"Lo yakin nggak mau pulang bareng gua?" tanya Ian yang sudah siap pulang.
"Nggak usah Mas, saya bisa pulang sendiri."
"Ya udah gua pulang duluan, kalau ada apa-apa telepon gua atau Reno."
"Iya, terima kasih Mas."
"Nggak masalah. Reno ada di sekitar sini lagi ketemu sama temen-temennya, kalau emang nggak mau langsung pulang Lo bisa susul dia." Jingga menganggukkan kepala.
"Gua pergi yah."
"Iya Mas hati-hati." Ian mengangguk lalu melambai pergi meninggalkan Jingga seorang diri.
Jingga menatap kepergian Ian yang membawa motor keluar dari perusahaan. Jingga terduduk di tangga, dia menatap pergelangan tangannya yang melingkar sebuah Jam tangan usang miliknya. Menghela napas, kenyataan yang baru di ketahui nya membuat Jingga merasa berat untuk melangkah. Badai mengatakan akan menjemputnya setelah pulang kerja. Jingga merasa tidak yakin setelah tahu siapa Badai sekarang. Apa Jingga pulang saja? Tapi, hatinya menolak. Jingga menutup wajahnya, karyawan sudah pulang 15 menit yang lalu. Mungkin hanya beberapa karyawan yang berniat lembur, yang masih bertahan di kantor. Suara klakson mobil membuat Jingga terkejut, sebuah mobil Limosin terparkir di depannya. Kaca terbuka memperlihatkan seorang pria tersenyum. Jingga mengigit bibir bawahnya, penampilan Badai sekarang berbeda jauh dengan dulu. Dia memandang pakaian yang di kenakan nya. Roda kehidupan memang akan terus berputar, dulu Jingga ada di posisi Badai dan sekarang Badai yang ada di posisi itu.
"Jingga?" Panggilan itu membuat Jingga mengerjap. Pintu mobil sudah terbuka oleh seorang supir, menghela napas dia berdiri lalu melangkah. Jingga masuk ke dalam mobil berterima kasih pada supir.
"Hei kenapa?" Jingga menatap Badai yang menatapnya, dia menggelengkan kepala.
Jingga bisa mendengar helaan napas dari Badai, dia melihat Badai menggeser tubuhnya. Melihat itu Jingga bergeser tidak ingin menyulitkan Badai untuk bergerak.
"Ada yang menganggu pikiranmu?" Jingga menggelengkan kepala.
"Kalau nggak ada yang ganggu pikiran kamu, kamu nggak akan mungkin diem kaya gini." Jingga menoleh ke arah Badai.
Badai menaiki salah satu alisnya melihat mata Jingga berkaca-kaca. Jingga memeluk Badai, menangis terisak di bahu pria itu. Badai menghela napas kembali, dia tahu bagaimana perasaan Jingga sekarang. Dia memeluk Jingga dengan erat, mengusap punggung wanita itu.
"Nggak perlu di pikirkan, semuanya akan baik-baik aja." Jingga menggelengkan kepala.
Badai melepaskan pelukan Jingga, dia menangkup wajah Jingga. Tangannya mengusap lelehan air mata yang membasahi pipi Jingga.
"Mulai sekarang aku mohon kamu jangan nangis lagi." Jingga memegang tangan Badai yang ada di pipinya, meremas pelan tangan itu.
"Aku akan berjuang buat dapetin kamu kembali. Kamu nggak perlu takut, semuanya akan baik-baik aja."
"Aku takut Badai. Aku nggak mau kamu terluka lagi karena nolong aku."
"Udah kewajiban aku nolong kamu."
"Tapi kamu ...."
"Sekarang lebih baik kita bahas apa yang terjadi sama kita selama 10 tahun ini. Masalah itu, kita bisa pikirkan bersama. Akan ada saatnya kita menghadapi kenyataan itu, kita nggak akan terus lari dan sembunyi, dunia perlu tahu apa yang terjadi pada 10 tahun lalu." Jingga menganggukkan kepala.
Badai menarik Jingga ke dalam pelukannya, memeluk wanita itu dengan erat. Kesakitan yang dulu pernah di berikan mereka padanya akan dia balas dengan hal yang sama. Badai tahu dia bukan pria sempurna, dia memiliki banyak kekurangan. Tapi, Badai yang dulu dengan sekarang sudah berubah. Tidak ada lagi Badai yang bisa di injak-injak seenaknya. Tidak ada lagi Badai yang hanya diam saat orang-orang memperlakukannya secara tidak manusiawi. Dulu Badai bisa menerima saat dia di pisahkan dengan Jingga dengan paksa. Memerintah Jingga untuk melukai hatinya dan di permalukan di hadapan banyak orang. Tatapan Jingga dan ucapannya berbanding berbalik, Badai melihat itu. Jingga menatapnya dengan terluka tapi tekanan di sekitar membuat Jingga mengatakan kata-kata yang tidak sepantasnya di katakan. Ini lah sebabnya kenapa Badai mencari Jingga, karena setelah peristiwa itu Jingga menyelipkan sebuah kertas di tangannya. Dari sana Badai bertekad untuk kembali membawa Jingga ke dalam pelukannya.
"Selamat 10 tahun ini apa kamu baik-baik saja?" Jingga mendongak lalu menggelengkan kepala jujur.
Jingga melepaskan pelukan Badai lalu membuka kancing lengan bajunya, menggelung sampai ke siku. Mata Badai menggelap melihat begitu banyak bekas luka di lengan Jingga. Jingga tidak bisa menyimpan rasa sakit itu seorang diri, hanya Badai yang bisa memahaminya.
"Apa lagi?" Jingga tanpa malu membuka kancing kemejanya membalikan punggungnya.
Badai mengepalkan tangannya, urat-urat terlihat menonjol di lengannya. "b******k!"
Badai mengancingkan kembali baju Jingga dengan tangan bergetar. Dia menarik Jingga ke dalam pelukannya dengan erat, mengecup berkali-kali kepala Jingga.
"Apa dia menyentuhmu?" Kepala Jingga menggeleng.
"Selama aku mengerjakan apa yang dia inginkan, dia tidak pernah menyentuhku. Hanya jika dia kesal, dia slalu melampiaskannya padaku." Badai memejamkan matanya.
"Bagaimana bisa kamu kabur dari rumah terkutuk itu?"
"Aku melarikan diri saat aku tahu dia akan menjual ku." Napas Badai memberat.
"Sudah berapa tahun kamu tinggal disini?"
"Satu tahun."
"Apa kamu pernah mengalami kesulitan?" Kepala Jingga menggeleng.
"Selama aku tinggal disini, tidak ada orang-orang dia yang mengejar ku. Aku sangat bersyukur karena setidaknya aku bisa menghirup udara bebas walaupun hanya sebentar."
"Bagaimana kamu bisa memenuhi kebutuhanmu?"
"Aku menjual kue secara online."
"Sekarang kamu tidak perlu bersusah payah untuk mencari uang, semua yang kamu butuhkan aku akan menyediakan semuanya." Jingga mendongak kembali menatap Badai.
Badai menunduk, mengecup bibir tipis itu dengan ringan. "Aku bekerja keras seperti ini untuk membawa kamu keluar dari rumah terkutuk itu. Aku tidak akan membiarkan kamu kembali padanya. Sudah cukup selama bertahun ini dia memperlakukan kamu seperti ini."
Jingga menenggelamkan wajahnya di d**a Badai. Jingga merasa bersyukur karena Badai masih mau memperjuangkannya walaupun dia sudah memperlakukan pria ini secara kasar. Jingga merasa aman berada bersama dengan Badai, hanya saja karena status sosial membuat dia di pisahkan. Belum lagi rasa malu yang di dapat Jingga membuatnya tidak memiliki muka untuk bertemu dengan semua orang. Untungnya, di kota ini tidak begitu banyak yang mengenal. Mungkin beberapa orang bisa menghapus ingatannya tapi jejak digital tidak akan bisa di hilangkan begitu saja.
Badai mengusap kepala Jingga. Peristiwa dulu menjadi cambukan untuk dia meraih kesuksesan. Rasa sakit itu begitu terbayang di setiap langkahnya. Skala Badai Praja, sekarang sudah menapaki dunianya, dia tidak akan bisa melepaskan orang-orang masa lalunya. Badai akan menggulung mereka dengan api amarah yang selama ini terpendam di dadanya. Membawa mereka tenggelam pada pusaran api yang di buatnya. Pergi tanpa membawa apapun dan saat dia pulang semua itu musnah terbawa rasa dendam.
"Badai?" Panggilan itu membuat Badai menunduk.
"Hmm."
"Selama 10 tahun ini apa yang kamu lakukan?"
"Banyak."
"Ceritakan."
"Aku hanya berusaha menyelesaikan apa yang memang seharusnya aku selesaikan. Tujuan hidupku saat dulu dan sekarang masih sama, menjadikan mu milikku. Tidak peduli seberapa besar rintangan yang akan menghadang, aku akan tetap memperjuangkan mu. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku pantas bersanding denganmu, di banding dengan pria b******k yang di pilihkan orang tuamu." Jingga menunduk.
"Tapi Mama sudah meninggal."
"Aku tahu." Jingga kembali mendongak.
"B-bagaimana bisa?"
"Mencari informasi bagiku sekarang mudah, aku bisa mendapatkan hanya dalam sekejap mata."
"Apa kamu tahu jika aku bekerja di perusahaan mu?"
"Aku tahu."
"Lalu, kenapa kamu tidak datang padaku?" Badai menghela napas.
"Aku tidak bisa mendatangimu sesuka hatiku. Jika orang-orang tahu keberadaan ku, aku tidak akan bisa mendapatkan mu. Maka dari itu biarkan semua orang tidak tahu siapa aku sebenarnya. Karena jika aku muncul di hadapan publik kamu akan kembali hidup di sangkar emas itu."
"Aku tidak mau."
"Maka dari itu, biarkan aku menyelesaikan urusanku dengan si b******k itu."
"Tapi kondisimu?" Badai mengecup kening Jingga.
"Mungkin kakiku tidak akan bisa bergerak lincah seperti orang-orang pada umumnya. Tapi, aku tidak akan mengandalkan kekuatan namun otak yang berjalan." Inilah yang Jingga sukai dari diri Badai.
Badai memang bukan pria sempurna. Pria itu duduk di kursi roda setelah kecelakaan yang terjadi saat SMP. Badai tidak menceritakan detailnya bagaimana, karena untuk masalah keluarga pria itu tertutup. Jingga menghargai privasi Badai, mungkin suatu hari dia akan menceritakan padanya tentang apa yang terjadi. Inilah alasan dulu kenapa orang yang ada di sekitarnya menentang keras hubungan dia dan Badai. Badai bukan dari kalangan atas, dia juga bukan pria yang sempurna, harusnya dulu mereka mendukung Jingga karena dia menjadi pribadi yang lebih baik semenjak mengenal Badai. Tapi, apa yang terjadi padanya membuat semua orang tidak suka. Mereka lebih menyukai Jingga si penguasa, Jingga si sombong, hingga akhirnya kejadian memalukan itu membuat semua orang menjauhinya.
"Btw, sedang apa kamu di balkon itu?" tanya Badai.
"Merenung, entah kenapa selama 10 tahun ini, setiap aku melangkah rasa malu, sedih, marah slalu menghantui langkahku. Terutama rasa bersalah saat aku mempermalukan mu di hadapan publik dan ternyata tidak lama aku yang di permalukan lebih dua kali lipat dari itu."
"Inilah yang ingin aku tanyakan padamu, bagaimana bisa kamu melakukan hal semenjijikan itu?"
"Aku terpaksa melakukan itu. Jika aku tidak melakukan itu, dia akan memperlakukan aku seperti p*****r-pelacurnya."
"Bukan keinginan darimu melakukan oral s*x?"
"Kamu nggak percaya?" Jingga menatap mata Badai dengan dalam.
Badai menunduk mengecup bibir itu berkali-kali, "Aku percaya."
"Aku juga tidak ingin melakukan hal itu, bahkan sampai sekarang aku masih bisa merasakan itu."
Badai mencium Jingga. Bagaimana bisa Jingga bertahan dengan keluarga setan seperti mereka? Di luar Jingga akan menjadi penguasa, disegani banyak orang tapi saat terkurung di rumah dia akan di perlakukan bak seorang p*****r. Badai tidak habis pikir, Jingga Putri tunggal mereka tapi mereka memperlakukan Jingga seperti boneka. Yang sampai sekarang menjadi amarah dalam diri Badai, Jingga di jual pada si b******k Felix Magathz. Kebangkrutan perusahaan Jingga di manfaatkan oleh pria itu. Badai melepaskan tautan bibirnya, dia mengusap bibir Jingga yang terdapat Saliva mereka.
"Tenang saja, aku akan membalaskan rasa sakit kita berdua dengan caraku. Tidak peduli jika dia pemilik dunia sekali pun, penjahat tetap lah penjahat yang harus mendapat ganjarannya." ujar Badai.