13. Sadis

1155 Kata
Tidak ada yang bicara setelah jendela mobil ditutup kembali, Aldi merasa bosan karena sejak tadi Rini juga tidak memulai percakapan dengannya. Karena kesal Aldi mulai mengomel. “Sialan, kaku sekali, si Sadam selalu nggak becus tiap booking cewek!” Rini tidak berani menoleh, sejak Aldi mematikan rokoknya Rini hanya meliriknya sesekali. Aldi menopang sisi kepalanya dengan malas di dekat jendela mobil. Tangannya yang lain menggenggam botol wine. Aldi menatap Rini yang kini tengah duduk di sebelahnya, Rini berulangkali meluruskan roknya ke lutut karena ujungnya selalu naik sampai ke paha. “Nama kamu siapa?” Rini agak kaget dia tidak sadar Aldi sedang mengajaknya bicara jadi dia hanya menoleh ke arah Aldi tanpa memberikan jawaban apa pun padanya. “Kamu bisa ngomong kan?” nada suara Aldi terdengar jengkel. Dengan frustasi kembali meneguk wine dalam botolnya. “Bi-bisa Pak, nama saya Rini, Pak.” Aldi mengangguk, kepalanya mulai terasa pusing dan pandangan matanya berkunang-kunang. Aldi meletakkan botolnya di tempatnya semula lalu menyandarkan kepalanya dengan nyaman di sandaran kursi. Rini hanya menatapnya tanpa melakukan apa pun. Tak lama kemudian mobil berhenti, Sadam mengetuk pintu mobil. “Bos!” panggilnya dari luar pintu. Rini berinisiatif membuka pintu mobil tersebut lalu melongokkan kepalanya keluar. “Dia tidur.” Rini menunjuk ke arah Aldi yang tadi sedang bersandar di dalam dengan posisi begitu nyaman. Sadam melongo sesaat pada detik berikutnya dia tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya, “tidur katamu? Hahahahahaha! Mana mungkin!” Rini dengan bingung menoleh kembali menatap ke arah Aldi. Dia sangat terkejut saat melihat Aldi tersenyum sambil menopang sisi kepalanya, menatap ke arah Rini dengan tatapan sadis, kejam, liar, mengerikan. Dua pria di sana sedang menertawakan kebodohan dan keluguannya. Bibir Rini bergetar, jika dia tidak ingat dengan pesan Nuril mungkin malam ini dia akan kabur! Belum selesai memikirkannya Aldi mencekal pergelangan tangannya dan membawanya masuk ke dalam hotel. Genggaman Aldi begitu erat sekali, Rini hanya mengikuti langkah kakinya tanpa berani protes sama sekali. “Suite 032,” ujar Sadam pada Aldi seraya menyerahkan kartu untuk membuka kunci kamar. Perasaan Rini mulai tidak tenang, malam ini mau tidak mau dia harus melayani pria yang kini menggenggam tangannya. Ketika memasuki lift Aldi menoleh padanya. Aldi terlihat sedang menghela napas panjang. “Siapa nama lengkap kamu?” “Rini Astuti, Pak.” “Sudah lama bekerja di rumah bordil?” “Baru kemarin, Pak.” Rini dengan cemas menoleh ke arah Aldi. “Sadam sialan, kenapa dia memilih wanita yang sama sekali tidak berpengalaman!” Aldi kembali mengomel. “Saya akan melayani Bapak dengan baik!” Rini mengangkat genggaman tangannya, niatnya melakukan itu hanya untuk meyakinkan Aldi bahwa baginya kepuasan pelanggan adalah yang utama. “Hahahaha! Memangnya kamu bisa?” ejek Aldi dengan tatapan mata tidak percaya. “Bisa Pak!” jawabnya dengan penuh semangat. Tak lama kemudian mereka tiba di dalam kamar. Aldi menoleh ke arah Rini. “Lakukan semua gaya yang kamu bisa!” perintahnya sambil berjalan santai menuju ke atas ranjang. Rini merasa bingung, ini adalah pertama kalinya. Bahkan dia tidak merasa ada ketertarikan dengan sosok pria yang kini akan dia layani. Awalnya Rini merasa ragu, tapi dia segera memutuskan untuk melakukannya. Rini berjalan menuju ke arah Aldi, duduk dengan posisi berjongkok tepat di depan sosok pria yang menunggu untuk dilayani olehnya. Ragu-ragu Rini menyentuh kedua lutut Aldi dan membukanya ke samping. Sambil menatap kedua mata Aldi, Rini memberanikan diri untuk melakukannya. Aldi awalnya tidak bereaksi, tapi setelah beberapa lama Rini menggunakan lidah dan bibir ranumnya untuk memanjakannya Aldi mulai merasakan sesuatu dan membuat sisi intimnya terjaga dari tidurnya. Rini tidak berhenti dan terus melakukannya. Erangan Aldi mulai terdengar, semakin lama semakin keras. Untungnya Aldi tidak menolak atau memperlakukannya dengan kasar. Dari awal sampai akhir Rini memegang kendali penuh atas Aldi. Hingga lahar milik Aldi keluar dan tumpah pada wajah cantik Rini. “Lumayan!” Aldi mengukir senyumnya lalu menarik lengan Rini ke atas ranjang dan mulai memangsa tubuh Rini dengan sepuas hatinya. Dua jam, tiga jam, Rini hampir putus asa. “Apakah aku masih bisa hidup ketika keluar dari dalam kamar ini? napasku hampir habis!” Gumam Rini dengan suara lirih. Aldi meremas kedua sisi pinggang ramping Rini, terkadang beralih menarik rambut panjangnya atau memukul gemas bokongnya. “Hah, hah, hah!” Aldi mengatur napasnya. Entah sudah berapa jam dia melakukan hubungan intim dengan Rini hingga tubuhnya berakhir tumbang di sebelah Rini. Rini jatuh bertelungkup di atas ranjang, tubuh polosnya banjir penuh dengan peluh. Napasnya tersengal, punggung dan dadanya terlihat naik-turun sibuk mengatur napas. Rini merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Perlahan Rini memutar badan rebah dengan telentang, Rini menatap langit-langit ruangan dalam kamar tersebut. Perlahan matanya mengatup, kembali terbuka. “Apa artinya uang bagi wanita malam sepertiku? Apakah mereka merasakan kebahagiaan? Jika ini yang dikatakan jalur ekspres untuk mendapatkan uang, baru sehari saja aku merasa kedua kakiku diamputasi, lalu apa yang harus aku lakukan besok?” tanya Rini untuk dirinya sendiri. Aldi mau tidak mau terkekeh mendengar perkataan Rini di sebelahnya. “Heh? O-on?” Rini menoleh dia tidak menyahut karena merasa tidak sanggup membuka bibir untuk bicara lagi. “Libur dua hari, hari ke tiga aku pesan kamu lagi!” Rini masih tidak menjawab, selain sangat lelah Rini juga merasa sangat mengantuk. Dan pada Akhirnya dia malah tertidur dengan sangat pulas. Rini tidak tahu hari pagi atau malam, tidak melihat siang atau sore. Yang dia tahu ketika dia terjaga tubuhnya sudah terbalut dengan selimut, sementara Sadam dengan santai duduk di tepi ranjang sambil merokok. Rini segera beringsut bangun untuk mencari bajunya. Namun baju yang dia pakai terakhir kali seingatnya sudah dirobek oleh Aldi menjadi empat bagian. “Bajuku! Ke mana bajuku?” Rini mulai terlihat panik. Dia tidak tahu ke mana perginya baju yang dia kenakan semalam. “Tuh!” Sadam menunjuk ke arah tas di atas meja. Perlahan Rini turun dari atas ranjang sembari menangkupkan selimutnya untuk menutupi seluruh tubuhnya. Rini berjalan dengan kedua kaki gemetar. Melihat Rini bisa berjalan dengan baik-baik saja, Sadam segera keluar dari dalam kamar tersebut dan pergi. Rini mengambil tas berisi baju yang ditinggalkan Sadam di atas meja. Rini bahkan tidak tahu siapa nama pria yang semalam tidur dengannya. Yang Rini tahu Nuril memanggil pria yang membookingnya dengan panggilan Dam. Dan pria yang semalam membuat tulang-belulangnya remuk merupakan pria kelas atas dengan banyak uang. Saat membersihkan tubuhnya di dalam kamar mandi Rini baru sadar begitu banyak noda merah pada kulit tubuhnya. Hampir di setiap sisi, dari leher, lengan, d**a, pinggang, paha. Rini menggosok tubuhnya menggunakan busa sabun. Rini merasa agak aneh, akan tetapi permainan semalam membuat Rini terus teringat tentang Aldi, bukan Fajar lagi. Hanya beberapa saat, Rini segera menepis semuanya dalam benaknya. Satu hal yang masih bisa Rini ingat ketika otaknya sedang jernih. Satu hal yang dikatakan Nuril padanya sambil mengetuk d**a Rini menggunakan jari telunjuknya, “jangan pernah menggunakan hatimu, ini medan bisnis, dunia ini sadis!” Terkadang Rini menanyakan segala-galanya di dalam hatinya yang paling dalam. Apakah dia sungguh mencintai Fajar? Atau hanya merasa berempati padanya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN