Setelah menyiapkan makan malam, Rini pergi mandi. Setelah selesai dia menatap pintu kamar Fajar masih menutup.
“Pak Fajar belum bangun?” guma Rini sambil berlalu menuju ke ruang depan untuk menyalakan lampu di seluruh rumah Nuril. Dari beranda, ruangan utama, ruang tengah, beranda samping dan juga lainnya. Ketika masuk ke dalam rumah, Rini melihat Fajar sudah selesai mandi. Fajar nampak sedang berbicara dengan Kela di kursi samping rumah.
“Kela, senang tinggal di sini?”
Kela mengangguk. “Iya, senang Pak Dokter!” jawabnya sambil menggigit kue basah dalam genggaman kedua tangannya. Kela duduk di kursi, dua kaki Kela menggantung dan terus berayun. Anak tu terlihat senang sekali.
“Kalau begitu Kela terus tinggal di sini saja, bagaimana?”
Kela tidak menyahut lantaran melihat Rini sudah berdiri tak jauh dari mereka berdua.
“Kenapa nggak jawab?” tanya Fajar, dia tidak tahu kalau Rini sudah berdiri tak jauh dari posisi mereka.
“Ibu bilang sama Kela, Kela harus rajin belajar. Terus Ibu juga bilang kalau Ibu akan beli rumah untuk tempat tinggal Kela dan Ibu, jadi Kela nggak akan terus tinggal di sini,” ucapnya pada Fajar.
“Kela, masuk ke dalam, ibu ambilkan makan malam dulu,” ucapnya pada Kela sambil menunjuk ke kamar mereka berdua yang terletak di samping rumah.
Rini berjalan ke dapur, Fajar mengekornya dari belakang.
“Malam ini, kamu masih pergi ke komplek?”
Rini hanya menoleh sekilas ke arah Fajar, dia tidak menjawab pertanyaan Fajar karena Rini tahu Fajar tidak senang kalau dia bekerja di komplek. Rini berjalan melewatinya menuju ke kamar Kela.
“Makan malam sudah siap, Pak Fajar silakan makan, Bu Nuril mungkin tidak akan pulang ke rumah malam ini.”
Perkataan Rini barusan membuat Fajar berpikir bahwa Rini lebih tahu jadwal Nuril ketimbang dirinya.
Fajar tidak menyahut, dia hanya berdiri seraya menatap punggung Rini berlalu dari depan matanya menuju ke kamar di samping rumah.
Fajar merasa putus asa, sudah pasti Rini menolak tetap tinggal di rumah seperti yang dia inginkan. Tepat pukul enam sore, Rini sudah siap dengan dandanannya. Kela duduk di tepi ranjang menatap ibunya.
“Ibu mau kerja?”
“Ya, Kela nanti langsung tidur, ya?”
Kela mengangguk patuh. Rini mengusap puncak kepala Kela lalu keluar dari dalam kamar. Di luar pintu ternyata Fajar sudah menunggu dirinya.
“Ayo,” Fajar mendahului Rini berjalan menuju ke arah mobil yang diparkir di halaman.
Rini tidak mendengar bahwa dia harus pergi ke komplek dengan diantarkan Fajar, Rini cemas kalau Nuril memarahinya.
“Bu Nuril tidak berpesan kalau aku harus berangkat diantarkan Pak Fajar, aku pergi sendiri saja, Pak,” ucapnya dengan sungguh-sungguh. Rini tahu Fajar dan Nuril sering berselisih lantaran tidak setuju Rini pergi ke komplek.
Fajar sudah membukakan pintu mobil untuk Rini. Akan tetapi Rini menolak masuk ke dalam, Rini ingin pergi dengan naik taksi saja.
“Ayo nunggu apa? Nanti kalau telat kamu kena marah.”
“Aku naik taksi saja, Pak.”
Rini berjalan menuju ke gerbang depan akan tetapi Fajar segera menyambar lengannya.
“Mas Fajar!” Rini ingin menarik pergelangan tangannya dan Fajar menolak melepaskannya. Fajar mendorong masuk Rini ke kursi samping kemudi.
“Aku itu nggak ada niat buruk sama kamu, Rin. Kamu itu mikir aku seperti apa?”
Rini tidak berontak, dia membiarkan Fajar mengantarkannya pergi ke komplek. Sampai di komplek Rini langsung turun dan tidak berpamitan pada Fajar. Fajar mengira Rini marah padanya, padahal sebaliknya Rini tidak ingin melihat Fajar sedih jika dia terlalu lama berada di sana dan menyaksikannya masuk ke dalam kafe.
“Rini, jika saja aku pria yang mampu, aku akan segera membawamu keluar dari rumah bordil.”
Fajar menyaksikan Rini masuk ke dalam kafe, Fajar tidak berkeras untuk membawa Rini pulang ke rumah seperti kemarin-kemarin. Tidak ada yang bisa dia lakukan lantaran semua itu memang sudah menjadi keputusan Rini.
Di dalam kafe Rini segera menemui Nuril untuk menanyakan tentang pekerjaan yang harus dia lakukan.
“Bu Nuril?” Rini berjalan mendekat. Lalu membungkuk hormat di depan Nuril yang kini sedang duduk di kursi kafe untuk melayani para tamu yang datang.
Seorang pria datang mendekati Nuril, pria tersebut mengenakan baju rapi. Dia melihat Rini berdiri di dekat Nuril. Hanya beberapa wanita khusus yang tidak dimarahi oleh Nuril ketika mereka berdiri di sisinya.
“Mi, barang baru nih?” Tanya seorang pria pada Nuril.
“Dam, mana Bos kamu? Sendirian saja datang ke sini?”
Sadam menatap penampilan Rini dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ada rasa kekaguman ketika melihat sosok Rini yang lebih terlihat elit dibandingkan dengan wanita-wanita lain yang biasa dia bawa kepada Aldi – seorang sutradara.
“Malas pergi Mi, makanya aku disuruh ke sini untuk nyari tukang pijit. Yang ini kayaknya cocok Mi!” Sadam menunjuk Rini.
“Barang baru! Harga juga beda dengan kelas yang lama Dam!” jawab Nuril.
Nuril mengangguk santai, dia segera mendekat ke arah Rini untuk mengatakan sesuatu padanya. Sementara Adam mengeluarkan lembaran uang ratusan ribu sekitar tujuh sampai sepuluh juta.
“Ingat yang aku katakan saat di rumah, kalau kamu mau hutang cepat lunas, nurut saja! Jangan kebanyakan protes!”
Rini mengangguk patuh. “Baik, Mi, saya siap,”
Nuril menerima uang dari Adam, wanita bertubuh tambun tersebut nampak sibuk menghitung uang. Sinar dari kedua matanya nampak puas sekali dengan uang yang diberikan Adam padanya.
“Kamu memang tahu barang bagus, Dam! Sering-sering saja datang ke sini!” ujar Nuril.
“Beres, Mi! ingat Mi, uang itu untuk dua puluh empat jam!”
Nuril terkekeh mendengar Sadam bicara demikian.
Melihat Rini menundukkan wajahnya Nuril kembali mendekatinya. Dia menyelipkan lembaran ratusan ribu ke dalam tas Rini. “Itu untuk uang makan sama ongkos taksi, besok kalau banjir job, aku bakalan bayar orang buat ngurus rumah sama Kela. Kamu nggak perlu lagi ngurus dapur, tugasmu cuma kerja sama aku! Kalau terus begini sebulan saja hutang suami kamu bakalan lunas!”
Rini menatap Nuril dengan tatapan mata tidak percaya, dalam hatinya tentu saja merasa sangat senang. Hutang yang menjadi bumerang hidupnya akan lunas segera.
“Su-sungguh Bu?” tanya Rini dengan tatapan mata haru.
“Ya, beneran! Panggil aku Mami! Kebiasaan panggil aku ba-bu!”
“I-iya Mi!” Rini terlihat sangat senang sekali.
“Ayo buruan! Sana, kamu ikut sama Sadam. Dia yang akan membawa kamu pergi malam ini. Jangan bikin ulah, apalagi bikin komplek ini bermasalah!”
“Iya, Mi.” Rini segera pergi mengikuti Sadam. Sadam tidak mengatakan apa-apa sampai mereka berdua duduk di dalam mobil. Dan Aldi sang sutradara ternyata sudah menunggu di dalam mobil.
Rini agak terkejut saat melangkah masuk ke dalam mobil dengan ruang terpisah dengan ruang kemudi. Rini tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dan ketika mobil mulai berjalan tubuhnya di dalam mobil mulai oleng dan terjatuh menimpa Aldi.
“Akh, maaf! Maafkan saya!” ucapnya sembari berniat bangun dari atas pangkuan Aldi. Tapi Aldi menolak dan tetap mengendus sisi lehernya.
Aldi menghirup aroma tubuh Rini. Aroma itu terasa berbeda menurut penciumannya, bukan aroma-aroma wanita panggilan yang biasa dia cium selama ini. Ada aroma harum daun pandan bercampur bunga begitu khas. Aldi mengernyitkan keningnya.
“Kamu dari area pemakaman?”
Rini dengan cepat menggelengkan kepalanya. Dia tidak tahu kenapa pria yang kini memangkunya bertanya seperti itu.
“Kamu penjual bunga tabur di atas pemakaman?”
Rini kembali menggeleng, dia agak cemas karena pria yang dia layani terus menanyakan tentang pemakaman.
“Lalu parfum ini?”
Rini segera mengendus bajunya sendiri, dia baru sadar dengan aroma tersebut. Parfum itu bukan miliknya tapi milik Nuril. Mungkin karena Nuril begitu dekat dan menyentuhnya tadi.
“Ini sepertinya Parfum Mami, Pak.”
“Mami? Ibumu?” tanyanya lagi, kali ini Aldi membiarkan Rini pindah ke kursi di sebelahnya.
“Bukan, Pak. Mami yang punya komplek.”
“Iya, aku juga tahu, serius amat jadi orang.”
Rini langsung menoleh, dan dia melihat Aldi menyulut sebatang rokok sambil membuka sedikit jendela di samping. Rini tanpa ragu segera menegurnya.
“Jangan dibuka Pak!” teriaknya.
Aldi agak kaget kenapa Rini melarangnya membuka jendela. “Kenapa?”
“Nanti saya masuk angin, takutnya muntah-muntah di dalam mobil.” jawabnya sambil mengusap kedua lengannya sendiri lantaran baju yang Rini kenakan hanya sampai sebatas d**a.
Aldi menatap rokoknya yang masih menyala dengan perasaan aneh, baru kali ini dia bertemu wanita seperti Rini, mau tidak mau dia segera mematikannya kembali dalam asbak.