Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti.
Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.
“Ada yang tahu akun i********: Pak Ardan?
“Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?”
“Sedikit-sedikit, hahaha.”
“Awas ketahuan istrinya.”
“Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.”
“Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.”
“Iya pasti ganteng sama cantik banget.”
Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.
“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata.
Luna tersenyum tipis, kemudian menjawab, “Sakit perut. Pas udah mau balik, ternyata dosennya udah keluar, jadi aku ke kantin sekalian,” jawabnya berbohong.
“Lain kali jangan kayak gitu ya, Kak. Soalnya dia Dosen baru, takutnya nggak nyaman ngajar di kelas kita,” tegur gadis berhidung mancung.
“Iya,” jawab Luna sambil tersenyum paksa.
Di antara semua teman di kelasnya, Luna termasuk salah satu yang paling tua, bersama tiga mahasiswa lainnya. Hal itu karena ia sempat menunda kuliah selama tiga tahun. Setelah umur Cio genap dua tahun, barulah ia memberanikan diri mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi.
Ketika tiba waktunya istirahat, Luna segera merapikan barang-barangnya. Ia mengambil kartu berwarna hitam dari dalam tas, menyimpannya di saku celana, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah santai.
Karena tujuannya adalah mencari Ardan, Luna mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil berjalan. Namun, ia ragu untuk bertanya kepada dosen atau mahasiswa, takut mereka akan curiga. Setelah beberapa lama tak menemukan sosok yang dicari, akhirnya ia memberanikan diri menghentikan seorang dosen yang kebetulan lewat di sampingnya.
"Bu Rika!" panggilnya sambil berlari kecil menghampiri wanita itu.
Dosen tersebut menghentikan langkahnya dan menatap Luna dengan alis terangkat. "Ada apa?" tanyanya singkat.
Luna tersenyum canggung sebelum menjawab. "Emh... Ibu tahu di mana Dosen baru yang namanya Pak Ardan?"
Kening Bu Rika berkerut. "Pak Ardan?" ulangnya memastikan.
Luna mengangguk cepat. "Iya, Bu."
"Ada di ruangannya. Kenapa memangnya?"
"Ini, Bu. Saya mau ngantar kartu ATM beliau. Kemarin jatuh waktu beliau mau naik mobil, jadinya saya ambil terus saya simpan," jawab Luna berbohong, lalu menunjukkan kartu berwarna hitam yang baru saja dikeluarkannya dari dalam saku.
Seketika tatapan Bu Rika tiba-tiba berubah menjadi sinis. "Itu nggak kamu ambil kan, isinya?" tanyanya ketus, nada curiga jelas terdengar.
Luna tersenyum tipis, meski merasa sedikit tersinggung. "Alhamdulillah saya bukan pencuri, Bu," jawabnya.
"Titipin ke saya aja. Biar saya yang kasih ke Pak Ardan," kata Bu Rika, tetap dengan nada ketus.
Luna menggeleng pelan, tetap menjaga senyumnya. "Saya kasih sendiri aja, Bu. Saya yang menemukan, jadi saya yang harus mengembalikan," balasnya sopan namun tegas.
Bu Rika mendengus kesal, lalu tanpa menjawab lebih lanjut, ia melangkah pergi begitu saja tanpa memberitahu Luna di mana ruangan Ardan berada.
Luna menghela napas panjang. Ia melanjutkan perjalanannya sambil sesekali melirik setiap pintu yang dilewatinya, berharap ada plakat nama Ardan di salah satu ruangan.
Ketika melewati sebuah belokan, Luna mendengar suara pintu terbuka. Ia refleks menoleh, dan di sanalah ia melihat seseorang keluar dari kamar mandi. Tubuhnya langsung rileks, dan ia menghela napas lega begitu menyadari siapa pria itu.
"Mas," panggilnya pelan namun cukup terdengar.
Ardan, yang sedang mengeringkan tangannya dengan tisu, mengangkat wajah dan menatap Luna. "Apa?" tanyanya dengan nada datar.
Luna berjalan mendekat dan mengulurkan kartu ATM berwarna hitam. "Nih," katanya singkat, nada suaranya pun sama datarnya dengan ekspresi wajahnya.
Namun, bukannya mengambil kartu itu, Ardan justru menatapnya sekilas sebelum berkata, "Bawa ke ruangan saya." Lalu, tanpa menunggu tanggapan, ia melangkah pergi begitu saja.
