Badai Di Langit Jingga 4

1561 Kata
"Jing kok ini asem yah kue nya?" Reno melepehkan kembali kue yang sudah di makannya. "Mas! Itu kue beberapa hari yang lalu." "Heh! Seriusan Lo?" "Iya Mas." Reno melempar Kue yang ada di tangannya ke dalam tong sampah. Membuka kulkas lalu menegak air langsung di dalam botolnya. Jingga meringis, dia lupa untuk membuang beberapa kue yang di buatnya. Jingga tahu Reno dan Ian tidak terlalu menyukai makanan manis makanya dia simpan saja di dalam kulkas. Namun entah bagaimana bisa hari ini Reno begitu saja memakan kue tanpa bertanya terlebih dulu. Biasanya jika memang ada sisa makanan, mereka akan membawanya pulang atau paling tidak di bagi-bagi pada karyawan yang akan lembur. "Kenapa nggak Lo buang sih Jing?" "Maaf Mas. Harusnya emang 3 hari yang lalu kue nya udah saya buang tapi saya lupa." Mata Reno membulat, "3 hari?" Kepala Jingga mengangguk. Reno meneguk ludah. Apa dia akan baik-baik saja? Demi apapun Reno sudah makan setengah kue nya. Bodohnya dia, seharusnya tadi bertanya lebih dulu bukan langsung comot saja. Dan lagi rasanya sudah beda tapi tetap kekeuh di makan. Salah Jingga juga, setiap kue yang di buatnya memang slalu unik hingga lupa mana yang memang sudah kadaluwarsa dan baru. Masalahnya saat itu Jingga pernah membuat Kue dari buah dan rasanya memang asam namun enak di lidah, hingga beberapa karyawan pun meminta tambah. Maka dari itu Reno pikir kue nya memang terbuat dari buah tapi ternyata memang sudah 3 hari yang lalu. Reno rasa setelah ini dia pasti akan masuk rumah sakit. Ini setengah kue yang di konsumsi masalahnya. "Kenapa Lo, No?" Ian datang dari belakang membawa beberapa kresek. "g****k. Kenapa Lo nggak bilang kalau kue nya kadaluarsa bodoh?" "Loh, Lo makan kue nya?" "IYA!" "Hahahahahahha." Ian tertawa begitu amat puas. Tidak habis pikir, bagaimana bisa Reno begitu bodohnya memakan makanan yang sudah basi. Padahal Reno sudah memberi tahu tadi sebelum membuang sampah jika ada beberapa bahan yang tidak layak konsumsi. Memang Reno tuh begitu, masuk telinga kanan keluar teling kiri. Sehari saja membuat keputusan untuk dirinya sepertinya tidak bisa. "Nggak usah ketawa Lo, kalau gua masuk rumah sakit tanggung jawab." Jingga yang mendengar itu menatap Reno. "Tenang aja Mas kalau ada apa-apa hubungi saya aja." "Nggak usah di dengerin dia mah, Ga. Seharusnya Lo bilang aja tadi itu Kue emang asem biar sekalian akhlak dia ikut kesedot." "Kurang ajar Lo." Seketika dapur ricuh dengan kegaduhan dua pria dewasa itu. Jingga terkekeh melihat kelakuan keduanya. Mereka sudah lama bersama, tentu saja Chemistry mereka sudah terjalin baik. Dulu Jingga pernah mengalami hal yang serupa, bahagia bersama dengan teman-temannya walaupun akhirnya harus di tinggalkan. Dulu Jingga memang mencari teman yang memiliki status sosial yang sama tingginya. Setidaknya sekarang dia beruntung bisa mencari tahu mana teman baik dan tidak. Tidak memandang status sosial temannya. Jingga menatap dirinya di kaca. Jingga ingin sekali menertawakan dirinya di masa lalu. Begitu naif dan bodoh. Begitu jahat sampai membuat seseorang terluka olehnya. Jingga mengusap wajahnya. Gara-gara wajah ini semuanya berakhir mengenaskan. Terlalu diperdaya membuat dia menjadi manusia tidak memiliki hati. Jingga menghela napas, baiklah. Untuk sekarang memperbaiki diri salah satu cara membuatnya melupakan sejenak masa lalunya. Itu hanya masa lalu bukan? Masih ada masa depan yang menantinya. Teruntuk bagaimana takdirnya ke depan semoga saat itu Jingga sudah bisa menerimanya. Lebih tepatnya sudah kuat untuk bertahan di kedua kakinya. "Oh iya Jing, nanti malem mau ikut nggak?" Jingga menatap Reno yang sekarang duduk di depannya. "Kemana Mas?" "Kemana-mana hati Lo seneng aja." "Lo nggak usah modusin anak orang No." ujar Ian yang sibuk membereskan alat-alat yang di pakainya. "Mana ada gua modusin si Jingga. Gua cuman mau ngajak pergi aja, dari pada di rumah nggak ada kegiatan kan." Jingga menatap Reno. Niat pria itu baik mengajaknya pergi tapi jujur Jingga belum bisa berpergian secara bebas. Ada banyak sekali ketakutan dalam dirinya. Jingga takut Reno membawanya ke tempat yang bisa di akses dan membuatnya kembali pulang dalam keadaan belum siap. Jingga takut jika mereka mengetahui keberadaannya akan ada banyak konsekuensi yang di terima olehnya. Jingga belum siap. "Nggak. Pokonya aku nggak mau." ujar Jingga sambil menutup kupingnya. Reno dan Ian menoleh bersamaan saat mendengar suara Jingga yang bergetar. Keduanya bangkit memperhatikan, Jingga menutup kedua telinganya, kepalanya menggeleng ribut, bibirnya terus berucap tidak. Sekarang Reno mengerti, ada sesuatu yang terjadi pada Jingga. Ada sesuatu yang membuat perempuan itu merasa ketakutan. Jingga terlihat bukan dari kalangan biasa, tatapan itu terkadang angkuh namun tiba-tiba berubah sayu seakan ada sesuatu yang mengontrol perasaannya. "Jing kalau Lo nggak mau nggak apa-apa, gua nggak maksa kok." Panik. Jingga tersadar saat mendengar suara Reno masuk ke gendang telinganya. Kedua tangan yang menutup telinganya terlepas. Jingga mengangkat kepalanya menatap Reno dan Ian bergantian. Kedua pria itu menatapnya dengan tatapan khawatir. Tangannya di genggam dengan tangan satunya untuk tidak bergetar. "M-maaf Mas, s-saya ke kamar mandi dulu." Saat berdiri tubuh Jingga hampir saja terjatuh namun dia buru-buru membenarkan langkahnya. Jingga berlari ke kamar mandi. Takut, cemas, khawatir itu slalu menjadi momok menakutkan untuknya. 10 tahun tidak akan membuatnya melupakan semuanya. Ibarat kata, hujan mungkin akan dengan mudah menghapus jejak namun sebuah tanda tidak akan mudah untuk di hilangkan hanya sekali guyuran hujan. Begitu pun yang Jingga rasakan sekarang. Semuanya terasa tidak mungkin untuknya bangkit namun seharusnya ini sudah waktunya dia bisa mengalihkan rasa resah itu. Menghilangnya Jingga membuat Reno dan Ian duduk. Beruntung hari ini pekerjaan mereka sudah selesai, mereka hanya tinggal beres-beres saja dan setelah itu pulang. "Lo ngerasa nggak sih kalau ada sesuatu tentang Jingga?" tanya Ian. "Iya ngerasa. Sejak awal dia kerja disini, gua merhatiin kaya ada sesuatu yang buat dia ketakutan, cemas, khawatir. Setiap ada karyawan yang makan, dia nggak mau langsung berhadapan." "Lo merhatiin dia secara detail?" "Entah kenapa gua ngerasa punya firasat buruk tentang Jingga." "Maksud Lo dia cewek jahat?" "t***l, bukan itu maksud gua goblok." Kadang-kadang di saat seperti ini otak Ian tidak bisa berfungsi. "Sabar, sabar, tenang, nggak usah ngegas juga. Sebenarnya gua juga sempet merhatiin sih, Jingga itu gimana yah anaknya. Dia tuh kaya pengen buka diri tapi waktu dia mau buka diri ada sesuatu yang buat dia balik mundur." "Dia nggak mudah buat percaya sama orang." "Bener." Jingga, perempuan itu banyak misteri yang dia tutupi. Bukan maksud Reno ingin tahu kehidupan Jingga namun entah kenapa ada sesuatu yang membuat hatinya bergerak untuk mencari tahunya. Tatapan itu terlihat tidak baik-baik saja. Tatapan yang seakan mengatakan jika dia kuat menghadapi cobaan itu namun saat ada kata yang di ucap seketika membuat tatapan itu penuh keraguan. Jujur ini bukan Ian untuk mencampuri urusan orang lain. Namun mendengar komentar dari Reno membuatnya ikut kepikiran. Jingga, sebenarnya perempuan itu siapa? Kenapa dia begitu enggan untuk menjadi pusat perhatian? Seharusnya di jaman sekarang memiliki wajah cantik di manfaatkan. Terutama memiliki kelebihan pasti orang-orang akan dengan cepat menyadarinya. Ian perhatikan, Jingga perempuan yang gampang belajar. Sekalinya di beri arahan dia akan dengan mudah mencerna nya. Jika di bilang Jingga itu seorang introver rasa-rasanya tidak. Jika di bilang ekstrover pun tidak juga. "Kalau tanya langsung gua yakin Jingga bakalan ngejauh." Plak Ian memukul kepala Reno menggunakan nampan di depannya. "Mikir g****k. Lo nanya begitu sama aja cari mati. Bukannya nyelesaikan masalah malah bikin masalah." Reno mengusap kepalanya. Sial! Ian jika memukul memang tidak pernah segan. Apapun yang ada di hadapannya pasti akan di layangkan. Beruntung bukan pisau yang ada di depannya, jika benda itu melayang bisa nyawanya yang hilang. "Di banding nerka-nerka juga percuma Ian." "Yah kita bisa perhatiin Jingga tapi jangan terlalu kentara banget." "Harus banget yah kita perhatiin dia?" Ian siap kembali melayangkan nampan namun Reno buru-buru bangkit dan melangkah menjauh. Bertahun bersama memang mereka sudah tahu satu sama lain sifatnya. Suara tawa keluar dari mulutnya, wajah Ian jika sedang ikut berpikir lucu sekali. Terlihat begitu serius, seakan ada peperangan di depan matanya. Padahal ini masalah ringan menurut Reno, tidak perlu tergesa, mereka satu ruangan dan itu akan lebih mudah untuk bekerja sama. Yah setidaknya mengatasnamakan kerjasama lebih mudah untuk memperhatikan Jingga. Jingga mengusap wajahnya. Tangannya masih bergetar. Dia menyalahkan kran air supaya tidak ada orang yang curiga. Jingga menutup telinganya, kenapa? Kenapa suara itu terus terngiang? Kenapa rasanya sakit sekali? Tidak. Jingga tidak ingin mendengarnya. Jingga ingin hidup sesuai aturannya. Jingga ingin bebas melangkah seperti layaknya seekor kupu-kupu yang melayang bebas dan hinggap dimana saja. Jingga ingin menghirup udara secara rakus tanpa takut setiap hembuskan napas itu membuatnya sesak. Jingga tidak mau itu terjadi. "T-tolong." Jingga terduduk. Dia menutup kupingnya saat teriak-teriakan keras itu semakin aktif. Kepalanya menggeleng. Jingga harus menahan rasa itu. Dia sudah bisa melewati 10 tahun dengan hidup bersembunyi. 10 tahun sudah dia habiskan untuk merawat dirinya dari rasa takut itu. Namun ternyata 10 tahun tidak membuatnya bisa sembuh begitu saja. 'Seperti nama kamu Permata Jingga, kamu akan slalu berkilau di hadapan banyak orang. Kamu akan menarik mereka untuk menciptakan indahnya dunia. Jangan takut Permata, kamu layak mendapatkan kasih sayang itu. Jika pun orang-orang itu tidak menginginkanmu, ada aku, laki-laki yang tidak sempurna ini bersamamu' Bisikan itu hadir begitu saja. Bisikan yang slalu menenangkan di kala rasa takut itu hadir. Nafas Jingga mulai teratur, dia berharap rasa itu hilang dengan cepat. Sakitnya begitu membuatnya tersiksa. Kesalahan yang diperbuatnya di masa lalu berakibat fatal pada mentalnya. Harusnya Jingga berobat namun dia tidak bisa. Takut, semakin dia membuka diri, semakin orang-orang di masa lalunya menemukan keberadaan dia. Jingga tidak ingin kembali pulang ke rumah yang penuh dengan Setan. Hanya keberuntungan yang bisa membuatnya selamat kali ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN