Badai memperhatikan Jingga yang sedang terlelap. Wanita itu awalnya terlihat tidur dengan nyaman namun tidak lama butir keringat mulai membasahi keningnya. Badai menggeser posisi tubuhnya, mengusap pelan kepala itu namun bukannya mereda namun Jingga semakin terlihat gelisah.
"Jingga, hei." Mau tidak mau, Badai mesti membangunkan Kekasihnya ini.
Kekasih? Satu kata itu membuat Badai tersenyum. Dulu, saat mereka mengucap kata saling mencintai Badai belum bisa memberikan status pada Jingga. Saat itu Badai hanya berpikir sudah saling mengungkapkan saja kemajuan yang bagus. Badai bukan siapa-siapa saat itu, bahkan dengan kondisinya yang cacat tentu semakin membuat orang-orang memandangnya sebelah mata. Belum lagi kondisi ekonomi nya yang hanya anak beasiswa semakin membuat orang-orang menghujatnya. Badai menerima hinaan, ejekan, cacian dan sebagai lainnya namun yah memang seperti itulah dia. Seorang Badai Skala Praja tidak pernah ambil pusing dengan komentar orang lain. Baginya terserah mereka ingin melakukan tindakan apapun karena suatu saat dimana Badai mengamuk, dia akan menggulung mereka tanpa tersisa.
"T-tolong." Suara rintihan itu tentu membuat Badai khawatir.
"Jingga, bangun sayang."
"J-jangan." Kepala Jingga bergerak risau.
Badai mengguncang tubuh Jingga lumayan kasar hingga akhirnya wanita itu terbangun dengan mata menatap linglung langit-langit kamar. Tetesan air mata mengalir dari sudut matanya membuat Badai mengusapnya pelan. Mimpi itu lagi. Tidak bisakah Jingga tidur tenang? Baru kemarin dia merasakan tidur nyenyak dan malam ini kenapa harus mengalaminya lagi? Tangis Jingga pecah. Mimpi itu slalu menghantuinya. Rasa takut, sakit, khawatir, dan cemas akan di rasakan saat terbangun.
"Hei, nggak apa-apa." Badai memberikan usapan di punggung Jingga. Dia membiarkan kekasihnya menangis sepuasnya.
Badai belum sepenuhnya tahu tentang apa yang Jingga lewatkan. Cerita mereka menggantung di tengah saat keduanya memilih untuk menghabiskan waktu sekarang. Badai tahu ketakutan Jingga sangat beralasan. Xavier benar, seharusnya Badai bertindak cepat bukan membiarkan Jingga hidup di pusaran yang membuatnya semakin memperparah mentalnya. Seharusnya, kata itu dia ucapkan saat dulu.
"A-aku takut." Remasan di baju Badai mengencang.
Mimpi seperti apa yang Jingga alami sampai kekasihnya ini terlihat ketakutan? Bayangan tentang bagaimana dulu Jingga menangis di sampingnya, menceritakan tentang Keluarganya membuatnya menghela napas. Pasti, setelah keduanya berpisah Jingga mengalami kesulitan yang lebih parah.
"Nggak usah takut, ada aku disini."
Tidur larut sudah menjadi kebiasaan Jingga. Setelah pulang kerja, Jingga akan kembali melakukan kegiatan lagi untuk membuat tubuhnya lelah. Karena hanya itu satu-satunya cara supaya Jingga bisa tidur nyenyak. Bahkan saat pertama kali dia melarikan diri dari rumah, Jingga tidur hanya 1 jam sehari. Jingga harus berpindah tempat dan bersembunyi dari Keluarganya. Setiap tempat yang dia datangi mereka akan tahu dan berakhir Jingga harus berlari kembali.
"Minum dulu." Badai menyodorkan gelas pada bibir Jingga dan Jingga meminumnya perlahan.
"Kamu harus tenang, kamu nggak usah takut, ada aku disini." Bak seperti sebuah Mantra untuk Jingga. Ucapan Badai membuat Jingga perlahan mulai tenang.
Remasan di baju Badai perlahan mengendur dan tidak lama kesadaran Jingga mulai sadar. Jingga menatap mata Badai, tatapan itu tidak pernah berubah, tatapan khawatir. Jingga memejamkan mata sebelum kembali membukanya. Lelehan air mata mengalir dari sudut matanya yang mana Badai buru-buru menghapusnya.
"Mimpinya pasti jahat banget sampai buat kamu nangis gini."
Bukan mimpi nya yang jahat tapi orang-orang yang di dalam mimpi itu. Bukan hanya dalam dunia nyata saja tapi dalam dunia mimpi pun mereka terus membuat Jingga tersiksa. Jingga tidak pernah berharap dilahirkan dalam Keluarga Iblis seperti mereka. Jingga berharap jika Tuhan mencabut nyawanya, dia tidak ingin reinkarnasi. Sakitnya itu membuat Jingga tidak kuat menahannya.
"Badai."
"Hm."
"Aku ... aku nggak mau mereka tahu aku sama kamu. Aku nggak mau mereka pisahin kita kaya dulu, aku nggak mau."
"Nggak akan ada yang pisahin kita, percaya semuanya bakalan baik-baik aja."
"Aku takut dan aku nggak mau berurusan lagi sama masa lalu. Mereka jahat Badai, mereka slalu siksa aku." Badai tidak bisa menjanjikan sesuatu pada Jingga.
Cepat atau lambat masa lalu mereka pasti akan tahu jika Permata Jingga dan Badai Skala Praja kembali bersatu. Bagi Keluarga Jingga, bersatunya Badai dan Jingga itu adalah sebuah malapetaka. Seharusnya mereka tidak di pertemukan. Bukan mereka yang meminta di pertemukan tapi Takdir yang mempertemukan mereka berdua. Badai hanya bisa memberi pelukan untuk kekasihnya.
"Takdir gua begini banget, cuman karena gua jatuh cinta sama cewek sempurna rintangannya berasa bela negara."
"Kalian berdua itu udah punya Takdir yang Tuhan tuliskan. Jadi mungkin emang seharusnya jalan kalian begini." ujar Xavier saat itu.
"Takdir sih takdir tapi gua juga punya batas kemampuan." Badai juga hanya manusia biasa yang sering mengeluh tentang hidupnya.
"Setiap manusia itu punya tantangan tersendiri. Sebenarnya kalian berhak memilih sih, Lo mau lepasin Jingga atau berjuang, tergantung. Takdir kan nggak ada yang tahu juga gimana jalannya. Bisa aja di saat Lo lagi berjuang begini tiba-tiba hati Lo di gerakan buat jatuh cinta lagi sama cewek lain, kenapa nggak?" Bertukar pikiran dengan Xavier memang yang paling benar.
Xavier slalu saja memiliki solusi di setiap kali Badai mengalami overthing. Mereka bertemu di rumah sakit dengan sama-sama mengalami kecelakaan. Xavier mengalami kecelakaan akibat ulah sendiri sedangkan Badai tabrak lari. Badai duduk di kursi roda sudah hampir 2 tahun lamanya. Dokter mengatakan kakinya bisa sembuh kembali asalkan rutin untuk melakukan terapi. Namun setelah 1 tahun menjalani terapi, kakinya masih tetap sama. Badai menyerah, tapi saat itu Xavier mendatanginya, berkenalan dan memberinya semangat. Keduanya berakhir akrab, menghabiskan waktu di rumah sakit untuk saling bercerita. Hingga akhirnya sekarang mereka bersama-sama meraih masa depan masing-masing.
"Semesta jahat banget yah sama kita. Udah di pisahin lama, sekarang buat aku trauma kaya gini." ucapan itu membuat Badai menundukkan kepalanya.
"Jangan bilang begitu."
Jingga mendongak masih dengan lelehan air matanya. "Kenapa? Emang bener kan? Aku kalau semisalkan di takdirkan buat lahir kembali kayanya aku bakalan nolak. Aku percaya kalau reinkarnasi seseorang itu nggak akan beda jauh sama apa yang kita jalanin ini tapi beda jalan."
"Kamu nggak mau ketemu aku emangnya?"
"Nggak, cukup sekarang aja aku ketemu kamu dalam keadaan sulit kaya gini, aku nggak mau lagi, aku capek."
Badai menganggukkan kepala. Dia memahami kesulitan Jingga. Wajar Jingga mengeluh karena memang sudah sepantasnya. Siapapun yang berada di posisi Jingga mereka akan kembali berpikir. Apakah mampu? Apakah sanggup? Apakah kuat? Mungkin di luar Jingga terlihat sempurna namun saat dijalaninya Jingga saja mengeluh seperti ini. Menjadi Jingga itu berat, tidak semudah yang orang-orang pikirkan.
"Aku bilang capek bukan berarti aku nyerah. Aku cuman ngerasa lelah aja, trauma ku ternyata berkepanjangan."
"Maaf sebelumnya, apa kamu mau konsultasi sama psikiater?"
Lama sekali Jingga menjawab sampai dua kalimat itu membuat Badai semakin memeluknya erat. "Aku takut."
"Take your time, babe. Everything will be fine, I will always be by your side."
Badai juga tidak mungkin memaksa Jingga untuk menjalani terapi ini. Tidak mudah untuk mengutarakan isi hati pada seseorang, termasuk pada Dokter yang siap membantu. Jingga memiliki banyak teman pada masa itu. Teman yang slalu mendukung apapun yang dilakukan olehnya. Hingga suatu ketika Jingga di kejutkan dengan teman-temannya yang berkhianat, membuatnya terpuruk semakin ke dasar.
"Rasanya aku bener-bener muak sama mimpi ini tapi tolong yah, aku lagi berusaha buat sembuh dengan cara aku sendiri."
"Kenapa?"
Jingga kembali meremas baju Badai. "A-aku ... aku pernah di rawat di rumah sakit jiwa tapi aku nggak gila Badai. Mereka yang jahat sama aku, mereka kurung aku disana hiks."
Badai mendengar itu menggepalkan tangannya. Sialan! Bagaimana bisa mereka memasukan Jingga ke rumah sakit jiwa? Bodoh! Harusnya Badai berbicara dari hati ke hati lebih dulu bukan seenaknya seperti ini.
"Nggak, aku minta maaf, aku salah."
Jingga mengalami banyak trauma. Tinggal bersama dengan Keluarganya dan Felix membuat psikis Jingga rusak. Saat pertama kali Jingga diperkenalkan pada Felix, dia sudah menduga jika hidupnya akan semakin sulit. Benar saja, saat dimana Jingga di serahkan oleh Ayahnya pada Felix hidupnya semakin tertekan. Semua orang tidak ada yang mengulurkan tangannya untuk membantu. Semua orang memilih memalingkan wajah, membiarkan Jingga merangkak untuk sampai di garis. Baru setengah jalan merangkak tubuhnya sudah kembali di tarik ke garis yang dilaluinya. Lantas bagaimana Jingga bisa melewatinya? Disaat fisik dan mentalnya di permainkan.
Burung dalam sangkar terlihat amat cantik saat kita melihatnya dari sudut pandang sekitar tapi kita tidak pernah tahu dari sudut pandang burung itu sendiri. Apakah benar dia merasa nyaman? Apakah benar dia aman? Apakah benar dia merasa senang? Jingga terlahir menjadi burung dalam sangkar jadi dia tahu rasanya bagaimana.
"Kamu harus janji sama aku Badai. Apapun yang terjadi nanti, kamu harus tetap genggam tangan aku. Aku nggak mau sendirian, aku nggak mau mengemis buat minta uluran tangan dari orang lain yang bahkan nggak berani buat bantu aku."
"Aku akan slalu genggam tangan kamu, Jingga. Apapun yang terjadi nanti kita akan tetap sama-sama. Biarin aku yang tetap genggam tangan kamu, biarin aku yang mengulurkan tangan ini. Jangan mengemis buat minta uluran tangan, jangan biarkan tatapan mereka mengarah sama kamu karena kasihan. Kamu kalau mau apa-apa sama aku aja, karena kamu itu punya aku."
"Aku akan slalu pegang janji kamu Badai. Terima kasih karena kamu nggak pernah menyerah buat dapetin aku. Terima kasih karena kamu mau berjuang demi manusia sampah kaya aku."
"Jangan ngomong kaya gitu. Mungkin dulu aku pernah berpikir buat tinggalin kamu dan memilih berbalik arah tapi aku ingat kita punya janji buat sama-sama saling memiliki dan bahagia."
Yah, tahun ke-8 Badai pernah berpikir untuk menyerah. Dia memilih untuk berbalik arah meninggalkan Jingga namun lagi-lagi Xavier menggagalkan rencananya.
"Lo udah berjuang sejauh ini dan milih putar balik cuman gara-gara hal sepele? Keterlaluan sih menurut gua. Ngapain Lo ngesot dari awal sampai ke tengah, kalau ujung-ujungnya begini. Kalau udah nggak niat mending dari awal aja berhenti, jangan di tengah jalan begini."
"Tapi gua capek."
"Kalau capek yah istirahat bego bukan ngeluh."