Perjalanan Panjang Menuju Kediaman Adams

1893 Kata
Michella terperangah mendengar titah pemerintahan, sementara Anna terlihat agak terkejut dan menatap Ella yang bergeming di tempatnya. Lalu para pegawai pemerintah itu langsung pergi meski hujan masih begitu deras. Ella terpaku bahkan ketika Michella mendorong bahunya kuat-kuat. Dia merasa iri karena laki-laki bernama Lucas itu salah satu lelaki yang dijadikan rebutan para gadis kota. “Apa-apaan kau ini? Bagaimana mungkin kau bisa menikah dengan Tuan Lucas? Tidak masuk akal!” Anna tetap berdiri di tempat tanpa berniat menegakan atau memberi selamat kepada Ella lantaran dirinya sendiri termasuk salah satu gadis yang menginginkan Lucas. Namun, setelah perintah itu datang, dia tidak bisa apa-apa selain menerima keputusan dari atas. “Kenapa … aku?” Di tempat lain setelah gulungan merah tiba di kediaman Mike Anderson, Lucas menutup pintu ruangan ayahnya setelah mendengar perintah yang mengharuskannya menikah dengan gadis bernama Ella Katerina, gadis dari desa yang usianya lebih tua satu tahun darinya. Ulang tahunnya yang ke-delapan belas baru saja berlalu, tetapi sekarang Lucas harus menghadapi titah yang tak bisa ditolak kecuali dia rela dikurung selama sepuluh tahun. Seseorang datang menghampiri ketika melihat Lucas terlihat murung. Henry, pegawai tingkat satu yang bertugas mengantar gulungan merah ke kediaman Mike Anderson, ayah tiri Ella, tahu betul jika Lucas terkejut dengan perintah yang mendadak ini. “Tuan Lucas tidak perlu risau. Saya bertemu langsung dengan calon istri Tuan dan Nona Ella ternyata benar-benar cantik jelita!” Lucas agak tenang mendengarnya, tetapi bukan berarti dia bisa tenang karena hal itu. “Nona Ella juga terlihat sopan dan baik. Beliau membawa payung saat kami datang meski pada akhirnya hanya bergeming mendengar titah pemerintahan.” “Benarkah? Apa dia … sebaik itu?” Lucas bertanya penuh keraguan. “Saya bisa menjaminnya, Tuan!” Hari demi hari berlalu, persiapan pernikahan Ella dan Lucas dilakukan dengan baik dan hari ini gadis itu akan segera pergi ke kota, melakukan perjalanan selama satu hari tanpa istirahat menggunakan kereta kuda yang dikirim oleh pemerintahan. Michella benar-benar kesal, tak bisa menerima kenyataan yang tidak adil ini sampai-sampai dia nekat membongkar lemari Ella untuk menggunting semua pakaian gadis itu dan menyisakan satu yang melekat di tubuhnya. Ella menangis tak bisa berbuat apa-apa karena Michella juga mengancam akan melukai wajah ayunya dan hanya bisa diam melihat adik tirinya menghancurkan semua yang dimilikinya. Beruntung sepatu yang dibelikan pria asing waktu itu masih tersimpan di dapur hingga benda itu masih aman tanpa diketahui Michella. Anna membuka pintu kamar Ella dengan kasar dan melotot melihat betapa hancurnya keadaan kamar pemilik sah rumah itu. “Michella! Apa yang kau lakukan sekarang?!” Michella hanya menyeringai, menatap Anna yang di matanya selalu terlihat berpura-pura, seperti sekarang ini. “Aku sudah berteriak dan menghancurkan ruangan ini sejak tadi, tapi kau baru datang? Sungguh?!” Satu tamparan Anna layangkan ke pipi Michella dan membuat gadis itu terdiam dengan rasa panas di wajahnya. “Kenapa kau tidak sadar diri dan bersikap buruk seperti ini?!” “Persetan dengan mulutmu.” Michella melangkah pergi begitu saja, menabrak saudarinya hingga gadis itu terhuyung. Anna kemudian menghampiri Ella yang berlutut di lantai, memeluk kakak tirinya dengan lembut. Semua orang bakal tahu jika gadis itu sangat menyayangi Ella dengan sepenuh hati. “Ada aku di sini, Ella.” Anna memeluk erat-erat kakak tirinya dan di saat itu juga dia melihat sebuah surat tergeletak di lantai. Ella benar-benar merasa terhina dan meski selalu diperlakukan hina oleh Michella, dia tetap mencoba bertahan demi rumah ini. Namun, melihat bagaimana adik tirinya menghancurkan barang-barang termasuk peninggalan sang ibu, dia pikir dekrit pernikahan menjadi penolong yang akan membawanya terbebas dari penyiksaan ini. Dengan membawa sebuah liontin yang di dalamnya terdapat lukisan wajah sang ibu, Ella meninggalkan Desa Seakath dan segala kenangan manis serta buruk yang pernah terjadi di rumah itu ditemani Anna yang bersedia mengawalnya ke kota. “Aku harusnya berpamitan dengan Ayah, tetapi dia selalu menutup pintu untukku,” gumam Ella sambil menoleh ke belakang, memandangi rumah masa kecilnya tersebut. “Aku akan menyampaikannya pada Ayah nanti. Kau jangan khawatir dan hiduplah dengan baik, Ella. Dengan begitu aku tidak merasa bersalah padamu sepanjang hidupku lagi.” Ella menghadap ke arah Anna lalu memeluknya dengan erat. “Terima kasih, Anna. Selain Liana, hanya kau yang bisa aku percaya,” katanya dan sesaat setelah itu, dia baru ingat tentang sahabatnya. “Liana! Aku belum memberikan surat padanya! Dia pasti kecewa kalau aku tiba-tiba pergi seperti ini!” “Aku sudah memberitahunya kemarin sore dan aku sudah memberikan surat yang kau tulis, Ella,” sahut Anna pelan dan membuat Ella sedikit lega. “Aku sudah memberitahu Liana kalau kau akan segera pergi ke kota untuk menikah. Dia terlihat senang, tapi tidak bisa keluar untuk menemui dan memberimu selamat. Dia bilang dia menyesal padamu.” “Ah, syukurlah … aku bisa pergi dengan tenang sekarang.” Anna tersenyum lembut menatap Ella yang tampak cantik dengan tatanan rambut gelung dan dihias dengan jepit rambut bunga di gelungannya. Apalagi dengan gaun warna hitam perpaduan putih dengan tumpukan layer di bagian roknya yang menutup hingga mata kaki. Itu adalah gaun kesukaan Anna, tetapi demi Ella, dia rela memberikannya. Ketika tatapannya sampai di kaki Ella, Anna terpaku pada sepasang sepatu yang masih terlihat baru dan belum pernah dia lihat sepatu itu di kamar sang kakak. “Sepatunya sangat cantik. Cocok denganmu, Ella.” “Benarkah? Aku menerimanya dari seorang pria dari pemerintahan,” balas Ella apa adanya tanpa menyadari ekspresi Anna yang penasaran. “Aku membantunya mencari hadiah untuk ulang tahun anaknya dan sebagai imbalan, orang itu membelikan aku sepatu ini. Apa kau mau coba? Ukuran sepatu kita sama.” “Apakah boleh?” Ella mengangguk semangat lalu melepas sepatu barunya dan bertukar dengan milik Anna meski sementara, setidaknya hanya sampai kereta kuda tersebut tiba di kota. “Wah … ini benar-benar nyaman,” gumam Anna senang. “Kau bisa memakainya lebih lama, mungkin sampai kita tiba di Kota Kyttokath?” Kedua gadis muda itu tersenyum senang, menikmati perjalanan yang tidak sebentar sambil membicarakan sesuatu yang menyenangkan hingga setelah lima jam perjalanan, kereta kuda tiba-tiba berhenti dan kuda-kuda itu bersuara sambil bergerak resah. Kusir yang bertugas mengantar mereka pun lari tunggang langgang dan membuat Anna menaikkan tirai jendela untuk memastikan apa yang terjadi. Kedua matanya membulat sempurna ketika melihat sekelompok bandit dengan senjata tajam di tangan mereka. “Ella, kita harus pergi dari sini!” Anna berteriak sambil menarik tangan Ella untuk segera pergi dari kereta kuda. “Apa yang terjadi, Anna?” tanya Ella cemas sambil mencoba turun dan ketika dia menoleh ke arah depan, dia melihat apa yang membuat Anna menariknya dengan kuat. Kedua gadis itu berlari, sementara dua pengawal yang dikirim oleh pemerintah mencoba melawan para bandit dengan senjata yang berupa pedang. Mereka sudah hampir setengah perjalanan, tetapi bahaya begitu saja datang saat mereka berada di tengah-tengah hutan. Anna terus berlari sambil menggandeng Ella, sesekali melihat ke belakang untuk memastikan apakah bandit-bandit itu mengejar mereka atau tidak. Sayangnya, kedua pengawal itu sudah terkapar bersimbah darah dan sebagian bandit mengejar kedua gadis yang bisa dijual dengan harga mahal karena mereka berasal dari keluarga terpandang. “Ella, ayo cepat!” Meski kedua gadis itu hampir kehabisan napas, tak satu pun dari mereka yang berhenti karena para bandit itu makin dekat hingga tiba-tiba saja Anna salah memijak dan membuatnya jatuh sambil berteriak kesakitan. “Anna!” Ella berteriak sambil mencoba menolong Anna untuk berdiri. “Ella, Ella! Aku tidak bisa!” Anna menepis tangan Ella sambil menangis. “Kakiku tidak bisa digunakan untuk berlari, jadi … tinggalkan aku sendiri dan pergilah!” Ella menggelengkan kepala dengan mata berkaca-kaca, kemudian kembali menarik tangan Anna yang terus menolak. “Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri, Anna! Kalau kau mau mati, aku akan mati bersamamu!” “Ella …!” Anna menjerit keras dan membuat Ella tersentak. “Pergilah yang jauh dan tinggalkan aku sendiri! Cepat!” Gadis berwajah cantik itu mendorong Ella menjauh, memohon agar kakak tirinya pergi dari sini dan jangan kembali lagi. “Anna ….” Ella menangis tersedu-sedu dan melihat para bandit yang makin dekat hingga suara tawa mereka yang mengerikan terdengar di telinganya. Dia bersumpah akan melakukan apa pun untuk Anna agar gadis itu tidak mengalami pengalaman buruk yang sama untuk kedua kalinya. “Ayolah Nona-nona! Jangan bersikeras begitu dan datanglah pada kami!” “Anna … ayo pergi ….” “Ella, pergilah … aku mohon pergilah …!” Dengan penyesalan yang amat besar, Ella akhirnya pergi meninggalkan Anna di tengah hutan dan menyelamatkan dirinya sendiri. Namun, dia bersumpah akan kembali membawa pertolongan dan membawa Anna pergi dari para bandit itu. Langkah kaki Ella terus menyusuri rimbun hutan, tak peduli dengan duri-duri yang membuat kedua kakinya berdarah karena yang paling penting dia bisa kabur dari kejaran beberapa bandit yang masih berusaha mendapatkannya, sementara beberapa lainnya kini membawa Anna pergi. “Anna … maafkan aku! Aku akan kembali untuk menyelamatkanmu!” Sayangnya, keberuntungan tidak selalu berpihak pada manusia dan harapan Ella kandas begitu dirinya berdiri di tebing curam yang menghadapkannya pada dua pilihan. Kembali pada bandit-bandit itu atau mati lompat ke laut. Napas Ella terengah-engah, jantungnya pun berdegup kencang melihat seberapa tinggi tebing tempatnya berpijak dan beberapa saat setelah itu, para bandit akhirnya menyusul. Mereka terlihat menyeramkan dengan bekas-bekas luka yang ada dan tatapan mereka pun sangat menyeramkan. “Datanglah kemari, Nona! Daripada bertaruh nyawa dengan lompat ke bawah, lebih baik ikut dengan kami dan hidup dengan baik di negeri seberang!” Ella bergerak mundur, menghindari para bandit yang terus mendekat dengan seringai yang menakutkan. Gadis itu tiba-tiba mengingat ibunya dan membayangkan mungkin seperti inilah rasa takut sang ibu saat bertemu dengan sekumpulan bandit yang berakhir membuat nyawanya melayang. Lalu tiba-tiba saja pijakan yang Ella injak berguguran dan membuatnya terperosok. “Aaa …!” Ella terjatuh dari terbing setinggi tiga puluh meter lalu tercebur ke laut yang orang-orang pun bakal tahu jika nyawanya tidak akan tertolong. Sekitar pukul sembilan malam, seorang gadis dengan penampilan kacau datang ke kediaman Adams. Pakaiannya compang-camping, sepatunya hilang sebelah dan rambutnya yang berantakan membuat orang-orang enggan membukakan pintu. Gadis itu, Anna, berteriak pada penjaga agar segera membukakan pintu agar dirinya bisa meminta pertolongan pada keluarga Lucas yang berkuasa. “Tolong saya! Tolong bukakan pintu untuk saya! Tolong selamatkan Ella! Tolong!” Lucas yang mendengar teriakan dari arah luar segera bergegas pergi dari ruangannya dan bersamaan dengan itu sang ayah juga muncul dari ruang pribadinya dengan ekspresi cemas. “Apa yang terjadi di luar sana?” tanya Sebastian Adams, pejabat bintang lima yang juga ayah Lucas Adams. “Aku tidak tahu, Ayah. Sepertinya ada seseorang yang membutuhkan pertolongan.” Mereka berdua lantas keluar dari rumah, memastikan siapa yang membuat keributan di malam-malam menjelang hari pernikahan besok lusa. Ketika melihat Sebastian dan Lucas datang bersamaan, Anna merasa terselamatkan. “Tolong saya! Tolong saya!” Teriakan Anna yang tidak jelas mengapa dirinya meminta tolong membuat Sebastian tak juga menyuruh penjaga rumah membukakan pintu. Lalu lama kelamaan kesadaran Anna menghilang dan jatuh pingsan begitu saja. Di saat itulah mata Sebastian melihat sebuah sepatu yang tidak asing karena kesan pertamanya pada sepatu tersebut cukup berarti. Selain hanya ada satu pasang, sepatu itu adalah sepatu yang dibelikannya untuk gadis di sebuah desa yang jauh dari kota. Akan tetapi, dia tidak mengerti kenapa sepatu itu dipakai oleh orang lain, alih-alih gadis berambut panjang yang ditemuinya di pasar waktu itu. Ada banyak pertanyaan yang berkeliaran di otak Sebastian dan satu-satunya cara untuk mendapatkan jawabannya adalah dengan menyelamatkan gadis itu. “Buka pintu dan selamatkan gadis ini!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN