16. Bukan Pria Letoy

1618 Kata
Setelah pergi sore itu, malamnya Nuril tidak pulang ke rumah. Pada keesokan harinya, Rini bangun dan langsung membuat sarapan di dapur. Rini tidak mungkin membebankan semua tugas rumah kepada Fajar, jadi pada akhirnya mereka bekerjasama untuk mengerjakan semua pekerjaan yang ada di rumah. Mereka mulai membagi tugas, Rini memasak dan membersihkan perabotan sementara Fajar bertugas menyapu dan membersihkan rumah termasuk mengepel lantai. Rini sedang sibuk di dapur, dia tidak tahu kalau Fajar sudah bangun dan sekarang sedang berjalan memasuki dapur. “Masak apa?” tegur Fajar pada Rini. “Oseng sayur sama ayam bumbu, Pak,” jawabnya tanpa menoleh ke arah Fajar. Fajar mendekat dan berdiri menempel pada Rini. Rini merasakan kecupan Fajar pada sisi lehernya lalu pelukan lengan Fajar pada pinggang rampingnya. Rini tidak berani memprotes, Rini hanya menelan ludahnya sembari mengaduk masakan yang dibuatnya. “Kamu nggak mengeluh aku melakukannya kemarin?” Rini masih terdiam, Rini tidak senang Fajar membahas tentang itu. Rini ingin menganggap semua yang dia lakukan dengan Fajar hanya sebuah mimpi belaka, bukan untuk terus diingat dan dipikirkan. Kemarin sore setelah membuatkan kopi Rini merasa sangat lelah, jadi semalam Rini menghabiskan seluruh waktunya dengan beristirahat di dalam kamar. Rini bahkan tidak sempat memimpikan apa pun karena kondisi tubuhnya terlalu lelah. “Rin?” Fajar mempererat pelukannya pada pinggang Rini. “Pak Fajar, aku angkat masakan dulu, sebentar lagi Pak Fajar harus ke rumah sakit.” Rini berniat melepaskan lengan Fajar dari pinggangnya akan tetapi Fajar malah mencari sesuatu di balik rok Rini, genggaman tangan Rini pada lengan Fajar berubah menjadi remasan. Fajar lebih tahu dengan reaksi itu, Fajar menekan punggung Rini agar lebih membungkuk. “Pak Fajar, aku, akh,” Rini menahan pekikan pada bibirnya. Fajar menekan miliknya ke dalam, menggesek pelan, lalu menekan dan menarik ulang hingga Rini memekik berulangkali. Rini meremas tepian meja dapur, Fajar menggenggam kedua sisi pinggang ramping Rini. Melakukannya dengan gerakan cepat dari belakang punggung Rini. “Mas, ah, ah, oukh.” Rini menutup bibirnya sendiri. Panggilan yang tadinya ‘Pak’ sudah berubah menjadi panggilan yang lebih intim. “Kenapa? Aku ingin mendengar rintihanmu, Rin, jangan tutup bibirmu,” bisik Fajar di telinga Rini. Fajar menyingkap rok Rini lebih ke atas lagi hingga sisi pinggang Rini ke bawah terekspos bebas di depan matanya. “Mas, ah, ampun, oukhh, aku nggak kuat, Mas, tolong,” lirih Rini seraya memukul genggaman tangan Fajar pada kedua sisi pinggang Rini. Fajar dengan sengaja mulai mengacaukan sisi depan area intim Rini, tangan yang satunya tidak lagi menahan pinggang Rini melainkan mencari buah kenyal yang kini bergetar hebat akibat dorongan yang Fajar lakukan. Fajar mendapatkan ujungnya dan mulai memilin sepuas hatinya. “Aaaakhhhhhh!” Rini menjerit, dia sampai. “Aku sangat mengenal sisi intim pada tubuhmu, dan pekikan barusan, terdengar sangat seksi dalam pendengaranku, aku ingin mendengarkannya lagi, sekali lagi,” pinta Fajar. Rini menggelengkan kepalanya, kedua kakinya sudah gemetar sejak meraih klimaks pertama. “Jangan Mas, ampun, aku oukh, nggak sanggup, ukh,” berulangkali Rini menggelengkan kepalanya. Dia ingin Fajar secepatnya berhenti tapi Fajar tidak mau dan terus mengerjainya. Pada akhirnya Rini memilih mematikan kompor dan membiarkan Fajar melakukannya hingga tuntas. Terakhir, Rini hanya bisa pasrah dengan tubuh bersandar di d**a Fajar. Tubuh atletis dengan kaos ketat yang membalut tubuh Fajar kini basah dengan peluh. Napas Fajar tersengal, keduanya tiba di puncak gairah bersamaan. Rini memutar badan menghadap Fajar, ditatapnya wajah dokter muda yang kini masih berusaha mengatur napas. Rini menatap penutup sisi intimnya yang sedari awal tergeletak di lantai, Rini membungkuk untuk mengambilnya lalu kembali memakainya. Dengan langkah pelan Rini pergi ke wastafel untuk mencuci kedua tangannya sebelum menyiapkan sarapan di meja makan. Fajar sepertinya tahu apa yang hendak dilakukan Rini, dia segera mencegah. “Biar aku saja, kamu duduk saja, lihat kakimu? Untuk jalan saja oleng,” sindir Fajar sambil tersenyum lantaran menyaksikan wajah Rini memerah sekarang. “Itu juga karena ulah Pak Fajar, karena Pak Fajar,” timpal Rini dengan nada sedikit jengkel. “Iya, iya, ayo ke ruang makan,” ajak Fajar. Rini masih duduk di kursi dapur. Jangankan berjalan ke ruang makan, untuk berdiri saja kakinya gemetaran. Fajar melihat Rini masih duduk di kursi dapur, Fajar tidak tega jadi dia segera mengangkat tubuh Rini dengan membopongnya menuju ke ruang makan. Rini menatap wajah Fajar begitu juga sebaliknya, Fajar tidak melepaskan pandangan matanya dari wajah cantik Rini yang kini tinggal dalam gendongannya. Sialnya tepat saat melewati ambang pintu dapur, Nuril masuk dari pintu samping. Mendengar suara langkah kaki Nuril, spontan Fajar melepaskan gendongannya pada tubuh Rini. Untuknya Rini berpegangan pada leher Fajar. Jika tidak, mungkin tubuh Rini saat ini sudah terjembab jatuh ke lantai. Nuril mendengar suara berisik, dan ketika tiba di ruang makan dia melihat Rini sedang merangkak di lantai dengan lap di tangan, padahal Rini melakukan itu karena kakinya sakit dan tidak bisa berdiri. Sementara Fajar sudah duduk di kursi meja makan menikmati menu paginya. “Rin?” panggil Nuril sambil menarik kursi dan duduk di sana. “Iya, Mi?” Rini dengan susah payah akhirnya berdiri dan berjalan pelan menghadap Nuril. Nuril tidak buta, dia tahu baju ketat Fajar basah kuyup dengan keringat. “Kalian main?” tanyanya langsung. Rini hanya menelan ludahnya, Rini tidak berani menjawab pertanyaan Nuril jadi Rini hanya menundukkan wajahnya. Nuril menatap Rini dengan tatapan tidak senang kemudian beralih ke arah Fajar di sebelahnya. Nuril dengan santai menarik daun telinga Fajar. “Aku sudah bilang sama kamu, kamu itu nggak boleh pakai Rini! Dengar nggak? Atau kamu mau aku pindahkan Rini?” ancam Nuril dengan penuh amarah. “Lihat, dia sampai nggak bisa jalan!” Fajar segera menepis tangan Nuril dari daun telinganya. “Aku nggak letoy! Itu survey yang sudah membuktikan semuanya!” omelnya dengan wajah bersungut-sungut. “Kalau begitu sekalian jadi gigolo saja di komplek! Biar ada gunanya kamu!” Kali ini Fajar memilih diam seribu bahasa, mana mungkin Fajar setuju untuk bekerja sebagai gigolo entah berapa pun uang yang Nuril tawarkan padanya. Rini memilih pergi meninggalkan ruang makan ketika Fajar dan Nuril masih sibuk meributkan masalah hubungan intim yang baru saja terjadi. Beberapa menit berikutnya Rini melihat mobil Fajar pergi meninggalkan kediaman, artinya Fajar sudah berangkat ke rumah sakit untuk bekerja. Rini mengambil sapu dari belakang rumah untuk membersihkan halaman depan, Kela menyusul dengan berlari kecil lalu duduk di teras rumah menunggui Rini. “Bu, kapan Kela sekolah?” Rini tidak menjawab pertanyaan Kela sampai dia selesai membersihkan halaman barulah Rini duduk di sebelah Kela. Rini menyatakan bahwa dia akan mengirim Kela ke sekolah asrama dan Kela tidak protes. Sepertinya Kela setuju-setuju saja melihat dari senyum cerah pada bibirnya. “Kela beneran mau di asrama?” “Iya, Bu, Kela mau!” Rini menganggukkan kepala lalu mengusap puncak kepala Kela, diraihnya Kela ke dalam pelukannya. “Setelah hutang kita lunas, Ibu akan beli rumah untuk tempat tinggal kita. Ibu juga akan memberikan pendidikan dari sekolah yang terbaik untuk Kela, Ibu janji!” ucap Rini pada Kela. Rini menyeka air mata pada kedua pipinya sendiri. Entah kenapa perasaan dalam hatinya sebenarnya enggan ketika harus berpisah dari Kela akan tetapi kondisi mereka saat ini mengharuskan Rini untuk bekerja agar hutang-hutang keluarganya pada Nuril bisa secepatnya lunas. Rini ingin selalu bersama Kela dan tidak berpisah lagi suatu hari nanti. Begitu banyak mimpi yang ingin Rini wujudkan di masa depan. Sekitar pukul satu siang Fajar sudah kembali ke rumah. Begitu melihat meja makan, menu makan siang sudah tersaji di sana. Fajar merasa sangat lapar, jadi dia tidak menunggu Nuril dan langsung menikmati makan siangnya. “Pasti Nuril juga lagi ngorok di dalam kamar, apalagi memangnya? Lalu bangun balik ke komplek, pulang pagi tidur lagi. Sore ke komplek lagi! Pekerjaan seperti itu apanya yang menyenangkan?” gumam Fajar pada dirinya sendiri. Setelah makan siang, Fajar lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam ruangan kerjanya. Klinik yang dibangun masih perlu renovasi di sana-sini. Fajar pikir setelah klinik miliknya jadi mungkin Rini bersedia membantunya di sana. Tapi sepertinya harapan itu mau tidak mau terpaksa harus dia kubur detik ini juga. Rini lebih suka cara cepat untuk melunasi hutang-hutangnya. Sore hari, Nuril kembali pergi ke komplek. Nuril tidak berkomentar ketika melihat Rini sedang membersihkan perabotan di ruang tamu. Semenjak Fajar pulang dari rumah sakit, Rini tidak melihat Fajar sama sekali. Pikirnya sore ini Fajar mungkin masih tidur di dalam kamarnya, jadi setelah menyiapkan makan malam untuk Fajar, Rini segera membersihkan tubuhnya. Itu pun dia lakukan setelah menyiapkan makanan untuk Kela juga. Rini masih merasa letih karena ulah Fajar pagi tadi, dan sekarang Rini rebah di atas ranjangnya. Tak lama kemudian Kela menyusul dan ikut tidur di samping Rini. Entah sudah berapa jam berlalu, ketika ia terjaga jarum jam di dalam ruang kamar itu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Rini beringsut bangun dan pergi ke kamar mandi yang ada di dekat dapur. Baru membuka pintu kamarnya Rini melihat Fajar sedang menikmati rokoknya di kursi beranda samping rumah. Fajar terlihat lelah, pria itu rebah di kursi panjang sambil merokok. Mendengar langkah kaki Rini keluar dari dalam kamar, Fajar segera menegurnya. “Rin?” Spontan Rini menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah Fajar. “Iya, Pak?” “Buatkan aku kopi,” perintahnya dengan suara pelan. Sekilas Rini melihat Fajar sudah hampir tertidur, kelopak matanya melambat dan rokok di antara jemari ramping Fajar hampir terjatuh ke lantai. Akan tetapi Rini tidak mau membantah perintah Fajar, jadi Rini tetap membuatkan kopi yang diminta Fajar barusan. “Ini Pak, kopinya,” Rini meletakkannya di atas meja kecil dekat sofa di mana Fajar sedang rebah. Fajar melihat Rini menaruh kopi, setelah itu Fajar menarik tangan Rini hingga Rini ikut rebah di kursi panjang bersama dengannya. “Astaga! Pak Fajar, bikin aku kaget saja,” Rini memukul d**a Fajar dengan pelan, sambil tetap merebahkan kepalanya pada d**a Fajar. Rini memilih tinggal dalam pelukan Fajar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN