi yang tadinya tertahan. Setelah beberapa detik hening, Clarissa akhirnya bergerak. Ia melangkah ke arah jendela besar yang menghadap ke halaman rumah. Tangannya menyentuh tirai tipis berwarna krem, lalu menyingkirkannya sedikit. Mobil Nicolas sudah tidak ada di sana. “Anak itu…” gumamnya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, begitu erat hingga buku-bukunya memutih.