15. Tumbal Rel Kereta

1169 Kata
Rini segera menuju ke dapur, sampai di sana Rini segera memasak air untuk menyeduh kopi. Sambil menunggu air mendidih Rini menyandarkan sisi tubuhnya di dinding. Dia masih tidak kuat berdiri terlalu lama. Rini ingin menarik kursi di sampingnya lalu dia gunakan untuk duduk. Belum sampai tangannya menjangkau kursi, Fajar mengambilkan untuknya lalu menekan kedua bahu Rini agar duduk di kursi sementara Fajar tetap berdiri di belakangnya membungkuk sambil memaksa Rini menoleh ke samping. Fajar memagut bibirnya, Rini melihat kedua bola mata Fajar yang berkaca-kaca. Rini sempat bertanya-tanya dalam hatinya. Dari kedua mata Fajar, Rini bisa melihat kebenaran akan perasaan Fajar terhadapnya. Akan tetapi Rini segera menepis kembali rasa tersebut. Rini meremas lengan Fajar yang kini mengait pada lehernya untuk menahan kepala Rini. “Aku tidak boleh larut! Aku tidak boleh jatuh! Aku harus kuat! Aku harus bertahan demi Kela! Aku tidak bisa menyerah hanya karena Fajar jatuh cinta padaku!” Begitulah cara Rini meyakinkan dirinya sendiri. Rini merasa yang terbaik untuk saat ini hanyalah melunasi semua hutang suaminya lalu merawat Kela sebaik-baiknya. Mendaftarkan Kela di sekolah terbaik untuk masa depannya. Rini sengaja mengakhiri segala rasa yang dia pikir akan menjadi sandungan langkahnya menuju impiannya. “Maaf Pak,” Rini memaksa Fajar agar melepaskan pagutan bibir Fajar. Fajar bersedia melepaskan ciumannya tapi dia masih membungkuk di sisi Rini, meletakkan keningnya di atas bahu Rini. Mungkin dengan begitu Fajar merasa bisa menenangkan perasaan kalut yang hanya dia rasakan seorang sendiri. “Aku tahu apa impianmu, aku tahu semuanya,” Rini menundukkan wajahnya sejenak, dia mendengar desis air mendidih di dalam panci. Rini segera berdiri dari kursinya untuk menyeduh kopi. Rini tidak melihat Fajar di dapur. Fajar sudah pergi meninggalkannya entah sudah berapa lama jadi dia memutuskan untuk mengantarkannya ke ruang kerja Fajar. Sampai di sana, ternyata Fajar sudah menunggu. Romansa manisnya cinta yang samar kembali terulang, Fajar memulainya tidak peduli Nuril ada di rumah! Rini hanya menatap sorot mata tajam dari kedua matanya, tatapan mata terluka dan hasrat terasa sama! Rini tidak menolak, tubuhnya sangat mengenal setiap sentuhan Fajar. Seolah-olah Fajar memang pemilik dari setiap inci yang ada di sana, pemilik yang sebenarnya. Pemilik yang diberikan hak oleh Rini untuk menyentuh bukan mengakui secara utuh. Rini sama sekali tidak melihat perbedaannya, Fajar melakukannya dengan perlahan seolah cemas ada sisi tubuh Rini yang terluka. Perasaannya terasa sakit dan tercabik ketika melihat noda merah hampir memenuhi di setiap jengkal kulit wanita yang dicintainya. “Aku jatuh cinta untuk pertama kalinya! Bukan salah Rini, bukan salah keadaan, bukan salah takdir. Pertemuan antara aku dan Rini memang sudah tersusun dan terjalin seperti ini. Seperti goresan tinta hitam di atas kertas. Aku menerjang pernikahanku dengan Nuril, menodai keduanya. Pertama, wanita yang aku cintai, ke dua yaitu pernikahanku sendiri. Aku sudah memutuskan untuk larut dan hanyut. Dan karena keputusan itu aku kini terluka.” Usai melakukan hubungan intim bersama Rini, Fajar segera memakai kembali kemejanya. Rini melihat kemeja yang sama saat Fajar memanggilnya tadi. Rini juga memakai bajunya seperti semula. Fajar tidak membahas hubungan Rini dengan pelanggan yang dilayani Rini untuk pertama kali. Tapi Fajar menyinggung masalah lain dengan sengaja seolah-olah itu sekedar rasa cemas dan takut Rini kenapa-kenapa. Padahal sudah jelas ada konsekuensi di setiap pilihan dan keputusan. Ada kedua sisi hitam dan putih yang harus diterima, entah mau atau tidak. “Ganti pelanggan lain, kenapa?” tanyanya sambil duduk di kursi meja kerjanya, Fajar tidak lagi menatap Rini tapi dia menatap buku-bukunya di atas meja lalu mengambil bolpoin untuk mencatat. Rini tidak tahu apa yang Fajar lakukan, Rini hanya berpikir keluar dari dalam ruangan kerja Fajar secepatnya merupakan keputusan terbaik untuk saat ini. Walau bagaimanapun Fajar merupakan pria peliharaan Nuril. Entah bagaimana cara menyebutkannya. “Rin? Kamu belum jawab pertanyaanku tapi malah kabur begitu saja,” protes Fajar. “Aku harus menyapu, Pak.” Rini menelan ludahnya dengan serba salah. Peristiwa barusan masih membuatnya merasa malu setengah mati, tentang noda merah yang Rini berikan secara tidak sengaja di atas bahu kanan Fajar. Rini sangat cemas dan takut, di saat dia tengah sibuk memikirkan itu bersamaan sampai klimaks Fajar berbisik pada Rini. “Aku hanya milikmu, ragaku, hatiku, seluruhnya ....” wanita lugu dan polos seperti Rini melihat wajah tampan Fajar sudah merupakan anugerah terindah. Siapa yang tidak luluh ketika Fajar bertekuk lutut dan menyerah dengan jelas? Rini tidak hanya menggigit biasa, tapi menggigitnya dengan sekuat tenaga, seolah segalanya meledak. Terakhir di sela napas keduanya yang memburu, mereka kembali berpagutan satu sama lain. Isyarat menerima perasaan masing-masing. Dengan jelas! Tanpa kata-kata! Menurut Fajar ini gila dan tidak masuk ke dalam logika, tapi Fajar mengakuinya tanpa menyalahkan siapa pun. Entah dirinya yang memang jatuh cinta untuk pertama kali. Atau Rini yang begitu menarik dan membuatnya mabuk hingga lupa semua hal di sekitarnya. Tidak bisa membedakan mana benar dan mana yang salah lagi. Pikirannya jernih, tapi rasa itu nyata! Akhir dari semuanya, Fajar hanya bisa melihat wajah Rini yang memerah menunduk karena malu, meninggalkan ruangan kerjanya dengan canggung. “Aku tidak mungkin salah, kedua mata Rini mengatakan semuanya. Hanya keadaan yang membuat hubungan ini terlihat rumit dari sisi luar padahal aslinya begitu sederhana. Aku bisa meminangnya dan menjadikannya istriku setelah semua masa sulit ini berakhir. Tapi karena begitu lama, apakah Rini masih sudi menerimaku? Aku hanya pengecut. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain melindunginya dengan samar. Aku sendiri punya banyak hutang, bahkan tidak tahu apakah hutang keluargaku bisa lunas dengan gaji dokterku seumur hidup?” Fajar mengacak-acak rambutnya sendiri. *** Keluar dari dalam ruangan kerja Fajar, Rini segera membereskan rumah, dari menyapu lantai dan lainnya. Rini baru menyelesaikan semuanya ketika hari sudah pukul lima sore. Rini menyalakan lampu dalam rumah. Nuril baru selesai bersiap-siap, sudah menjadi rutinitasnya Nuril hendak pergi ke komplek. Melihat Rini sibuk Nuril segera menegur, Sadam bukan pelanggan biasa kalau terjadi apa-apa pada Rini maka akan berimbas pada tamu yang datang ke komplek. Menurutnya, saat ini Rini merupakan aset penting yang harus Nuril jaga sebaik mungkin. “Rin! Sini kamu!” panggilnya. “Iya, Mi?” “Aku mau mending besok Fajar saja yang kerjakan beres-beres rumah! Dari mengepel, menyapu, memasak! Sayang tangan kamu yang mahal ini! Kamu itu pohon uangku, sementara dia babuku! Nggak ada gunanya jadi harus dimanfaatkan! Tongkatnya saja letoy, nggak berguna, cuma kaki dan tangannya yang masih kenceng!” sindir Nuril dengan sengaja lantaran melihat Fajar berdiri tak jauh di belakang punggung Rini sambil menyeruput kopi dari cangkir dalam genggaman tangannya. Fajar spontan melotot, agak kesal dan marah lantaran terus diinjak-injak di depan Rini. “Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Fajar segera meletakkan cangkir kopinya di atas meja makan lalu menepuk dadanya. “Sudah! Nggak usah melotot sama aku, Jar! Bola mata kamu keluar pun juga nggak ada gunanya! Sekali pun ditanam sebagai tumbal di bawah rel kereta api, nggak bikin kereta selamat tapi malah bikin keretanya guling jungkir-balik! Hahahahaha!” Nuril mengibaskan kipasnya sambil berjalan dia tertawa terpingkal-pingkal menuju ke luar rumah. Sementara Rini hanya melirik ke arah Fajar, mereka berdua sempat bertukar pandang satu sama lain sesaat. Rini mau tidak mau terpaksa mengulum senyumnya. “Kamu juga ingin menertawakanku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN