Batas Kesabaran

1141 Kata
“Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.” Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini. “Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?” Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas. “Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi dimakan sama anak hasil hubungan terlarang!” Kata-kata terakhir itu membuat Luna benar-benar membeku di tempat. Matanya membesar, tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Sungguh, kalimat seperti itu keluar dari mulut Ardan? Anak hasil hubungan terlarang, katanya? Luna tak bisa menerima ini. "Aku ingat terus omongan kamu ya, Mas. Kalau suatu saat anak yang aku lahirkan itu terbukti anak kamu, kamu jangan nyesel," ujar Luna sambil mengusap air matanya yang mengalir tanpa permisi. "Aku bisa terima kalau kamu menghina aku, tapi kalau udah bawa-bawa anak yang nggak bersalah, aku nggak terima. Apalagi anak yang kamu tuduh lahir dari hubungan terlarang itu sebenarnya lahir dari pernikahan yang sah." Ardan hanya terdiam, menatap Luna dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Uang itu masih ada, kok. Nggak pernah aku pakai. Besok aku balikin sekalian sama kartu ATM-nya," ujar Luna lagi. "Sesusah-susahnya aku, aku nggak pernah ngasih makan anakku pakai uang kamu. Meskipun sebenarnya itu udah kewajiban kamu buat kasih makan darah dagingmu sendiri." Luna menekankan kalimat terakhirnya dengan tajam sebelum mengusap air matanya dengan kasar. Tanpa menunggu tanggapan dari Ardan, ia segera menaiki motornya dan melaju pergi. Ardan tetap terdiam di tempatnya, matanya terpaku pada punggung Luna yang semakin menjauh bersama deru motornya. Drrt... drrt... Ardan mendengus kesal, kemudian meraih ponselnya yang bergetar dan membaca pesan yang baru saja masuk. Bank Citra Jaya: [Dengan hormat, Kami mengingatkan bahwa pembayaran untuk pinjaman/angsuran Anda telah melewati tanggal jatuh tempo.Hingga saat ini, pembayaran sebesar 200.000.000 belum kami terima. Kami mohon agar pembayaran segera dilakukan paling lambat hari ini untuk menghindari denda atau tindakan lebih lanjut.Pembayaran dapat dilakukan melalui transfer ke rekening.Jika ada pertanyaan, hubungi kami di (022) 765-4321.Hormat kami, Bank Citra Jaya.] "Sial!" Ardan melempar ponselnya ke atas meja dengan kasar. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi, lalu memijat pangkal hidungnya dengan jari-jarinya, memejamkan mata sejenak untuk meredakan kepala yang mulai pusing. Setelah hatinya mulai tenang, ia kembali mengendarai mobilnya lagi dengan kecepatan sedang. ***** "BUNDA!!!" Luna disambut oleh teriakan ceria buah hatinya saat memasuki rumah. Cio berlari menuju pintu dengan wajah berseri-seri. Luna tersenyum, meski lelah. Tangannya terbuka, menyambut pelukan hangat anaknya. "Kok udah di rumah? Katanya makan pizza sama Om Dylan?" tanyanya. "Udah. Om Dylan cepet-cepet soalnya ada pasien," jawab Cio dengan antusias. Luna tertawa kecil, lalu mencium puncak kepala anaknya. Kemudian ia menuntun anaknya untuk segera masuk ke dalam rumah. "Bunda, nanti kalau ulang tahun, Cio mau dirayain kayak temen-temen," pinta bocah itu dengan penuh semangat. Sambil meletakkan tasnya, Luna menanggapi ucapan bocah itu. "Dirayain? Emang Cio mau dirayain di mana?" tanyanya. "Di sekolahan. Cio mau tema roblox," jawab Cio, matanya berbinar penuh harap. Luna terkekeh pelan, tersenyum melihat antusiasme anaknya. "Iya, nanti Bunda omongin dulu sama Om Dias." "Yeay!" Cio langsung melompat kegirangan, meskipun bundanya belum memberinya kepastian. Luna