CELIA keluar dari kamar saat Axel memanggil namanya. Dia terkejut ketika melihat Axel sudah berpakaian rapi, dengan setelan formal lengkap dengan kemeja biru langit, jas dan celana bahan kain warna hitam. Pria itu kemudian berjalan menuju dapur dan menyantap sarapan di meja bar kecil di sana.
"Lo mau pergi, Xel?" tanyanya, mendekat, mengambil tempat duduk di kursi yang berada di sebelah Axel.
"Gue mau ke tempat kerja," jawab Axel sekenanya. Dia menatap Celia yang terlihat segar, seperti baru mencuci muka. Rambutnya yang lurus panjang menempel di leher dan sebagian sudut wajahnya.
"Terus, lo bakal ninggalin gue di sini sendirian gitu?" tanyanya sewot.
"Lo takut?" Axel tersenyum tipis, dia mendorong piringnya menjauh saat melihat Celia menggeleng cepat. "Lo bisa cuci piring, kan?"
Celia mengangguk ragu.
"Kalau bisa, lo yang nyuci piringnya, gue mau berangkat sekarang juga," jelas Axel yang kini bangkit dari tempat duduknya.
"Buru-buru banget, sih, Xel? Lo nggak betah karena ada gue di sini atau bagaimana, sih? Belum ada jam tujuh, masa lo udah mau berangkat kerja aja?" rengekan manja itu membuat Axel menghela napas panjang.
"Gue perlu kerja, Celia, gue datang ke sini karena pekerjaan gue itu." Dia menatap Celia serius. "Lo bilang gini bukan karena lo takut sendirian di sini, kan? Kunci aja pintunya, tutup jendela, nggak akan ada hantu yang mau repot-repot gangguin lo juga."
Celia memajukan bibirnya. "Enak aja! Gue cuma nggak mau sendirian di sini, tahu!"
Axel menghela napas kasar. "Gue nggak tahu harus gimanain lo sekarang. Gue nggak mungkin nemenin lo dua puluh empat jam. Jangan manja, lo udah dewasa, lo pasti tahu gue punya banyak kesibukkan di luar sana. Tolong ngertiin posisi gue, Celia."
"Okay-okay, jangan ngambek gitu, dong, serem tahu."
Axel menghela napasnya sekali lagi, meredakan sedikit gejolak amarah yang tiba-tiba saja menguasai diri. "Lo di apartemen aja, jangan bikin ulah macam-macam. Jangan berantakin apa pun kalau lo nggak bisa ngeberesinnya."
Celia mengangguk patuh.
"Jangan lupa makan, jangan sampai mag lo kambuh dan bikin repot orang."
Celia mengangguk lagi. "Ada lagi, nggak?"
Axel menggeleng pelan. "Gue berangkat sekarang, jaga diri lo baik-baik." Dia mulai berjalan menjauh dari dapur.
"Cepet pulang, ya!" Axel hanya menoleh singkat sambil mengangguk.
Niatnya hanya datang ke kantor, tidak lama, hanya untuk melihat-lihat keadaan kantor yang akan dia ambil alih kepemimpinannya untuk sementara. Sekaligus ia ingin melihat, di mana Axel bisa menempatkan dirinya agar bisa membangun kembali perusahaan kecil itu secepat mungkin.
***
Axel sengaja datang pagi-pagi untuk menghindari tatapan para staf di kantor itu. Jumlahnya memang tidak sampai ribuan seperti karyawannya di AOC, tapi tetap saja, kedatangannya akan mengundang beberapa pasang mata untuk meliriknya karena rasa ingin tahu.
Axel ingin menghindari semua itu. Dia ke sana untuk melihat catatan-catatan yang bisa ia evaluasi sebentar. Namun, dia tidak kuasa saat melihat beberapa perempuan rajin yang ternyata sudah sampai di tempat kerja.
Mereka lantas memandangi Axel dengan wajah penasaran. Tatapan memuja yang mereka tampilkan sudah lebih dari cukup untuk membuat Axel tahu, bahwa mereka sedang tertarik padanya.
Axel hanya tersenyum sopan dan melewati mereka untuk lekas masuk ke dalam kantor. Lobi di lantai bawah berisi resepsionis yang kini kelabakan merapikan penampilannya saat melihat Axel datang.
"Pagi, Pak!" sapaan itu hanya ia balas dengan anggukan.
Axel pernah ke Starlight beberapa tahun yang lalu dan ia rasa, resepsionis itu masih mengingatnya dengan baik. "Ruangan Direktur ada di lantai berapa?" tanyanya, to the point.
"Lantai lima, Pak, mau saya antarkan ke sana?" tawar resepsionis itu.
"Boleh."
Kemudian resepsionis itu mengantarnya menuju lift khusus yang bisa digunakan untuk bos dan para petinggi divisi. Sedang satu lift lagi biasa digunakan untuk pegawai.
Di lantai satu, tidak ada satu pun divisi yang bekerja di sana, kecuali resepsionis yang bertugas menerima tamu berupa klien. Di lantai itu disediakan dua ruangan privat untuk digunakan meeting dengan klien atau artis jika memang diperlukan.
AOC cukup perhatian dengan karyawan dan kliennya. Mereka menyiapkan bangunan yang lebih dari cukup baik untuk membuat nyaman pekerja maupun pelanggan. Namun, bagaimana ceritanya jika iklan yang mereka dapatkan menurun hampir setiap bulan selama setahun terakhir?
Begitu sampai di lantai lima, Axel mengucapkan terima kasih untuk mengiringi kepergian salah satu resepsionis rajin yang mau datang pagi-pagi ke kantor. Jumlah resepsionis di sana lebih dari satu orang, tapi Axel hanya melihat satu orang itu saja pagi ini.
Diketuknya pintu, tapi tak satu pun suara dia dapat dari dalam. Axel membuka pintunya, tidak dikunci, dan tidak ada orang. Pria itu lantas menghela napasnya kasar, dia pun masuk ke dalam ruangan dan duduk dengan nyaman di sofa.
Menunggu memang sesuatu yang sangat menyebalkan, tapi itulah yang harus ia lakukan sekarang. Termasuk kesalahannya juga, saat dia lupa bertanya pada resepsionis tadi, apakah direktur perusahaan ini sudah sampai atau belum. Toh, memang jam memulai kerja masih beberapa menit lagi.
Axel yakin bisa menunggu dengan baik.
Namun, satu jam berlalu, dia belum melihat kedatangan direktur utama ke ruangannya sendiri. Dahinya mengernyit, dia melirik jam di tangan kirinya yang menunjukkan pukul delapan pagi.
Telat lima belas menit masih wajar, tapi telat satu jam itu kurang ajar. Sebagai atasan, tidak seharusnya direktur datang sesuka hatinya.
Pintu ruangan diketuk dari luar.
"Masuk!" sahut Axel cepat, dia melihat seorang pria paruh baya kini menundukkan kepala di depan wajahnya. Axel pun berdiri. "Kamu bukan direktur utama di perusahaan ini," katanya, jelas-jelas dia mengenal rupa direktur Starlight yang ia temui lima bulan yang lalu saat rapat internal di AOC.
Pria tua itu menundukkan wajahnya. "Maaf, Pak. Saya kepala divisi tim kreatif, saya datang karena mendengar dari resepsionis kalau Bapak berada di sini, tapi direktur belum juga sampai."
"Di mana direktur kalian?" tanya Axel to the point. "Saya tidak berniat membuang-buang waktu, saya perlu kedatangannya untuk memerintahkan semua divisi membuka arsip setahun belakangan, karena saya butuh mengevaluasi semuanya sebelum masuk kemari."
"I-itu P-pak ...."
Axel bisa melihat keringat dingin menetes dari pelipis pria paruh baya itu.
"Kenapa? Katakan saja?"
"Biasanya, direktur sampai jam sembilan, Pak."
Wajahnya langsung datar, sedatar-datarnya tembok yang berada di sampingnya. "Lalu, apa saya harus menunggu dia selama itu, Pak?"
Pria itu menggigit bibir bawahnya. "Maaf kalau saya lancang, saya ingin memberitahukan semua divisi untuk menyiapkan dokumennya lebih dulu jika boleh. Apakah Bapak bisa menunggu lebih lama lagi?"
Axel menarik napasnya, lalu menganggukkan kepala. "Saya mengandalkanmu," katanya, tenang. "Suruh semua divisi membawa dokumen itu kemari," perintahnya kemudian.
"Siap, Pak. Mohon tunggu sebentar saja, saya akan menyiapkan semua dokumen yang Bapak minta."
Pria tua itu pamit dari hadapannya. Hanya menunggu waktu sekitar empat puluh menit, dia membawa beberapa orang yang kini memegangi setumpuk arsip dokumen di kedua tangannya.
"Maaf karena sudah membuat Bapak menunggu lama."
Axel hanya mengangguk. "Letakkan saja semuanya di sofa, saya akan memeriksanya. Karyawan lain boleh lanjut bekerja, Bapak bisa tinggal di sini menemani saya."
"Saya, Pak?" tanya pria tua itu dengan tatapan tidak percaya.
Axel mengangguk. "Saya butuh bantuan memeriksa semuanya, kamu bisa membantu saya, kan?"
Pria tua itu mengangguk mantap. Setelah mengusir staf yang tadi membantunya, dia pun bergabung dengan Axel yang mulai membuka dokumen dan mengeceknya satu per satu.
"Siapa namamu?"
"Abdi, Pak," jawab pria tua itu.
"Baiklah, Pak Abdi, terima kasih karena kamu menghargai waktu saya, jika saya bisa berterima kasih dengan cara lain, kamu bisa mengatakannya padaku." Axel mengatakan kalimat itu sembari membaca dokumen di tangannya.
"Tidak apa-apa, Pak. Itu juga termasuk tugas saya untuk membantu Bapak."
Abdi sebenarnya tidak begitu mengerti apa yang diinginkan seorang Axelle Orlando saat meminta semua divisi mengumpulkan arsip dokumen. Namun, dia mulai memahami saat omzet penjualan yang menurut laporan menurun drastis. Padahal seingatnya, proyek yang ia terima di divisi kreatif tidak begitu menurun.
Dia menatap Axel serius. "Pak?"
"Hm?"
"Sepertinya, ada yang salah."
"Apa maksud kamu?" tanya Axel yang kini melepaskan dokumen di tangannya dan mulai menatap Abdi serius.
"Sebagai tim kreatif, kami tidak merasa kehilangan klien satu pun atau kekurangan pekerjaan. Semuanya berjalan baik-baik saja, tapi saya tidak tahu bagaimana bisa kita kehilangan omzet jika setiap bulan bagi tim kreatif berjalan normal?"
Axel tersentak. Kali ini, dia merasa ada yang tidak beres dengan salah satu pegawainya.
______
Revisi 04/03/2021
Thank you sudah mau baca cerita ini, jangan lupa untuk tekan love agar bisa mendapat notif update setiap hari.
Atau kalian bisa follow ig saya @Kaitani_books. ?