Badai Di Langit Jingga 5

1790 Kata
Tepat 3 bulan Jingga sudah bekerja di perusahaan PT. Bangun Raharja. Semua karyawan di kantor sudah tahu siapa Permata Jingga, bahkan sekarang dia sudah menjadi primadona di kantin. Kantin yang dulu hanya di isi setengah karyawan sekarang penuh sesak membuat ruangan yang terlihat besar itu tak bisa menampung semua karyawan. Di saat semua karyawan berlomba-lomba untuk mengenalnya, di saat itu juga Jingga melangkah menjauh. Jingga bahkan sampai meminta Ian dan Reno untuk membantunya supaya orang-orang itu tidak melebihi batasannya. Reno dan Ian sampai di buat heran dengan tingkah Jingga yang menolak keras untuk bersosialisasi dengan karyawan di kantor. Jingga tidak ingin membuka diri untuk orang-orang yang mau berkenalan. Jingga tidak ingin membuat beberapa pria berharap lebih padanya. Jingga bekerja di sini untuk menyambung hidup, tidak ada niatan sama sekali mencari sosok untuk menemaninya hidup. Jingga terdiam diri di pojok dapur, duduk sendirian dengan pandangan kosong. Reno mendekat, menarik kursi lalu duduk di hadapan Jingga. 3 bulan Reno mengenal Jingga, wanita ini begitu baik, perhatian, dan tidak banyak tingkah. Semenjak Jingga hadir, kantin semakin ramai di kunjungi para karyawan laki-laki yang masih singel. Reno pun sampai di buat takjub melihat aksi para karyawan di kantor ini. Sejujurnya masuk ke kantor ini bukanlah hal mudah, bukan hanya karena sudah tersohor tapi juga semua orang tahu jika gaji yang di dapat dua kali lipat lebih besar dari gaji perusahaan lainnya. Reno bekerja di tempat ini sudah lumayan lama, dia sudah tahu siapa saja orang-orang yang ada di gedung ini. Orang-orang yang mendekati Jingga bukanlah pria sembarangan, mereka memiliki jabatan yang membuat wanita mana pun pasti akan tergiur saat mendengarnya. Tetapi Jingga berbeda, wanita itu malah mundur selangkah demi selangkah lalu berbalik arah menjauh. Jika Reno seorang wanita dia akan mencari sosok pria idamannya. "Jingga?" Jingga mengerjap lalu mengangkat kepala, matanya bertemu dengan mata Reno. "Kenapa Mas?" "Gua mau tanya sama Lo." "Tanya apa?" "Kenapa Lo nggak mau nerima Mas Wisnu? Di sini Mas Wisnu udah punya jabatan tinggi loh, Jing." Jingga menghela napas. "Kalau begitu, kenapa nggak Mas saja yang nerima Pak Wisnu?" Mata Reno membulat, "Mana bisa? Kalau gua cewek pasti gua embat." "Itu artinya Mas Reno tipe manusia matre." "Hei, semua manusia juga kalau liat uang ujung-ujung Matre. Semua manusia itu munafik cuman cara kerja mereka aja yang beda." ujar Reno membela diri. Jingga tersenyum, "Mas tahu, saya pernah ngalami ada di posisi itu. Mencintai uang mereka tanpa memikirkan cinta yang akan saya dapatkan. Saya pernah mengalami hal yang lebih buruk dan saat keburukan saya mulai terbongkar rasa malu akan Mas rasakan. Bukan hanya rasa malu tapi rasa kecewa, kenapa kita baru sadar setelah semuanya terlambat." Reno menatap mata Jingga yang terlihat terluka. Ada apa dengan wanita ini? Kenapa dari tatapannya terlihat begitu putus asa? Jika Jingga pernah mengalami hal yang dia ceritakan, otomatis ada sesuatu yang terjadi di masa lalunya. Masa lalu yang berat sampai perempuan ini tidak ingin membuka diri. Dengan bantuan yang Reno tawarkan saja terkadang Jingga akan berpikir dua kali. Reno menepuk bahu Jingga membuat wanita itu terkejut. "Itu hanya masa lalu, nggak ada salahnya sekarang Lo berubah. Mungkin memang sulit buat jalani hari baru tapi percaya deh Tuhan pasti ngasih kebahagiaan buat kita dengan cara yang beda, tugas kita cukup berusaha dan menantinya kapan waktu itu tiba." Walaupun Reno orang yang usil tapi dia yang slalu memberikan solusi ringan untuk di cerna. Selama 3 bulan mengenal Reno, setidaknya sudah banyak sifat yang Jingga ketahui. Mungkin Reno terlihat berantakan, tidak terurus tapi di balik itu semua ada perjuangan yang membuat Jingga salut pada pria dewasa itu. Reno lebih mementingkan keluarganya, dia menjadi tulang punggung bagi kedua adiknya yang masih sekolah, di saat Ian sudah memiliki pendamping hidup, Reno lebih memilih menyendiri menanggung beban adik-adiknya. Jika saja dulu pikiran Jingga sedewasa Reno kejadiannya tidak akan semenyakitkan ini. "Terima kasih Mas." Reno menepuk bahu Jingga kembali lalu pergi berlalu. Jingga mengusap wajah, dia sepertinya harus membasuh muka. Bangkit dari duduk, Jingga pergi ke toilet yang ada di lantai 3. Toilet akan menjadi persinggahan Jingga selama bekerja disini. Mendadak toilet di kantin rusak sedang dalam perbaikan. Setiap langkah yang Jingga pijak, seperti ada beban yang menumpuk di kedua bahunya. Jingga menarik napas, mencoba mengusir semua beban itu. Tatapan mata yang menyiratkan akan luka membuat hatinya teriris. Tatapan mata itu yang sempat membuat Jingga terlena, membuat Jingga menyadari arti hidup. Tubuh Jingga hampir limbung jika dia tidak memegang pembatas tangga. Jingga memukul dadanya, rasa sakit itu kembali hadir membuatnya menghentikan langkah dan terjatuh. "Aku menyesal, aku benar-benar wanita pengecut." Jingga bergumam lirih di tangga yang sepi itu. "Kenapa? Kenapa kamu melakukan ini padaku?" "Aku nggak ada pilihan, aku minta maaf." Jingga menangis, bayangan itu semakin lama semakin membuatnya sesak napas. Jingga menarik napas, dia membutuhkan udara untuk menenangkan hatinya. Dengan usaha, dia berdiri menopang tubuh dengan meraba dinding. Jingga mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan pelan. Berapa lama lagi dia akan menderita akan perasaannya? Berapa lama lagi Tuhan menghukumnya? Berapa lama lagi dia harus menahan sakit ini? Di lantai 4 ada balkon kecil tempat dimana beberapa Karyawan laki-laki merokok, ini sudah pukul 15.20 pasti tidak akan ada siapa-siapa disana. Jingga menarik napas kembali, mengusir rasa sesak di dalam hatinya. Jika saja Tuhan memberikan satu lagi kesempatan, Jingga tidak akan menyia-nyiakan lagi kesempatan itu untuk merubah diri menjadi lebih baik. Jingga membuka pintu Balkon, perusahaan ini terbilang cukup unik. Mungkin jika Jingga memiliki waktu dia akan berkeliling melihat keadaan di kantor ini. Jingga menghentikan langkah saat melihat seorang pria duduk termenung di kursi, dia mengigit bibir bawahnya. Jingga pun membutuhkan udara tapi melihat ada orang yang duduk disana membuatnya dilema. Dengan sangat hati-hati Jingga melangkah, lalu terdiam diri di pojokan untuk menetralkan perasaanya. Jingga menatap ke arah depan sana yang menampilkan gedung-gedung tinggi menaungi kota tempat dia tinggal. Kota ini bukan tempatnya dilahirkan, Jingga korban pelarian dari masa lalunya. "Siapa kamu?" Jingga terkejut saat mendengar suara berat itu, dia memandang punggung pria itu yang masih menatap ke arah depan. "S-saya karyawan disini, Pak?" "Di Bagimana mana kamu bekerja? Kenapa kamu bisa seenaknya diam disini?" "S-saya di bagian kantin Pak." Jingga mengatakannya dengan takut-takut tapi tidak di sangka-sangka kepala pria itu langsung menoleh membuat Jingga hampir berteriak. Jingga menutup mulutnya saat melihat siapa orang ada bersamanya. Matanya berkaca-kaca, tidak mungkin. Bagaimana bisa? Jingga memundurkan langkahnya, perasaan itu nyata di rasa olehnya. Perasaan dulu kembali hadir saat melihat sosok itu ada di hadapannya. "Jingga?" Suara itu? Jingga menggelengkan kepala. "Ya Tuhan akhirnya aku menemukanmu." Jingga semakin melangkah mundur menjauh. Ini mimpi kan? Tolong, jika ini mimpi bangunkan dia segera? "Jingga aku mencari mu, kemana kamu pergi selama ini?" Jingga tidak tahan, dia membalikan tubuhnya lalu melangkah. "Jingga tunggu?!" Jingga tidak memperdulikan panggilan itu. Kenapa Jingga harus bertemu dengannya? Baru beberapa menit yang lalu dia mencoba menguasai hatinya tapi sekarang bayangan yang slalu menghantui setiap langkahnya ada di depannya, nyata. Tatapan itu masih sama, padahal Jingga sudah membuat sebuah luka di hati keduanya. "Jingga?!" Bruk! Suara itu membuat langkah Jingga berhenti, dia membalikan tubuh lalu membulatkan mata melihat sosok pria itu terjatuh. "Badai?!" Jingga berlari menghampiri pria itu. "Kamu nggak apa-apa kan? Nggak ada yang luka kan? Gimana bisa kamu ada disini?" Jingga bertanya dengan nada beruntun. Saat Jingga akan membantu untuk