harus berdiskusi dengan Ibu dan adik-adiknya untuk membahas persiapan ulang tahun itu. Jika tidak dirundingkan dengan mereka, khawatir adik-adiknya sibuk dengan pekerjaan mereka. "Bunda, nanti Om Dylan diundang, ya!" pintanya lagi dengan semangat. "Iya, Sayang," balas Luna seraya mengambil air minum di dalam kulkas. "Cio suka banget sama Om Dylan. Cio mau Om Dylan jadi ayahnya Cio," celetuknya tiba-tiba, membuat Luna hampir tersedak air yang baru saja diminumnya. "Bunda juga suka sama Om Dylan, kan? Kata Om Dylan, Bunda pernah cium pipi Om Dylan," goda Cio sambil tersenyum nakal. Mata Luna melotot tajam. "Enggak, ya! Om Dylan bohong itu," bantahnya sambil memalingkan wajahnya ke samping. Ia memang pernah mencium pipi Dylan, tapi itu tidak sengaja. Gara-gara ia tersandung dan ditolong Dylan, ia malah mendaratkan bibirnya di pipi pria itu. Kejadian itu sangat memalukan, hingga membuat Luna enggan mengingatnya lagi. Namun si Ardan kecil ini malah mengungkitnya dan bahkan menggodanya. Enggan menanggapi anaknya lebih lanjut, Luna beranjak menuju dapur untuk membantu ibunya yang sudah sibuk menyiapkan adonan kue. "Adonan donatnya udah Ibu cetak, kamu tinggal goreng aja," ujar Juli. Luna mengangguk. "Berarti tinggal buat kue lapis aja?" tanyanya. "Ini udah Ibu buatin adonan. Kamu goreng donatnya dulu, nanti Ibu yang buat kue lapis," jawab Juli. Luna pun mulai menggoreng donat satu per satu, berusaha fokus pada pekerjaannya, meskipun pikirannya masih terombang-ambing memikirkan mantan suaminya. ***** Di rumah yang sederhana namun tetap terkesan mewah, Ardan terlihat sedang menyiapkan sesuatu di dapur. Setelah selesai, ia membawa piring tersebut ke ruang tamu dan memberikannya kepada istrinya yang sedang duduk di kursi roda. "Ck, kok makanan ini lagi sih, Mas? Aku pengen kepiting saus padang. Masak dari pagi sampai sore dikasih makan ayam goreng terus?" protes wanita itu dengan nada jengkel. Ardan mendengus kesal, tampak mulai kehabisan kesabaran. Ia duduk di sofa dan membuka laptopnya sambil menggerutu. "Buang aja kalau nggak mau. Kamu pikir aku pengangguran? Bisa goreng ayam aja udah syukur. Aneh-aneh, mau minta kepiting saus padang." Wanita itu semakin kesal, wajahnya memerah. "Ya belikan di luar kalau nggak bisa masak!" jawabnya tajam. Ardan mengerling ke arah istrinya dengan ekspresi marah yang mulai memuncak. "Jangan bikin aku marah, Lan. Apapun yang kamu mau udah aku turuti. Aku sampai terlilit hutang juga gara-gara kamu. Sekarang, aku nggak bisa bayar dan jadi buronan Bank. Masa nggak ada sedikit pun rasa kasihan di hati kamu?" Wanita itu terdiam sejenak, namun amarahnya tidak surut. Tiba-tiba ia membanting piring ke lantai dengan keras. Bunyi pecahan piring yang memekakkan telinga itu diikuti oleh nasi dan ayam goreng yang berantakan di atas karpet. "Aku nggak mau makan kalau nggak ada kepitingnya," ucapnya ketus. Ardan terdiam, napasnya naik turun menahan emosi. Sesaat, ia hanya bisa menatap ke arah tumpukan makanan yang berserakan. "Pantesan Tuhan nggak kasih kamu sembuh. Kamu belum berubah. Sifat buruk kamu masih dipertahankan. Egois, keras kepala, boros, pemarah, dan suka mendominasi orang lain," desis Ardan dengan nada tajam. Dengan tubuh yang kaku, Ardan bangkit dari tempat duduk, mengambil kunci mobil dari meja, dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan menuju pintu, meninggalkan wanita itu di rumah sendirian. "MAS, KAMU MAU KE MANA?!" teriak wanita itu dengan suara melengking. Namun Ardan tak menghiraukannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN