Jingga menatap isi kulkas miliknya yang hanya tinggal sayuran. Menghela napas, sekarang masih pertengahan bulan namun dia sudah kehabisan stok makanan. Jingga menutup kembali kulkasnya lalu pergi ke kamar untuk mengambil jaket dan dompet. Jaket yang sudah usang itu Jingga pakai. Jaket yang tidak akan pernah bisa Jingga lepaskan dan tukar kan dengan apapun. Salah satu Jaket yang akan menjadi favoritnya seumur hidup.
Keluar dari rumah tidak lupa mengunci pintu Jingga pergi ke supermarket terdekat dari rumahnya. Dulu Jingga tidak perlu repot-repot untuk belanja. Tidak perlu repot-repot memikirkan bagaimana besok dia akan makan. Tidak perlu repot-repot jalan kaki hanya untuk mendapatkan sesuatu yang di inginkan. Dulu semuanya serba berkecukupan, sayangnya mental dia yang tidak dalam kondisi baik-baik saja.
Jingga duduk di halte, menunggu Bus yang akan membawanya ke supermarket. Sambil menunggu dia memasang headset untuk mendengarkan sebuah rekaman suara milik seseorang. Petikan gitar dan suatu lembut itu slalu menenangkan hatinya. Angin malam berhembus menerpa wajahnya. Senyum kecil tersungging di bibirnya, mendongak menatap bintang yang bertaburan. Alangkah indahnya jika kenangan 10 tahun lalu dia dapatkan sekarang. Hah, jika boleh memilih sekali saja Jingga menginginkan kembali terulang namun dengan kondisi yang baik.
Headset miliknya terlepas. Jingga terkejut dan reflek berdiri. Dia memandang sosok yang sekarang sudah tersenyum amat lebar padanya.
"Mas Reno? Mas Reno ngapain?"
Reno tertawa melihat wajah panik Jingga. "Nunggu om-om gua."
"Hah?"
"Becanda. Ngapain Lo di sini Jing?"
"Nunggu malaikat Mas."
"Buat apa?"
"Buat nyabut nyawa Mas."
"Buset Jing. Lo kalau becanda bener-bener ngeri yah."
"Yah Mas tau kalau saya duduk di sini ngapain."
"Kayanya gua salah nanya deh." Reno menggaruk rambutnya.
Jingga kembali duduk di samping Reno. Entah sedang apa Pria ini di daerah rumahnya yang pasti mereka itu tidak searah. Jingga menatap kembali ke depan, menunggu Bus di halte salah satu kegiatannya untuk pergi kemana-mana. Dulu Jingga pertama kali naik Bus rasanya tidak nyaman. Dia juga membayar dua kali lipat seperti argo taxi. Beruntung saat itu pemilik Bus nya begitu baik hingga mengatakan jika tarif Bus tidak terlalu mahal. Dari sana Jingga mulai mencari tahu sedikit demi sedikit hingga akhirnya dia menjadi terbiasa.
"Mau kemana?"
"Ke supermarket."
"Malem-malem gini?"
"Sekalian cari angin Mas." Kepala Reno mengangguk.
"Mau gua temenin nggak?"
"Emang Mas nggak ada keperluan?"
"Nggak. Gua emang baru pulang dari Senayan, nggak sengaja lewat sini terus ketemu sama Lo. Berhubung gua juga lagi gabut, mending ayo gua temenin." Jingga menatap Reno sebentar.
Ingin menolak namun ucapan seseorang di masa lalu kembali terngiang di ingatannya.
'Kalau emang ada yang nawarin bantuan dan kamu kenal orangnya, yah nggak apa-apa terima aja. Kamu itu butuh banyak temen, bukan musuh. Emang kamu mau hidup selama bertahun-tahun di benci semua orang?'. Kadang Jingga merasa memang dia terlalu tertutup pada orang lain. Jingga hanya takut, jika orang yang mendekati dirinya adalah suruhan orang di masa lalunya.
Reno menatap Jingga, perempuan ini terlihat tidak baik-baik saja. Tatapannya seakan waspada jika melihat banyak orang memperhatikannya. Reno merasa memang ada yang Jingga sembunyikan. Perempuan secantik, sepintar Jingga mana mungkin dari keluarga biasa-biasa saja. Sudah dari beberapa Minggu ini Reno memperhatikan. Attitude Jingga begitu baik, tutur katanya pun bukan dari kalangan sepertinya. Namun yang membuat Reno aneh, Jingga lebih banyak mengurung diri di balik konter dari pada mencoba bersosialisasi dengan orang kantor.
"Mas nggak masalah emang nemenin saya?"
"Gua kan yang nawarin, yah berarti nggak apa-apa."
"Ya udah."
"Oke." Reno bangkit berdiri lalu melangkah ke arah motornya.
Jingga mengerjap. Dia menatap motor besar milik Reno dengan meneguk ludah. Haruskah Jingga naik motor ini bersama dengan Reno? Jujur Jingga tidak pernah naik motor, dia lebih banyak menghabiskan waktu selama 10 tahun ini memakai kendaraan beroda empat. Ini bagaimana cara naiknya? Kalau dia jatuh pasti sakit sekali.
Reno yang sudah naik ke atas motor menatap Jingga yang masih duduk di halte. Dia menatap motonya, apa Jingga tidak suka naik motor? Yah maaf, maaf saja, Reno ini hanya orang golongan tengah kebawah, mana punya mobil dia. Beruntung Reno memiliki motor ini hasil taruhan balapan liar beberapa tahun lalu. Yah Reno mana mampu beli motor puluhan juta. Kalau pun Reno memilikinya, dia harus berpikir ulang karena ini gaji 3 tahunnya.
"Jing ayo."
"Hah ... oh iya Mas." Jingga bangkit, mendekat ke arah Reno.
"Nih pake helmnya."
Jingga meringis namun dia tetap menerima sodoran helm. Ini juga bagaimana cara pakainya? Jingga memperhatikan Reno yang sedang memakai helmnya dengan seksama. Kepalanya mengangguk. Jingga tidak butuh waktu lama untuk belajar karena otaknya dengan cepat menangkap. Setelah di rasa aman sekarang Jingga bingung cara naiknya bagaimana?
"Lah, kenapa lagi? Naik."
"Mas?"
"Hm."
"Cara naik motornya gimana?" Reno menganga mendengar ucapan Jingga.
"Lo ... Lo serius nggak tau caranya naik motor?" Kepala Jingga menggeleng.
"Oh good!" Baru kali ini Reno berteman dengan orang lain tapi dia tidak tahu caranya naik motor.
"Lo nggak pernah naik motor?" tanya Reno lagi. Dan kembali kepala Jingga menggeleng.
Baiklah memang sepertinya Jingga bukan anak sembarangan. Entah apa yang terjadi pada Jingga di masa lalu tapi Reno akan membantu wanita ini untuk beradaptasi dengan baik. Tidak mungkin kan Jingga terus-menerus seperti ini. Reno sebagai teman yang baik akan membimbing Jingga supaya menjadi pro. Kalau perlu Reno juga akan memberikan ajaran untuk bagaimana bertahan diri dan belajar naik motor.
"Ya udah sini." Reno mengulurkan tangannya.
Jingga menerimanya. Jantungnya berdebar, merasa takut jika dia akan terjatuh dari motor besar ini. Namun saat tangannya memegang tangan Reno, pria itu seakan memberikan pernyataan jika dia akan baik-baik saja. Tatapan Reno begitu tulus, tidak terlihat ada niatan jahat. Reno dan Ian memang dua pria baik yang slalu membantunya. Jingga tersenyum kecil, semoga saja sekarang dia tidak salah memilih teman.
"Nih naik ke pijakan kakinya." Dengan arahan Reno, Jingga melakukannya dengan baik hingga akhirnya dia sekarang sudah duduk dengan baik.
"Nyaman nggak?"
"Nyaman Mas."
"Bagus. Sekarang pegangan yah." Jingga memegang jaket Reno erat.
"Haha tenang, tenang gua nggak bakal bawa motornya ngebut kok." Jingga tersenyum malu lalu mengendurkan pegangannya.
Reno menyalahkan motornya lalu meninggalkan Halte bus. Angin malam menerpa wajah keduanya. Jingga merasakan perasaan tenang saat motor melaju. Kenapa rasanya begitu menyenangkan? Dulu kemana saja dia sampai tidak tahu rasanya jika menaiki motor ini membuatnya lebih tenang. Banyaknya kendaraan di kanan kiri membuat leluasa bisa dengan jelas melihat interaksi mereka yang berkendara roda dua. Jingga ikut tersenyum melihat satu pasangan yang ada di samping kanannya. Mana pernah dulu Jingga merasakan itu bahkan mungkin sekarang juga.
Reno menatap Jingga dari kaca spion. Terlihat jelas dari pipi Jingga yang bersemu merah. Akhirnya, wanita ini tidak terlihat begitu pucat. Benar yang Ian katakan, Jingga terlahir dengan inner beauty yang luar biasa. Energi positif begitu terlihat jelas. Jika di ibaratkan Jingga itu sebuah bunga di antara banyaknya bunga namun hanya dia yang menjadi pusat perhatian.
***
"Awas hati-hati." Jingga tertawa pelan, tangannya memegang tangan Reno erat.
Dasarnya orang memang terkadang sering membuat spekulasi sendiri. Mereka yang ada di sekitaran sana tentu saja mengira jika Reno dan Jingga adalah satu pasangan yang sedang di mabuk asmara. Padahal yang sebenarnya terjadi tidak seperti itu. Banyak yang memperhatikan mereka dan hal itu tentu membuat Jingga langsung bersembunyi di belakang tubuh besar Reno.
Reno yang melihat Jingga bersembunyi di belakang tubuhnya menatap sekitar. Dia lalu meraih Jingga ke dalam rangkulannya yang membuat Jingga terkejut dan hampir melepaskan rangkulan itu. Namun dia menahannya saat Reno mengusapnya, usapan ini membuat Jingga kembali teringat.
'Jangan nangis. Jangan takut. Usapan ini akan slalu ada buat kamu, di kala kamu ngerasa semua orang mulai jahat. Nggak apa-apa biarin mereka anggap kamu jahat karena nyatanya nggak kaya gitu'
Mata Jingga berkaca-kaca namun dengan cepat dia mengusapnya. Tidak. Jangan membuatnya terlihat lemah. Cukup masa lalunya membuat Jingga seperti itu. Jingga menarik napas lalu menghembuskan napas pelan. Anggap saja, masa lalu itu hanya acuan nya untuk tetap melangkah.
"Kadang tatapan orang yang bikin kita risih karena pasti ada ke salah pahaman. Tapi nggak apa-apa, biarin mereka berspekulasi sendiri." ujar Reno yang sekarang mereka sudah melangkah.
"Mas nggak risih?"
"Nggak. Ngapain harus risih? Itu artinya emang gua punya pesona kuat." Jingga tertawa kecil.
Reno menepuk kepala Jingga membuatnya kembali terkejut. Sungguh perlakuan Reno membuatnya slalu terkejut. Ian mengatakan Reno mungkin terlihat urakan namun perlakuannya akan membuat siapapun luluh padanya. Inilah alasan kenapa Reno sering di cap playboy. Memberi harapan ujar perempuan namun nyatanya bagi Reno hanya memberikan afeksi sebagai seorang teman.
"Nggak usah terlalu percaya diri deh Mas."
"Loh, orang kalau nggak punya kepercayaan diri sampai kapan pun nggak akan bisa maju, Jing. Percaya diri juga masih dalam tahap yang wajar tapinya. Jangan karena terlalu percaya diri sampai buat malu diri sendiri."
"Iya bener Mas." jawab Jingga pelan.
"Sekarang tuh jangan terlalu mikirin ucapan orang lain. Orang mau hujat kita tapi nggak tau apa yang terjadi ya udah biarin. Semisal, kita punya salah di masa lalu, kita perbaiki diri dulu aja, setelah nanti semuanya udah siap baru deh kita bisa hadapi secara baik."
"K-kalau semisalkan seseorang ini nggak mau lagi ada hubungan sama Masa lalu gimana Mas?" Reno mengerutkan keningnya dengan pertanyaan Jingga. Namun dia tahu situasi ini tidak baik untuk di bahas.
"Berdoa, supaya lo lebih bahagia di masa depan sekarang, supaya nanti saat Lo ketemu masa lalu itu, lo udah nggak ada beban, takut, resah atau apapun itu."
"Tapi kalau kita yang buat salahnya gimana?" Reno menatap Jingga yang tubuhnya lebih mungil di banding dirinya.
"Kita masih punya satu kesempatan untuk memperbaikinya." Jingga terdiam.
Satu kesempatan? Apa Jingga bisa mendapatkan satu kesempatan itu? Jingga berharap jika memang Tuhan memberikannya satu kesempatan lagi, dia ingin mendapatkannya. Satu kesempatan yang akan Jingga simpan baik-baik untuk tidak melakukan hal yang sama. Satu kesempatan yang akan menentukan bagaimana langkah masa depannya. Jingga berharap, saat nanti bertemu dengan masa lalunya, satu kesempatan itu bisa di berikan padanya. Untuk sekarang Jingga hanya menginginkan yang terbaik supaya persembunyiannya selama 10 tahun ini tidak berakhir sia-sia. Hanya itu.