Ketika tiba di rumah Nuril, Rini masuk ke dalam dan langsung menuju ke kamar. Sampai di depan pintu kamar, Rini sengaja melepaskan kedua sepatunya agar tidak timbul suara berisik. Di dalam kamar Rini mendapati Kela sudah tertidur pulas. Anak itu rebah di atas kasur dengan tubuh berbalut selimut.
Setelah mengganti bajunya dengan baju lebih santai, Rini duduk di kursi meja rias untuk membersihkan make up serta mengikat rambut panjangnya menjadi satu. Melihat wajahnya sendiri dengan polesan make up, sosoknya memang terlihat sangat jauh berbeda dan hampir tidak menunjukkan sosok dari Rini yang sebenarnya, karena biasanya Rini hanya memakai baju kumal tanpa pernah memakai riasan sama sekali.
“Mereka bilang aku cantik, ya aku memang cantik! Jika beberapa pelanggan tidak beradu jotos di dalam kafe hanya untuk memperebutkanku, mungkin hingga jam segini Bu Nuril belum mengizinkanku pulang ke rumah. Aku tidak menambah pemasukan di komplek, aku malah menjadi penyebab kerusuhan, Bu Nuril bilang hutang Mas Ranto nggak akan bisa lunas kalau terus begini, lalu apa yang harus aku lakukan? Aku butuh biaya untuk Kela. Dan malam ini adalah hari pertama, jadi bagaimana aku bisa melayani tamu dengan baik? Aku tidak tahu caranya untuk menjadi percaya diri. Setiap pelanggan menghampiriku, yang ada kedua kakiku bahkan kedua tanganku gemetaran. Aku takut, cemas, dan memikirkan yang tidak-tidak.” Rini berbicara pada dirinya sendiri.
Selanjutnya Rini membenamkan wajahnya di atas meja rias, Rini teringat tentang kenangan bahagia di awal-awal pernikahannya. Rini bukan dari keluarga biasa, Rini dari keluarga cukup berada dia pikir saat kabur dari perjodohan maka dia akan bertemu dengan lelaki yang lebih baik.
Ranto awalnya bagai penyelamat dalam hidupnya, namun siapa yang tahu lika-liku di masa depan? Rini tidak bisa menyalahkan Ranto sepihak lantaran dirinya juga tidak bisa membantu untuk mencari uang sama sekali. Dan ketika Rini meminta bantuan pada kedua orang tuanya karena hidupnya cukup sulit belakangan ini, mereka malah mengusirnya pergi dan tidak mau membantu. Mereka menyalahkan Rini yang sudah mempermalukan keluarga. Dan situasi yang dihadapi oleh Rini saat ini menurut mereka merupakan hukuman sebab akibat dari tindakan Rini di masa lalu.
Rini tidak bisa berhenti memikirkannya, Rini masih meletakkan kepalanya di atas meja rias. Tak lama kemudian dia mendengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Rini segera menyeka air mata pada kedua pipinya lalu berdiri. Rini tahu itu adalah Fajar.
Saat Rini membuka pintu untuknya, Fajar melihat kedua pipi Rini sembab. Fajar bertanya-tanya dalam hatinya. Dan karena dia begitu cemas dengan kondisi Rini, Fajar memutuskan untuk mengajaknya mengobrol sebentar. Pikirnya mungkin Rini bersedia berbicara dengannya.
“Boleh aku minta kopi? Aku tahu kamu lelah, dan malam-malam begini aku masih saja merepotkanmu.”
Rini mengangkat wajahnya, menatap kedua mata Fajar. “Ya, Pak Fajar mau kopinya diantar ke mana?” tanyanya.
“Antar ke beranda samping saja, di sana.” Fajar menunjuk kursi panjang di beranda samping tidak jauh dari kamar Rini, kursi panjang itu memiliki meja kecil di sisi kanan.
Rini segera pergi ke dapur, sementara Fajar duduk di sana dan menunggu. Beberapa saat kemudian Rini muncul dengan nampan di tas kedua tangannya.
“Ini Pak, kopinya.”
“Taruh saja di meja.” Fajar menyulut api pada batang rokoknya.
Rini kembali ke dapur untuk meletakkan nampan lalu kembali menuju ke kamar. Ketika melintasi pintu samping, Fajar segera menegurnya.
“Duduklah, aku ingin bicara sebentar.”
Fajar menepuk kursi di sebelahnya, di sana kosong dan dia ingin Rini duduk di sana.
Rini memilih duduk di lantai dengan menekuk kedua lututnya. Fajar spontan berdiri dan menariknya bangun.
“Kenapa di bawah? Duduklah di sebelahku,” ucap Fajar.
“Nggak Pak, nanti kalau Bu Nuril tiba-tiba pulang ke rumah, aku takut bunga hutang Mas Ranto ditambah lagi,” tolaknya. Rini tetap menundukkan wajahnya sambil berdiri tepat di depan Fajar.
“Nuril nggak akan pulang di jam segini, hari masih belum terlalu malam. Aku hanya ingin bertanya padamu Rin, jawab dengan jujur dan jangan ada yang ditutup-tutupi lagi.”
Fajar memutuskan berdiri dan tidak duduk karena Rini juga menolak duduk.
“Iya, Pak.” Rini menganggukkan kepalanya.
“Apa ada yang sakit?” tanyanya sambil menggenggam kedua bahu Rini.
Rini menggelengkan kepalanya.
“Terus kenapa kamu malah menangis? Apa ada yang memaksamu saat kamu di kafe tadi?”
Rini kembali menggelengkan kepala. “Aku menangis karena teringat dengan Papa dan Mama.” Ujarnya sambil membalas tatapan dari kedua mata Fajar.
“Kamu pengen pulang ke kampung halaman?” Tanya Fajar.
“Nggak, Pak. Aku hanya merasa semua yang mereka katakan benar. Aku yang salah karena tidak paham dan memilih kabur dari rumah tujuh tahun yang lalu,” jelasnya. “Papa dan Mama marah karena aku mempermalukan mereka. Dan dalam pelarian tujuh tahun silam aku bertemu dengan Mas Ranto. Aku tidak berpikir panjang waktu itu, aku langsung setuju saat Mas Ranto menawarkan rumah untuk tinggal sementara. Perlahan aku dan Mas Ranto mulai akrab, aku sama sekali tidak melihat sisi negatif darinya. Mas Ranto dan aku jatuh cinta, kami melakukan hubungan intim hingga akhirnya aku hamil dan kami memutuskan untuk menikah. Setelah menikah hubungan pernikahan kami awalnya baik-baik saja. Mas Ranto juga tidak pernah membawa wanita lain selama kami menikah waktu itu. Dan kami pun punya Kela, genap usia satu tahun Kela, kehidupan kami mulai jungkir balik tidak karuan. Mas Ranto terlibat banyak hutang di sana-sini. Aku tidak bisa membantu sama sekali, Mas Ranto jadi temperamen dan sering memukul. Terlebih lagi ketika kami tidak memiliki tempat tinggal,” jelasnya panjang lebar pada Fajar.
Fajar memeluk tubuh Rini. Melihat dari penampilan Rini Astuti hari ini, Fajar seperti melihat sosok cinderella. Dan Rini sepertinya bukan berasal dari keluarga pas-pasan. Rini sangat tahu apa yang cocok dengan tubuhnya. Fajar memiliki rencana sendiri, Fajar berpikir mungkin suatu hari dia bisa menikahi Rini Astuti dan melamarnya dari keluarga Rini secara langsung? Siapa yang tidak senang saat putri mereka menikahi dokter muda dan berbakat sepertinya? Semua itu tersimpan di dalam benak Fajar, dia tidak mengatakannya pada Rini.
“Bagaimana denganku?” tanya Fajar, dia ingin tahu pendapat Rini tentangnya.
“Pak Fajar pria yang baik, spesial, ramah, dan ....”
“Dan?” kejar Fajar.
“Tampan, memiliki badan yang bagus. Gagah,” Rini menundukkan wajahnya yang kini memerah.
Fajar memeluknya lalu memberikan kecupan pada kening Rini.
“Ingatlah, ada aku di sini, aku akan membantu sebisa mungkin, sekuat tenagaku, dan aku akan berusaha untuk membujuk Nuril agar dia tidak mempekerjakan kamu di komplek lagi,” Janjinya pada Rini.