10. Labuhan Hati

1589 Kata
Karena Fajar terus mendekapnya, Rini segera melepaskan diri darinya. “Sudah malam, Mas harus beristirahat. Jangan diminum kopinya, nanti malah nggak bisa tidur.” Fajar tersenyum dia kembali menyesap rokok yang tadi dia letakkan di tepi asbak seraya menghenyakkan tubuhnya di kursi. Fajar menyadari satu hal, Rini merupakan tipe seseorang yang selalu berterus terang, mengatakan apa yang ingin dikatakan, cukup perhatian. Fajar melihat Rini sedang berjalan pergi, menuju ke arah kamar untuk menemani Kela. “Aku belum ingin tidur,” sahutnya sambil menyesap rokoknya. Rini baru berjalan setengah jalan, dia menoleh ke arah Fajar. Hanya sebentar lalu kembali berjalan dan masuk ke dalam kamarnya. *** Pada keesokan harinya, Rini terjaga sekitar pukul empat. Kela masih tidur pulas di sebelahnya. Rini bangun dan membersihkan tubuhnya sebentar di dalam kamar mandi lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Saat melintasi meja kecil di samping kursi beranda, dia melihat gelas kopi untuk Fajar semalam masih ada di sana. Kopinya sudah habis tinggal tersisa endapan kopi di dasar dalam gelas. Fajar masih di dalam kamar, dia terjaga dari tidurnya lantaran mendengar suara berisik dari arah dapur. Fajar duduk sebentar di atas ranjang, melihat sisi sebelahnya kosong Fajar tahu Nuril tidak pulang ke rumah semalam. Fajar membersihkan tubuhnya lalu memakai baju santai dan pergi menengok Rini di dapur. Rini terlihat sibuk memasak lauk dan sayur. Rini mendengar langkah kaki mendekat, dia segera menoleh dan mendapati Fajar berdiri di tengah ruangan. “Pak Fajar ingin aku buatkan kopi sekarang?” tanyanya sambil mengaduk sayur dalam panci. “Ya, buatkan aku kopi dan taruh di meja makan,” ucapnya. Rini mencicipi kuah sayur sambil memutar setengah badan untuk melihat Fajar. Fajar mengenakan kaos ketat warna putih dengan bawahan celana pendek selutut. Tubuhnya terlihat bagus dengan stelan itu. Rambutnya beberapa helai jatuh di atas keningnya. Hidungnya mancung dengan sepasang mata yang selalu terlihat teduh, senyumnya manis. Rini hanya memikirkan Fajar selalu terlihat tampan dengan baju dokternya juga ketika menangani pasien di rumah sakit. Tanpa sengaja Fajar bertemu tatap dengan Rini, dan dia tahu Rini sedang memikirkan sesuatu tentangnya. “Kenapa? Apa ada yang salah denganku? Mungkin masih tersisa busa shampoo di atas rambutku?” tanyanya sambil mengacak rambutnya menggunakan kedua tangan tanpa mengalihkan perhatiannya dari wajah Rini. Rini baru sadar, dia cukup lama menatap sosok Fajar yang baru saja selesai mandi. “Tidak ada,” jawabnya sembari memutar badan dan mengangkat sayur dari atas kompor untuk menepis perasaan canggung dalam hatinya. Setelah menyiapkan sarapan Rini segera menyeduh kopi untuk Fajar dan meletakkannya di atas meja makan. Fajar sudah menunggu di kursi meja makan. “Terimakasih,” ucapnya. Rini tidak menyahut, dia segera mengambil sapu dan alat kebersihan lain sebelum Nuril menegur karena lantai rumahnya kotor. Rini tahu Nuril tidak pulang semalam, dan ketika Nuril tiba di rumah nanti kondisinya sangat lelah. Ketimbang dimarahi, Rini memilih mempersiapkan segalanya terlebih dahulu. Selesai membersihkan dalam rumah, Rini bergegas membersihkan sisi samping rumah dan juga halaman. Dugaan Rini benar, tak lama kemudian Nuril tiba. Untungnya semua pekerjaan rumah sudah beres, Rini mengambilkan Kela makanan, Rini menunggunya dengan duduk di ambang pintu kamar sambil menjahit baju Kela yang robek. “Bu?” “Kenapa? Kurang nasinya?” Tanya Rini sambil menoleh ke arah Kela di sampingnya. Kela menggelengkan kepalanya. “Ibu belum makan, Kela suapi ya?” tawarnya sambil meringis senang. Rini menggeleng, “ibu sudah makan tadi di dapur, kamu habiskan semuanya, Ke, ibu sudah kenyang.” Kela meringis dan tertawa kecil. “Ibu selalu bohong, Kela dengar perut ibu keroncongan sejak duduk di sini, pasti Ibu belum makan,” Rini menghela napas panjang, tersenyum dan mengusap puncak kepala Kela. Rini tidak tahu Fajar sejak tadi berdiri agak jauh di sisi samping ambang pintu kamarnya. Fajar mendengar semua percakapan antara Rini dan Kela. “Dia selalu mementingkan putrinya dibandingkan dirinya sendiri, demi apa pun Rini sama sekali tidak bersalah. Hanya nasibnya yang kurang bagus. Dia melakukannya karena memikirkan Kela. Dan aku tahu Rini tidak mencintaiku, dia hanya melihat Kela. Mungkin baginya tidak ada apa pun yang menarik di dunia ini,” Gumamnya dengan suara pelan. “Fajaaaarrr! Jaaar! Ke mana sih tu orang!” Teriak Nuril dari dalam rumah. Rini bisa mendengar panggilan Nuril. “Pak Fajar sudah berangkat? Perasaan tadi masih sarapan di ruang makan,” gumamnya sambil melongokkan kepalanya keluar ambang pintu kamarnya, dan Rini melihat Fajar berjalan dari arah samping kamar Rini menuju ke pintu samping. Rini menggaruk keningnya sendiri, dia baru tahu kalau Fajar tadi berdiri di sana. “Pak Fajar dari sini? Ngapain? Apa dia nggak tahu kopinya aku taruh di atas meja makan?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Kela, kalau sudah selesai makan taruh piringnya dan mandi. Bajunya ibu taruh di sini,” Rini segera meletakkan baju yang sudah selesai dia jahit di atas meja kemudian berdiri. Kela tidak menyahut tapi hanya mengangguk dan menerima usapan tangan Rini pada puncak kepalanya. Kela menatap Rini yang kini sudah bergegas pergi lalu masuk ke dalam rumah. Dari dapur, Rini menatap ke arah ruang makan, di sana Nuril sedang menikmati sarapan bersama Fajar. “Kamu itu nggak usah provokasi Rini buat berhenti dari komplek! Pikir saja hidupmu sendiri, nggak usah sok-sokan ngatur-ngatur hidup Rini! Kamu saja punya hutang sama aku belum lunas kok!” “Kamu janji kita bakalan cerai kalau hutang Ibu dan Bapakku lunas, kan?” Fajar kembali mengingatkan janji awal dia menikah dengan Nuril. “Hahahhahaha! Kalau kamu mau, aku dan kamu bisa cerai detik ini juga! Pahaaam? Otak kamu itu dipakai! Jangan asal nyeplos saja kalau ngomong! Sok-sokan! Kamu kira yang butuh itu aku? Hah? Yang butuh itu orang tua kamu! Mereka ngemis-ngemis sama aku ngutang buat biaya kuliah kamu! Berapa ratus juta? Seharusnya kamu bisa mikir dan jangan menyalahkanku, apa lagi pakai ikut campur masalah bisnisku di komplek! Aku sudah tolong mereka, paham? Kalau tidak sampai sekarang kamu masih lulusan SMA, nggak akan ada namanya Dokter Fajar Pratama! Yang ada cuma laki-laki oon, lemah, dan nggak berguna!” bentaknya dengan penuh amarah menunjuk-nunjuk kening Fajar dengan jari telunjuknya. Posisi tinggi di dalam rumah milik Nuril, status suami di atas bahu Fajar sama sekali tidak ada fungsinya. “Tahu begitu dulu aku ajukan beasiswa untuk kuliah,” Gumam Fajar. Tidak ada pria yang mau direndahkan dan tahan dihina sepanjang hidupnya. “Beasiswa? Hahahaha! Mikir! Otak kamu itu seret, nggak bisa dapat beasiswa, sudah! Nggak usah protes, ngatur-ngatur aku pekerjakan Rini atau nggak, semuanya itu terserah aku! Mending kamu pikir saja gaji kamu yang nggak seberapa itu, terus kapan kamu bisa lunasi hutangku!” Desisnya di telinga Fajar. Fajar menelan ludahnya, dia agak kesal karena hutangnya pada Nuril tak terhitung berapa banyaknya lantaran Fajar juga meminta tanah dan klinik. Semua itu tercatat dan dijadikan satu dalam catatan hutang keluarganya. Nuril terlihat senang lantaran ekspresi wajah Fajar terlihat sangat frustasi. “Mau aku kasih tahu cara cepat mendapatkan uang?” tawar Nuril dengan tatapan mata penuh misteri. Fajar menoleh sambil menyumpal mulutnya sendiri hingga penuh dengan lauk lalu mengunyahnya dengan tatapan kesal. “Gigolo, tubuhmu lumayan! Aku bisa menjualnya dengan harga mahal!” Nuril menyunggingkan senyum penuh ejekan. “Uhuk! uhuk! uhuk!” Fajar masih sibuk mengunyah dan dia langsung tersedak begitu mendengar saran dari Nuril tentang Fajar menjual tubuhnya. Fajar mengambil air dalam gelas, dan dia menoleh ke pintu dapur melihat Rini berlalu pergi dari sana. Entah kenapa Fajar merasa harus menjelaskannya pada Rini bahwa dirinya bukan tipe pria yang akan melakukan semua cara hanya karena uang. Apalagi menjadi seorang gigolo. Fajar langsung berdiri dari kursinya, dan menyusul Rini tanpa sepengetahuan Nuril. Sebelum Rini keluar dari dalam dapur, Fajar segera menarik lengannya dan memagut bibirnya. Rini awalnya meronta, dia tidak ingin terkena masalah lagi. Tapi dia juga tidak berteriak karena cemas Fajar akan mendapatkan masalah karenanya. Beberapa saat kemudian Fajar melepaskan pagutan bibirnya. “Aku tidak ingin kamu salah paham padaku,” bisik Fajar di telinga Rini. Rini mengangguk kecil lalu mendongak menatap kedua matanya. “Lain kali tidak perlu begini, Pak Fajar bisa mengatakannya tanpa perlu mencium,” “Kenapa? Kamu tidak suka?” tanyanya. “Bukan masalah suka dan tidak suka tapi aku merasa sikap Pak Fajar terlalu berlebihan,” “Aku hanya takut dan cemas, aku tidak ingin kamu menjauh,” Fajar menekan kedua pipi Rini menggunakan kedua telapak tangannya menatap kedua mata Rini dengan tatapan mata lekat-lekat. “Aku tetap di sini sampai hutang Mas Ranto lunas.” Fajar mengangguk, dia mengerti. “Setelah itu?” “Aku ingin punya tempat tinggal untuk Kela dan aku, ini hanya rencana, Pak Fajar tidak perlu memikirkannya,” jawabnya. “Aku jatuh cinta padamu, aku tahu ini terlalu dini, dari yang aku rasakan tentangmu ini bukan hanya karena nafsu. Aku ingin melihatmu dan Kela bahagia, berikan aku sedikit ruang di dalam hatimu. Izinkan aku masuk ke dalam, aku ingin memiliki tempat di sana walau hanya sedikit,” pintanya dengan tatapan sungguh-sungguh. “Ketika hutang Pak Fajar lunas, Pak Fajar bisa mendapatkan wanita yang lebih baik, bukan bekas wanita penghibur sepertiku,” ucap Rini lirih dengan wajah menunduk. Fajar gemas sekali, dia kembali memagut bibir Rini dengan napas sedikit memburu seraya menekan punggung Rini di dinding dapur samping lemari pendingin. Rini meremas kedua sisi pinggang Fajar sambil memejamkan kedua matanya. Puas memagut bibirnya Fajar melepaskan Rini dan memberinya ruang untuk menghela napas. “Aku hanya menginginkanmu, ini pertama kalinya hatiku bisa menerima seorang wanita, dengan tulus bukan karena terpaksa.” Dari awal pertemuan yang begitu sederhana, akankah Rini bersedia menjadi labuhan hati sang Fajar? Bisakah dia menaruh harapan dan kepercayaannya lagi setelah terluka selama ini karena Ranto? Ataukah menurut penilaiannya semua laki-laki sama saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN