06

1350 Kata
"APA maksud semua ini?" Axel memegangi kepalanya yang mulai terasa pusing bukan main. Laporan menunjukkan omzet menurun secara signifikan selama setahun terakhir, dia ingat semuanya dengan baik, dia bahkan membawa salinan dokumennya di apartemen. Namun, bagaimana ceritanya jika tim kreatif tidak merasa kehilangan pelanggan satu pun? Kalau memang iklan itu tidak jadi atau dibatalkan, mereka pasti akan diberi tahu. Apakah ada ide yang kurang memuaskan saat Account Executive menyerahkannya pada pelanggan? Pastinya, semua itu bisa dibicarakan dengan baik-baik dan dicari jalan keluarnya, kan? Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Suara kikikan wanita dan suara berat pria membuat Axel sontak mengernyitkan dahinya. "Kita akan mendapat untung besar jika berhasil mendapatkan iklan itu, Pak," kata sang wanita sambil terkikik puas. "Kita pasti akan mendapatkannya. Tim kreatif selalu memberikan ide-ide baru yang tidak akan ditolak oleh pelanggan mana pun." Suara sang pria yang kemudian menunjukkan wajahnya di depan Axel dan Abdi. Abdi yang sedang membelalakkan mata menatap mereka tidak percaya. "A-apa yang kalian lakukan di sini?!" Suara tanya dengan nada keras, nyaris membentak itu membuat wajah Axel menggelap. Dia berdiri dan menatap wanita yang baru saja membentaknya dengan wajah datar. Ditatapnya direktur utama perusahaan ini dan ia bisa melihat, pria paruh baya yang sedang merangkul bahu salah seorang stafnya itu membelalakkan mata memandanginya tidak percaya. "Apakah begini pekerjaan seorang direktur utama Starlight? Datang terlambat, memainkan wanita seenaknya di kantor, dan juga menggelapkan dana perusahaan dengan menggunakan laporan-laporan palsu?" tanyanya dengan nada dingin menakutkan. "Lo siapa, sih, orang luar jangan ikut campur urusan perusahaan ini, deh!" sahut wanita itu lagi. Axel mendelik ke arahnya. Penampilannya memang sopan, dandanannya tidak begitu menor. Semuanya pas dan menarik, sayang kelakuannya nol. "Elin, jaga nada bicaramu!" bentakan Abdi membuat Axel menatap pria paruh baya di sampingnya. "Siapa dia?" tanyanya secara terang-terangan. "Salah satu AE kantor ini, Pak," jawaban Abdi membuat wajah Husni, sang direktur utama, terlihat pucat pasi. "Oh, jadi begitu." Axel mengangguk-angguk mengerti, dia mulai menatap tajam Husni dan Elin dengan ekspresi dingin. "Saya ingin siapa pun dari kalian yang terlibat dengan kasus ini mengirim surat pengunduran diri sebelum saya laporkan pada polisi," sambungnya dingin. "P-pak, maafkan saya, saya bersumpah tidak akan melakukannya lagi, saya——" Husni akhirnya berbicara setelah terdiam cukup lama akibat rasa kagetnya. "Kalau kalian ingin mendekam di jeruji besi, silakan!" Axel kembali duduk di sofa dan menatap keduanya angkuh. "Pak Husni kenapa ketakutan sekali dengan laki-laki ingusan macam dia, sih, Pak? Bapak kan direktur utama di sini, kenapa Bapak tidak mengusirnya saja dari sini, sih?" Axel mendengkus keras. "Kalian yang harus pergi dari sini. Starlight milik saya, Pak Husni hanya dipercaya untuk mengelolanya. Apakah Anda buta sampai tidak bisa menyadari kalau posisi saya lebih tinggi dari kalian semua?" Kalimat bernada datar itu sontak membuat wanita itu memandanginya tidak percaya. Tentu saja, bagaimana dia bisa percaya jika yang punya Starlight hanyalah pria yang tidak lebih tua darinya? Pria yang bahkan ia yakini masih muda, lajang, dan sama sepertinya? "Gue nggak percaya!" "Dia benar," kata Husni tiba-tiba, "dia adalah Axelle Orlando, pemilik perusahaan AO Corporation, induk dari segala lini yang bergerak di bawah pimpinannya, salah satunya Starlight. Semua ini miliknya, kita sudah habis, Lin." Elin menelan ludah susah payah, dia pun mulai mendekati Axel dan berlutut di kakinya. Namun, Axel menendangnya dengan ekspresi dingin. Benar-benar tidak manusiawi. "Pergi! Pak Abdi, panggilkan satpam untuk menyeret mereka keluar atau ke kantor polisi!" Abdi yang tidak begitu mengerti, memilih mengangguk dan mendekati telepon di ruangan itu, memanggil satpam untuk mengusir pergi atasannya sendiri. Setelah kedua orang itu pergi, Axel menghela napas panjang. Dia menatap Abdi yang sejak tadi masih bersama dengannya. "Apa Bapak bisa memimpin perusahaan ini?" tanya Axel tiba-tiba. "Eh?" Abdi menatap Axel terkejut. "Saya kekurangan orang yang bisa dipercaya di sini. Satu-satunya orang yang saya kenal, malah berkhianat dengan menyelundupkan hasil iklan bersama AE dan tim marketing. Mereka semua harus dipecat sebelum terlambat. Saya tidak suka memelihara parasit di dalam tim, jadi, jika Bapak bisa melakukannya, saya serahkan jabatan direktur pada Bapak." Abdi tersentak. "Tapi, Pak ... saya kurang pengalaman sebagai direktur. Apa tidak Bapak Axel saja yang mengambil alih posisi ini?" Axel menggeleng. "Saya akan mengambil posisi kepala divisi di salah satu tim. Setelah AE kurang ajar itu berulah, saya merasa perlu mengawasi semua pegawai secara langsung. Dan tolong, simpan rahasia kalau identitas saya sebenarnya CEO AOC." Abdi mengangguk. Saat resepsionis tadi memberitahunya, itu pun mereka sedang berbisik-bisik. Resepsionis itu ingat, karena beberapa tahun lalu, saat Axel ke sana, dia benar-benar masih muda, tapi aura bisa diandalkan menguar dari tubuhnya. Kharisma seorang Axel sebagai pemimpin memang luar biasa. Abdi tidak bisa menyanggah pendapat itu, karena ia bisa begitu hormat hanya karena melihat cara Axel membawa dirinya. "Jika Bapak tidak keberatan, saya mau menerima tawaran Bapak." "Baiklah, saya akan lanjut mengevaluasi tim-tim lain." Axel mendesah kasar. Semoga, tidak banyak yang melakukan kesalahan, atau dia akan melakukan PHK secara massal. *** Axel mendapat serangan jantung saat melihat Celia duduk di sofa ruang tamu ditemani botol-botol anggur yang tampak tak asing dalam ingatannya. "H-hai!" sapa Celia sambil tersenyum manis, tak lupa cegukannya yang membuat Axel menatapnya horor. "Lo mabuk?" Axel mendekati Celia, menarik tangannya dan memaksa perempuan itu berdiri tegak, tapi gagal. Celia kehilangan keseimbangan tubuhnya. Dia bahkan tidak bisa berdiri sendiri, kalau tidak bertumpu di tubuh Axel yang kini mendengkus sebal, sebab Celia malah minum-minum di apartemennya saat ia tidak ada di sana. Axel memang punya alkohol, dia menyimpannya cukup tersembunyi di dapur. Anggur-anggur itu milik teman-temannya yang pernah menginap di sana dulu, mereka sengaja menyimpannya, jika sewaktu-waktu ingin berkunjung dan minum-minum sepanjang malam. Namun, siapa sangka Celia akan menemukan persediaan anggurnya, lalu meminumnya saat Axel tidak ada di tempat? "X-xel," Celia cegukan, "lo ganteng banget," dia cegukan lagi. "Gue tahu, udah banyak yang bilang begitu." Axel tak kuasa mendengkus. "Ayo minum, Xel. Rasanya enak, manis, asem gimana gitu." Celia meraih botol anggur dan gelas dengan tidak stabil, dia menyodorkannya ke Axel yang hanya menangkapnya, lalu menaruhnya kembali ke atas meja. "Lo minum berapa gelas?" Celia menggeleng. "L-lupa." Cegukannya benar-benar membuat Celia tidak terlihat manis sama sekali. Dia melirik botol-botol itu yang masih tertutup rapat dan hanya menemukan satu botol yang masih terbuka. Isinya masih banyak, tapi Celia sudah mabuk sampai seperti ini. Celia tiba-tiba bergelayut di tubuhnya, jemari tangannya menelusuri d**a Axel yang masih tertutupi kemeja dan jasnya tadi pagi. "Xel!" panggilnya dengan nada merengek yang luar biasa terdengar menyebalkan di telinga Axel. "Apa?" "Lo marah, ya?" Celia mengeluarkan suara cegukan lagi. "Enggak." Axel menangkap tubuh Celia yang tiba-tiba ingin jatuh ke lantai. "Gue bawa lo ke kamar, istirahat, ya?" Celia memajukan bibirnya beberapa senti. "Gue masih mau sama lo," katanya. Jemari tangan Celia kini memeluk Axel erat, tubuh Axel yang hangat dan dadanya yang bidang membuat perempuan itu merasa nyaman berada dalam dekapan tubuhnya. "Gue lagi males berurusan sama orang mabuk." Axel membawa Celia berjalan menuju kamarnya. Dia baru saja melemparkan Celia ke ranjang, saat perempuan itu ikut menariknya hingga mereka jatuh di tempat yang sama. Celia langsung memeluk Axel erat dan mendaratkan sebuah ciuman di bibir Axel. Axel merasa tubuhnya kaku saat merasakan sebuah bibir lain sedang menempel di bibirnya. Celia terus menggoda, jemarinya menggerayangi tubuh Axel, sedang lidahnya memaksa Axel untuk menyambut ciumannya. Axel pernah ciuman dengan perempuan, jelas. Dia tidak sesuci itu untuk mengatakan bibirnya masih perjaka. Hanya saja, ciuman dengan orang mabuk itu tidak enak. Lebih-lebih dengan Celia—perempuan yang akan tinggal bersamanya entah sampai kapan. Apalagi, karena ia tidak mau terlibat asmara dengan perempuan yang tinggal seatap dengannya. Aroma anggur langsung menerpa dirinya saat Axel mulai membuka mulut dan membalas ciuman Celia. Dia berusaha melupakan fakta jika Celia sedang mabuk saat ia mulai membalas ciuman itu dengan tempo sedang. Dia baru saja ingin berpesta dengan ciuman mereka saat sesuatu tiba-tiba melesak memasuki mulutnya. Axel menarik diri dengan paksa, dia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua yang Celia berikan padanya sebagai tanda terima kasih, karena Axel mau membalas ciumannya. "Dasar cewek berengsek!" umpatnya sembari turut memuntahkan semua makan siangnya juga. ____ Revisi 05/03/2021
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN