Rini pulang ke rumah Nuril dengan naik taksi. Saat dia tiba, yang pertama kali Rini lihat adalah Kela. Rini merasa dia tidak bisa menjaga Kela dengan baik.
Ketika turun dari dalam taksi, Kela langsung berlari memeluknya.
“Ibu ke mana saja? Ibu sejak kemarin nggak pulang?” tanya Kela dengan kedua bola mata berair.
Biasanya Kela tidak pernah menangis, Rini merasa kasihan padanya karena sebelum-sebelumnya Kela sering seperti itu hanya ketika dia pergi ke hutan untuk mencari umbi-umbian untuk mengganjal perut mereka berdua.
Rini memiliki pandangan lain, mungkin akan lebih baik ketika dia mengirim Kela ke sekolah asrama sejak dini. Rini berniat membicarakannya pada Nuril malam nanti.
Rini tidak menjawab pertanyaan Kela, Rini membawa Kela masuk ke dalam rumah. Melihat rumah begitu sepi tanpa penghuni, Rini pikir Fajar tidak ada di rumah.
“Kamu sudah makan?” tanya Rini pada Kela.
“Sudah Bu,”
Rini tidak tahu siapa yang mengurus Kela. Rini masih merasa sangat lelah, jadi dia masuk ke dalam kamar untuk pergi tidur. Kela sudah lega ibunya pulang, dan dia pergi bermain di halaman.
Sekitar pukul dua siang, Fajar pulang. Dia melihat Kela bermain di halaman rumah. Setelah turun dari mobil, Fajar segera pergi menghampirinya.
“Kela? Sudah makan siang?” tanyanya pada Kela.
Kela menggelengkan kepalanya. Kela tidak berani meminta pada Fajar.
“Ibu?”
“Ibu tidur di dalam kamar, Ibu capek ....”
Fajar mengambil tangan Kela lalu membawanya masuk ke dalam menuju ruang makan.
“Kela cuci tangan dulu, di sana!” Fajar membungkuk di samping Kela, menunjuk ke arah wastafel di ruang makan. Kela mengangguk dan berlari untuk mencuci kedua tangannya.
Fajar meletakkan tasnya, menggulung lengan kemeja warna biru tua miliknya sampai sebatas siku.
Kela datang menghampiri Fajar. Fajar mengangkatnya agar duduk di kursi. “Kela makan dulu, nanti kalau sudah selesai cuci tangan lagi di sana, ya?”
“Hem,” angguk Kela.
Fajar cemas dengan kondisi Rini, jadi tanpa pikir panjang dia masuk ke dalam kamar Rini. Fajar melihat Rini sedang tertidur pulas. Rini tidak tahu Fajar masuk ke dalam kamarnya. Fajar menarik kursi dan duduk di samping ranjangnya. Ketika Rini memutar badan, Fajar melihat banyak sekali noda merah bekas ciuman. Lebih mirip gigitan bukan ciuman, merah menghitam.
Fajar menelan ludahnya, tentu saja perasaannya terasa tidak nyaman. Ada sisi tubuhnya yang terasa sangat sakit, tapi tidak tahu di mana?
“Iblis macam apa yang sudah menidurinya?” tanya Fajar pada dirinya sendiri.
Fajar menyingkap rok Rini, dan dia juga melihat bekas merah di sana. Bahkan lebih banyak dibandingkan dengan di pinggang. Fajar tidak tahan lagi, dia merasa sangat gila dan frustasi. Fajar tidak mampu lagi menyaksikan semua itu, dia memutuskan untuk keluar dari dalam kamar Rini. Tepat saat naik ke beranda samping Fajar berpapasan dengan Nuril.
“Dari kamar Rini? Masih bisa dia layani kamu?! Dia itu nggak boleh kamu sentuh lagi! Dia tambang emas utama kafeku!” Omel Nuril tanpa henti pada Fajar.
Fajar sudah tidak bisa mendengar apa-apa, tidak ada rasa apa pun selain rasa sakit dan ngilu di dalam lubuk hatinya.
“Jar! Tuli kamu?! Linglung karena melihat bidadari kamu tidur dengan pria lain? Hahahahaha! Makanya bangun kamu, jangan ngimpi terus! Nggak punya duit saja sok-sok an! Ngaca sana biar waras! Hahahahaha!” Nuril tertawa keras sekali.
Rini yang tadinya tidur dengan pulas sampai terjaga. Ketika bangun kepalanya terasa agak pusing. Rini menatap ke arah meja rias di sisi kamar. Di sana ada tiga jenis obat serta kue basah di atas piring. Rini mengerjapkan kedua matanya, samar-samar dia bisa mencium aroma asap rokok di dalam kamarnya serta parfum Fajar.
“Mas Fajar dari sini? Ya, dia pasti yang meninggalkan obat di atas meja. Siapa lagi kalau bukan dia?” Rini beringsut bangun. Dia melihat dosis minum yang Fajar coretkan di luar bungkus obat.
“Satu kali sehari, yang dua ini dua kali sehari, diminum setelah makan ....” Rini berhenti membacanya karena di sana juga tertulis beberapa patah kata lagi dan Rini hanya membacanya dalam hati. “Hatiku sakit sekali,”
Rini terlanjur meminum obatnya, akibatnya ketika membaca tulisan terakhir dia tersedak. Rini tidak tersenyum, tidak ada perasaan bangga di dalam hatinya, yang dia pikirkan hanya satu. Kenapa Fajar tertarik padanya?
Setelah meminum obat, Rini segera keluar dari dalam kamarnya untuk melakukan tugasnya di rumah Nuril.
Begitu melihat Rini keluar, Nuril segera memanggilnya.
“Sini kamu Rin!”
“Iya, Mi?” Rini berjalan mendekat.
“Hari ini kamu libur, besok juga libur, lusa kamu masuk. Kamu tidak lupa sama pelanggan semalam? Aku mau dengar langsung dari kamu dia ngomong apa sama kamu? Apa benar dia bilang seperti yang aku bilang tadi?”
Rini agak bingung dengan maksud Nuril. Rini cukup lama memikirkannya.
Nuril tidak sabar, jadi dia kembali membuka kata, “Pelanggan kemarin mau booking kamu lagi lusa! Kamu tidak diijinkan melayani orang lain selain dia! Paham belum?”
“Iya, Mi,” angguk Rini.
Rini masih belum yakin apa yang sempat dia dengar dari pria yang dia layani semalam karena dia sangat mengantuk, Rini hanya berpikir apa yang dikatakan Nuril tidak berbeda dengan yang dikatakan pelanggannya.
Rini teringat dengan keputusannya tentang Kela, dia segera memberitahu Nuril tentang masalah itu lantaran malam ini Nuril pasti akan pergi ke komplek lagi dan pulang di keesokan harinya. Melihat Nuril hendak berjalan masuk Rini segera mencegah.
“Mi,”
“Apa lagi? Mau naik gaji? Kerja dulu yang becus!” omelnya.
“Bukan Mi, ini tentang Kela ....”
“Kenapa Kela? Bukannya dia baik-baik saja! Suruh saja Fajar yang jaga! Percuma dia nggak ada gunanya! Jadi dokter bukannya banyak duit buat bayar hutang tapi malah minta duit terus!”
“Kela mau saya sekolahkan di asrama.” Rini terdiam sebentar, dia menunggu reaksi dari Nuril.
“Asrama?”
“Iya, Mi. Kasihan kalau Pak Fajar saya suruh menjaga Kela terus-menerus.”
“Kenapa? Dia saja nggak keberatan!”
“Tetap saja Mi,”
“Sudah, nggak usah debat. Mending kamu tanya ke Fajar saja, nanti aku disemprot sama dia! Dia juga bisa marah-marah, terserah kamu mau kamu kemana kan. Bagiku yang penting hutang Ranto sama aku lunas!” ujarnya lalu masuk ke dalam.
Rini tidak mencegah Nuril pergi. Mau tidak mau kali ini dia harus berhadapan dengan Fajar secara langsung. Rini masuk ke dalam rumah, dia mencari Fajar dan bertemu dengannya saat sedang membereskan meja makan. Fajar baru saja keluar dari dalam ruangan kerjanya.
“Buatkan aku kopi,” ucapnya pada Rini sambil menunjuk ruangan kerjanya. Wajah Fajar terlihat biasa-biasa saja.
Rini sama sekali tidak berpikir bahwa Fajar sudah mengetahui noda-noda merah pada sekujur tubuhnya.