Luna menghela napas kasar, kemudian dengan cepat mengikuti langkah Ardan dari belakang.
Langkah keduanya terhenti di depan sebuah pintu bercat putih dengan plakat kecil bertuliskan Dosen Pembimbing - Ardan Willy Kusuma. Ardan membuka pintu itu dan melangkah masuk tanpa menoleh. Luna, yang sedikit ragu, akhirnya ikut masuk setelahnya.
Ruangan itu cukup sederhana, dengan meja kayu besar yang penuh dengan dokumen dan laptop di atasnya. Sebuah rak buku menempel di dinding, penuh dengan buku-buku tebal. Ardan berjalan ke mejanya, lalu duduk di kursi dengan gerakan santai.
"Kok kamu udah punya ruangan sendiri, padahal baru masuk kemarin?" tanya Luna heran, matanya mengitari ruangan yang terlihat lebih luas dibandingkan ruangan dosen pada umumnya.
"Privilege," jawab Ardan santai sambil melonggarkan dasinya. "Duduk," tambahnya sambil menunjuk kursi di depan meja kerjanya.
Luna menurut, segera duduk dan tanpa basa-basi meletakkan kartu ATM berwarna hitam di atas meja. "Lunas. Aku udah nggak berhutang apa-apa ke kamu. Soal uang yang kamu sumbangkan untuk membangun panti, anggap aja sedekah," ucapnya ketus, suaranya penuh penekanan.
Ardan tersenyum miring. "Saya nggak yakin, apakah uang di kartu ini masih ada," ucapnya meremehkan.
Luna mendengus kesal. "Potong jari aku kalau uang di kartu itu nggak ada," tantangnya.
Ardan mengangkat alis, menatap Luna dengan tatapan sinis. "Apa yang bisa dipercaya dari mulut seorang pengkhianat?" katanya, masih dengan nada meremehkan.
"Segitu cintanya kah, kamu sama Mbak Wulan, sampai percaya semua yang dia katakan?" tanya Luna, ia sudah muak karena selalu dituduh pengkhianat.
"Ya," jawab Ardan dengan mantap. "Karena memang ada buktinya," tambahnya dengan nada penuh keyakinan.
Luna terdiam sejenak, menahan amarah yang mendidih di dalam d**a. "Biarkan waktu yang menjawab. Kita lihat nanti, siapa yang pada akhirnya terbukti bersalah," ujar Luna dengan suara tegas, lalu berdiri dan melangkah menuju pintu.
Namun, sebelum Luna sempat melangkah keluar, Ardan tiba-tiba menghalangi pintunya dan berdiri tegak di hadapannya.
"Apa lagi?" tanya Luna dengan nada geram, merasa frustasi dengan sikap Ardan yang tidak jelas.
Ardan menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Kamu tahu tempat jualan seafood yang enak di daerah sini?"
Luna memutar bola matanya malas. "Kamu punya HP, punya teman, punya kenalan. Kenapa harus tanya ke mantan istri?" tanyanya ketus.
"Memangnya salah?" balas Ardan dengan nada santai, seolah tidak ada yang aneh dengan pertanyaannya.
Luna mendengus kesal. "Jelajahi aja daerah sini, nanti juga ketemu sendiri. Di pinggir jalan banyak orang jualan seafood," jawabnya ketus.
"Saya tanya di mana warung seafood yang paling enak, bukan di mana letak warung seafood."
Sebelum Luna sempat berkata lebih lanjut, Ardan dengan cepat meraih tangannya dan menariknya keluar dari ruangan. "Antar saya," pintanya dengan nada tegas.
Luna yang terkejut segera menepis tangan pria itu. Namun, Ardan tak menyerah dan kembali menggenggam pergelangan tangannya, kali ini lebih erat.
"Mas, lepasin! Nanti ada orang yang lihat." Luna panik, berusaha melepaskan diri. Namun, Ardan tetap menggenggam tangannya erat, tak memberi ruang untuk menolak.
"MAS!" bentak Luna.
Ardan menghela napas kasar, lalu melepaskan tangan Luna dengan cepat. "Saya tunggu di mobil. Kalau kamu nggak datang, jangan salahin saya kalau besok foto perselingkuhan kamu tersebar," ujarnya dengan nada datar, sebelum berjalan pergi meninggalkannya.