Rini tidak memberikan jawaban yang diinginkan Fajar. Rini tidak bisa mengatakan apa pun selain membalas tatapan mata Fajar yang kini berharap jawaban iya darinya. Awalnya mereka berdua saling menatap satu sama lain dengan tatapan mata serius, pada sepuluh detik berikutnya Rini menyunggingkan seutas senyum tipis.
Senyum yang terlihat berbeda, bukan senyum cerah yang pernah Fajar saksikan ketika Rini menyatakan mimpi-mimpinya di depan Kela, putri Rini. Senyuman yang Fajar saksikan saat ini hampir serupa dengan sebuah keyakinan akan hal lain, mirip senyum seseorang yang akan menuju ke arah lain. Mungkin tidak akan menoleh ke arah Fajar sama sekali.
Karena takut kecewa dengan jawaban yang akan Rini lontarkan ketika dia terus mendesak, Fajar memutuskan untuk mendahuluinya bicara.
“Kamu tidak perlu memikirkan apa yang aku katakan barusan. Anggap saja aku tidak pernah mengatakannya, maaf!” Fajar memutar badan dan pergi.
Rini mengintip dari sisi lemari pendingin. Dia bisa melihat Fajar kembali duduk di kursi meja makan. Fajar terlihat sedang menikmati sarapannya, tapi wajah Fajar saat ini terlihat murung. Tidak terlihat lebih baik dari sebelumnya.
Nuril yang berada di sebelahnya kembali mengomel karena ekspresi Fajar sangat tidak enak untuk dilihat.
“Kenapa lagi kamu? Habis kencing? Gak bisa keluar karena jadi batu? Atau buang air besar yang awalnya keras lalu mendadak mencret?” sindir Nuril pada Fajar. “Perasaan kemarin girang banget pas ngantar Rini ke komplek?” gumam Nuril. Nuril menoleh dan dia melihat Fajar terus menjejalkan makanan ke dalam mulutnya tanpa mau menggubris sindiran yang dia lontarkan.
Karena Fajar tetap bungkam, Nuril hanya menggelengkan kepalanya. Setelah merasa kenyang Nuril masuk ke dalam kamarnya dan tidur. Sementara Fajar pergi untuk bersiap-siap pergi ke rumah sakit.
Ketika Fajar berjalan menuju ke arah mobilnya Rini tiba-tiba menyela.
“Pak Fajar, sebentar, ini untuk Pak Fajar.” Rini menyodorkan bekal makan siang untuk Fajar. Padahal setelah jam makan siang Fajar juga sudah tiba di rumah, jadi tidak perlu bekal makan siang atau apa pun. Fajar belum menerima kotak bekal yang diberikan Rini untuknya.
“Apa ini?” tanyanya.
“Bekal untuk makan siang,” ucap Rini sambil meringis.
Fajar hanya bisa mengerjapkan kedua matanya, tadi dia hampir mau muntah karena terus menjejali mulutnya meski perutnya sudah terasa kenyang.
Melihat Fajar tidak bereaksi sama sekali, Rini segera mengambil tangan Fajar agar Fajar bersedia membawa bekal makan siangnya ke rumah sakit.
“Aku tadi lihat Pak Fajar makan dengan sangat lahap, bahkan sampai tersedak. Padahal masih ada banyak di dapur, Bu Nuril tidak akan menghabiskannya,” ucap Rini dengan tatapan polos.
Fajar kini tersenyum, dia mengangkat kotak bekal dalam genggaman tangannya.
“Ya, aku akan memakannya nanti siang,” jawabnya sambil membuka pintu mobil lalu pergi menuju ke rumah sakit.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, Fajar lebih banyak mengukir senyum seorang diri. “Aku kira Rini mempermainkanku, apakah dia sungguh polos seperti yang aku lihat dari kedua matanya pagi ini? kedua mata Rini terlihat jujur dan tidak menyembunyikan apa pun.” Gumam Fajar pada dirinya sendiri.
***
Di halaman rumah Nuril, Rini masih berdiri di sana menatap badan mobil Fajar sampai berlalu di ujung tikungan jalan.
“Dengan melihatmu tersenyum, aku merasa lebih baik. Mungkin dengan cara begini kita akan tetap dekat, tetap bisa berteman tanpa harus memikirkan apakah aku pantas untukmu, begitu juga kamu, apakah kamu pantas untuk wanita sepertiku,” ucap Rini dalam hati.
Rini menghela napas panjang lalu masuk ke dalam, Nuril sudah menunggu di ambang pintu samping.
“Rin!” panggilnya.
Rini bergegas mendekat untuk mendengarkan perintah Nuril. “Aku ada tamu spesial malam ini, aku harap kamu bisa bersikap sopan padanya. Dia dari pusat perfilman, aku lihat tubuhmu lumayan proporsional.”
Rini hanya mengangguk, dia sendiri juga kurang tahu apa yang bisa dia lakukan. Pelayanan seperti apa yang diinginkan Nuril ketika dirinya sedang bertemu para tamu. Rini tidak tahu sama sekali.
Setelah jam makan siang, Fajar pulang ke rumah. Mobil Nuril sudah tidak ada, dan Fajar melihat Rini sedang sibuk menyapu daun kering dari pohon jambu biji di samping rumah. Fajar tidak menegurnya dan memilih masuk ke dalam. Rini melirik punggung Fajar, Rini juga tidak mengatakan apa-apa.
Selesai menyapu Rini membawa pengkinya ke belakang. Rupanya Fajar sudah berganti dengan baju santai dan sedang menikmati rokoknya dengan duduk di kursi samping rumah. Ketika RIni berlalu di depannya, Fajar langsung menegur.
“Kopi, Rin!”
“Iya Pak,” jawab Rini.
Setelah meletakkan pengki di belakang rumah Rini segera membuatkan kopi untuk Fajar. Rini merebus air lalu menarik kursi dapur dan duduk di sana. Rini mendengar langkah kaki Fajar berjalan masuk ke dalam dapur lalu menutup pintu. Rini langsung menoleh ketika mendengar langkahnya mendekat ke arahnya.
“Pak Fajar? Kenapa pintunya ditutup?” Tanya Rini. Lantaran Nuril saat ini juga tidak ada di rumah. Fajar pergi mematikan kompor lalu duduk di samping Rini. Rokoknya masih tersisa sedikit, setelah habis Fajar menginjak di bawah alas kakinya di lantai dapur dan meletakkan kepalanya di atas bahu Rini.
Rini menundukkan wajahnya, dia menunggu Fajar bicara sesuatu padanya. Mungkin Fajar ingin mengatakan barang sepatah dua patah kata dan karena itu Fajar memutuskan untuk menutup pintu dapur.
Karena belum tidur sama sekali, kepala Rini pun jatuh di atas kepala Fajar. Fajar segera memindahkan kepala Rini perlahan ke atas bahunya.
“Aku jatuh cinta sama kamu, aku mulai berharap kita memiliki akhir yang baik meski di awal pertemuan kita lalui dengan kesalahan.” Fajar bergumam pada dirinya sendiri.
Fajar tidak memindahkan Rini, Fajar tetap duduk di sana menjadi sandaran Rini hingga Rini terjaga dari tidurnya.
Sekitar satu jam lamanya Rini tertidur, dan Rini kembali terjaga ketika mendengar ketukan pintu luar dapur.
“Ibu! Ibu di dalam?” seru Kela dari luar pintu.
Rini membuka kedua matanya perlahan, rupanya Fajar juga tertidur di samping. Saat Rini bangun, Fajar juga bangun.
“Itu suara Kela? Kamu nggak buka pintu untuknya?” tanya Fajar.
Rini bergegas berdiri lalu membuka pintu. “Kela?”
“Ibu di sini, Kela tadi nyari ke sana-sana!” tunjuk Kela ke arah jalan di luar pagar.
“Iya, ibu tadi ketiduran di dalam,” jelas Rini pada Kela.
Kela menatap ke arah Fajar, wajah Fajar terlihat lelah. Jalan Fajar juga agak sempoyongan karena masih mengantuk. Fajar tidak bicara apa-apa, pria itu masuk ke dalam kamarnya dan tidak keluar lagi.
Rini segera meminta Kela untuk mandi. “Kela mandi, ya?”
“Iya,” angguk Kela lalu berlari kecil menuju ke arah kamar mandi yang ada di belakang. Kamar mandi tersebut memang khusus disediakan untuk pelayan.