berdiri, lengannya di tahan. Jingga menatap mata coklat itu yang juga menatap manik matanya. "Aku menemukanmu, Jingga." Jingga memutuskan tatapan mata mereka. "Kamu bilang, kalau aku menemukanmu aku akan mendapatkan kamu kembali." Jingga mengigit bibir bawahnya. "Bertahun aku mencari mu Jingga dan sekarang doa ku terkabulkan." Jingga mencoba melepaskan tangannya. "Nggak Jingga, kamu udah nggak bisa lari lagi dari aku. Sekuat kamu hindari aku, jika Tuhan mentakdirkan kita bersama kamu bisa apa?" "Tolong lepasin aku." Bisik Jingga lirih. "Aku nggak peduli dengan masa lalu kita dulu, aku nggak peduli sama ucapan kamu yang nyakitin aku, nyatanya aku nggak bisa lupain kamu, cinta ini nggak bisa di hapuskan." Jingga tidak bisa lagi menahan rasa di hatinya, dia menoleh lalu memeluk sosok yang di rindukannya dengan erat. "Maafin aku Badai. Aku bener-bener perempuan yang nggak tahu malu. Kamu bener, bukan cuman kamu aja yang masih memiliki perasaan cinta itu, aku pun masih memilikinya sampai sekarang." Jingga menangis. Apakah Tuhan sudah merencanakan ini semua? Apakah Tuhan memang mentakdirkan mereka untuk bersama? Dulu, Jingga mati-matian melepaskan orang yang di cintai nya hanya karena permasalah yang terjadi pada keluarganya. Dulu, Jingga berusaha untuk melupakan rasa cinta yang hadir di hatinya namun semua itu tidak mudah. Pria yang bernama Skala Badai Praja sudah terukir indah di hatinya. Pria yang sudah menyadarkan Jingga dari semua kenikmatan dunia. Sosok pria sederhana yang sudah membuatnya jatuh cinta setengah mati. Badai masih benar-benar tidak percaya jika wanita yang ada di pelukannya ini ada sosok orang yang di cintai nya. Bertahun dia mencari sosok Permata Jingga dan akhirnya mereka di pertemuan di tempat ternyaman nya. Badai masih tidak menyangka, jika wanita ini masih sama dengan sosoknya yang dulu. Hanya saja tatapan mata itu terlihat begitu menderita dan putus asa. Badai tidak peduli dengan masa lalu mereka, sesakit nya ucapan yang di lontarkan Jingga dulu tidak sesakit dimana dia di tinggalkan. Badai tahu Jingga melakukan itu semua demi kebaikan bersama. Jika Badai ada di posisi Jingga pun, dia akan melakukan hal yang sama. Jingga melepaskan pelukannya lalu dia memandang Badai yang terlihat semakin dewasa. Dia tersenyum dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya. Jingga menangkup pipi Badai, mengusapnya dengan lembut. "Kamu semakin tampan." ujar Jingga. Badai menatap Jingga dengan mata berkaca-kaca, dia memegang erat tangan Jingga yang ada di pipinya membawa tangan itu untuk di ciumnya. Badai menatap Jingga, mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Aku menemukanmu." ucap Badai. Jingga menganggukkan kepala, "Yah kamu menemukanku." "Kamu nggak akan bisa lari lagi dari hidupku." Jingga mengangguk kembali. "Kamu nggak akan bisa ninggalin aku lagi." Jingga menggelengkan kepala dengan tersenyum dan air mata kembali meluncur ke pipinya. Badai menarik Jingga, mencium wanita itu dengan segenap perasaannya. Badai kembali merasakan bibir ini dan ini nyata bukan khayalan. Permata Jingga, wanita pertama yang bisa menembus hatinya. Wanita pertama yang bisa membuatnya tidak bisa berkutik. Wanita pertama yang slalu memeluknya di kala Badai dalam keadaan tidak baik-baik saja. Wanita pertama dan terakhir yang akan menemani masa lalu dan masa depannya. Badai melepaskan tautan bibirnya saat di rasa Jingga sudah sulit bernapas, dia terkekeh melihat wajah cantik itu bersemu. Badai menarik kepala Jingga lalu berbisik di telinga wanita itu, "Kita akan memulai kembali hubungan yang pernah terputus dulu. Aku harap kita bisa saling menguatkan satu sama lain tanpa perlu adanya perpisahan walaupun rintangan menghadang kita di depan sana." Kecupan di pipinya membuat wajah Jingga semakin bersemu merah. Dia kembali memeluk Badai dengan erat. Kesempurnaan yang Tuhan berikan ternyata bisa melengkapi pasangannya. Jingga bukan wanita sempurna tapi semenjak dia mengenal Skala Badai Praja, hidupnya sudah sempurna bahkan lebih dari kata sempurna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN