Badai Di Langit Jingga 7

1630 Kata
Badai mengusap wajah Jingga yang terlelap dengan damai. Dia mengecup kening Jingga, menyelimuti tubuh mungil itu. Helaan napas keluar dari bibirnya saat melihat begitu banyak bekas luka di tubuh Jingga. Apa yang Jingga alami selama ini? Kenapa tubuhnya menjadi rusak seperti ini? Bukan Badai merasa jijik melihat bekas luka itu tapi rasa sakit di hatinya. Entah apa yang mereka lakukan pada Jingga terutama si b******k Felix. Badai tahu siapa sosok Felix, jika di bandingkan dengan kuasa yang di miliknya dia tetap tidak akan bisa bersaing. Badai turun dari ranjang, dia berjalan pergi meninggalkan kamar. Jika selama ini kalian melihat Badai hanya duduk di kursi, kalian salah besar. Kursi roda yang di pakai Badai hanya kamuflase untuk mengelabui semua orang. Badai akan berkata jujur pada Jingga jika waktunya sudah tepat. Hanya beberapa orang yang tahu seorang Skala Badai Praja bisa berjalan. Badai keluar dari kamar melangkah menuju ke ruang kerjanya. Dia membuka pintu dan di sana sudah ada Xavier yang duduk dengan tenang. Badai mendudukkan dirinya di samping Xavier menuangkan segala Wine lalu menegak nya hingga tandas. "Dia baik-baik aja kan?" tanya Xavier. Badai menggeleng, "Entah apa yang di lakuin si b******k Felix, tubuh Jingga penuh dengan luka." "Really?" "Yes!" Xavier berdecak. Dia menutup koran yang di bacanya lalu memandang Badai dengan tatapan serius. "Jadi apa yang bakal Lo lakuin sekarang?" "Gua nggak tahu. Untuk sekarang gua pengen bahagiain Jingga." "Segitu bucin nya Lo sama Jingga." "Waktu pertama gua kenal sama dia pun, gua ngerasa nggak cocok karena dia sombongnya nggak ketulungan. Dia ngehina gua abis-abisan karena gua duduk di kursi roda. Tapi, pas gua bantu dia saat itu, sisi dia mulai terkuak dan gua sadar Permata yang di kenal banyak orang nggak seperti seorang Jingga." Xavier mengangguk paham. Xavier sudah lama berteman dengan Badai, dia merasa geregetan pada Badai karena membuang waktu begitu banyak. Giliran sekarang wanita yang di cintai nya mengalami luka baru bertindak. Harusnya dari dulu Badai bertindak, tidak perlu ada drama perpisahan selama bertahun lamanya. Jika Xavier ada di posisi Badai, dia akan mengatakan siapa dia sebenarnya. Sayangnya, Badai bukan pria semacam itu. Hubungan dengan keluarganya pun tidak baik-baik saja, mungkin itu salah satu alasan kenapa Badai hanya diam di saat seorang Felix Magathz menginjak harga dirinya. Xavier slalu mempertanyakan, apakah Badai tidak memiliki harga diri? Bagaimana bisa di injak sampai dasar masih tetap diam? Jika Xavier mengalaminya mungkin dia tidak akan tinggal diam, tanpa berpikir panjang dia akan langsung menembak mati pria itu. Felix Magathz tidak bisa terus di diamkan, jangan hanya karena dia memiliki banyak harta, dia bisa seenaknya berlaku seperti itu. Xavier juga tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang Ayah tega menjual anaknya demi kepentingan Bisnis? Dan bodohnya, Jingga hanya diam saja tanpa melawan. "Permisi." Suara itu mengalihkan pandangan Xavier dan Badai. Disana sosok seorang gadis cantik berambut pendek masuk ke dalam, cengiran di bibirnya membuat Xavier mendesah. "Ngapain lo ngundang kunti dateng kemari?" tanya Xavier. "Ngomong apa lo genderewo?" "Kunti." Ejek Xavier. "Gua santet baru tahu rasa Lo." "Nggak peduli gua." Gadis itu akan menerjang Xavier tapi Badai langsung menarik tangannya. "Udah duduk, cewek kok bar-bar banget." "Dia duluan yang suka ngajak ribut." Xavier tidak peduli. "Saling ngejek ntar malah jatuh cinta." Celetuk Badai. "Nggak mungkin!" jawab keduanya kompak. Badai mengangkat bahunya, dia kembali meraih botol Wine mengisi gelas dan meneguknya. "Lo lagi pusing yah?" tanya Pelangi. "Nggak juga." "Terus ngapain minum wine?" "Lagi pengen aja." "Jawabannya nggak enak banget." "Udah deh Rainbow nggak usah banyak bacot." "Suka-suka gua." Badai mendengus sebal saat melihat Xavier dan Pelangi terus berdebat. Memang benar, sepertinya Pelangi dan Xavier tidak akan pernah bisa di satukan jika bersama. "Rainbow, mau apa Lo kesini?" Pelangi menoleh. "Ayah nyuruh pulang." Badai memutar bola matanya. "Bilang, gua banyak kerjaan." Pelangi menatap Badai dengan pandangan memelas. "Mau sampai kapan sih Bang musuhin Ayah? Ayah juga udah minta maaf sama Abang tentang peristiwa ibu kita." "Sampai Ibu kembali hidup." jawab Badai sekenanya. Pelangi memukul kepala Badai, membuat pria itu melotot pada adiknya. "Nggak sopan Lo sama Abang." "Nggak apa-apa. Siapa tahu otak Lo kembali nyatu." "Gua potong uang jajan Lo." Ancam Badai. "Eh, eh, eh, jangan atuh." Pelangi bergelayut manja di lengan Badai. Badai mendorong kepala Pelangi membuat gadis itu mencibir. Pelangi cemberut, dia kan datang ke rumah Badai hanya ingin menyampaikan apa yang Ayahnya katakan. Pelangi tidak masalah tentang Ayahnya yang penting uang bulanan nya tidak berhenti. Berbeda dengan Badai yang banyak menuntut ini itu. Pelangi saja merasa heran dengan keinginan Badai yang tidak masuk akal. Ayah mereka bahkan sudah meminta maaf atas apa yang terjadi beberapa tahun lalu tapi Badai tetap lah Badai, pikirannya tidak akan mudah di ubah. "Lagian cuman mau ngomong gitu aja nggak perlu datang kesini juga kali." ujar Xavier yang kembali meraih korannya. Pelangi menatap Xavier tajam, "Suka-suka gua dong, kenapa elo yang repot." "Gua nggak ngomong sama Lo." "Gua juga nggak jawab pertanyaan Lo itu." Badai menarik napas, kenapa jadi Xavier dan Pelangi yang bertengkar? Sehari saja mereka bertemu tidak berbuat keributan sepertinya tidak bisa. Ada saja sesuatu yang mereka bahas hingga ujung-ujungnya keduanya tidak mau kalah. Badai membiarkan Pelangi dan Xavier adu mulut. Pikirannya berkelana pada beberapa tahun lalu. Jika dia tidak bertemu dengan Jingga, entah apa yang akan wanita itu alami sekarang. Hanya memikirkannya saja sudah membuat dia merinding, bagaimana jika di bayangkan? Badai menggeleng. Sekarang Jingga sudah aman bersamanya, biarkan dia mengecap kebahagiaannya. Selagi Jingga bahagia dia tidak akan menghalangi langkahnya. Badai pun sebenarnya sudah lelah harus berpura-pura duduk di kursi roda tapi hanya itu satu-satunya cara untuk tidak membuat Jingga curiga. Jingga hanya tahu jika Badai pria baik yang slalu mengalah, slalu menerima makian dari orang lain, slalu terdiam saat semua orang menghakiminya. Jika Jingga tahu siapa Badai sebenarnya, apa yang akan Jingga lakukan? Kabur? Menghilang? Atau bisa pergi kembali? "Abang?" Pelangi berteriak di kupingnya membuat Badai langsung menarik kepala Pelangi. "Abang sakit ih." Pelangi mencoba melepaskan lengan Badai yang melingkar di lehernya. "Lo kalau nggak bisa sopan, gua bener bakal masukin Lo ke asrama." ucapan Badai membuat Pelangi menggeleng. "Nggak Bang, maaf." Pelangi paling takut jika Badai sudah mengucapakan kata ini. Pelangi lebih baik memilih uang bulanan nya yang di potong di banding harus masuk ke Asrama. Pelangi tidak ada maksud untuk tidak sopan pada Kakaknya, sungguh. "Masukin aja Dai ke asrama biar tahu rasa dia." Pelangi melotot kan matanya pada Xavier. "Abang maaf, nggak lagi-lagi." "Lo harus belajar sopan satun Rainbow. Lo itu perempuan nggak semestinya berlaku bar-bar kaya gini. Apa perlu gua datangi Guru buat les bagaimana caranya bersikap?" "Nggak usah Abang, gua minta maaf." "Minta maaf besok di lakuin lagi." Pelangi mengigit bibir bawahnya. Pelangi paling tidak bisa membatah Badai, dia paling takut jika Badai sudah bersikap seperti ini. Pelangi tahu siapa Badai, jadi dia memilih jalan akhir menyerah dan diam. Xavier yang melihat Pelangi diam tersenyum. Bagus, harusnya Badai memasukan Pelangi ke Asrama supaya gadis itu tahu bagaimana bersikap. Xavier bukan setahun dua tahu mengenal Pelangi, semua kenakalan gadis itu dia yang mengurus. Badai menugaskan untuk menjaga Pelangi di saat pria itu pergi ke luar negeri. Pelangi tidak bisa di atur, gadis itu slalu saja banyak tingkah. Jika di beri tahu, sekarang dia akan manggut-manggut tapi besoknya akan di ulangi lagi. Xavier tahu usia Pelangi masih di katakan labil tapi dia harus tahu tindakannya itu terkadang membuat Badai tidak menyukainya. Sering kali ulah Pelangi membuat Badai geregetan. Badai pernah mengurung Pelangi di gudang bawah tanah sehari semalam tapi gadis itu tidak pernah kapok, malah semakin menjadi. Jika Xavier ada di posisi Badai, dia lebih memilih memasukan Adik seperti Pelangi ke Asrama. Pelangi mendesah, "Iya maaf." "Dengar Pelangi, gua bukan semata-mata pengen kekang Lo buat lakuin semua yang Lo mau. Tapi Lo harus sadar diri, nggak semua apa yang Lo mau bisa Lo lakukan. Ada larangan, kenapa gua slalu ngomel. Gua lakuin ini buat kebaikan Lo sendiri, belajar buat nggak slalu bertindak semaunya. Gua nggak bisa kehilangan Lo hanya demi kepuasan ego Lo." ujar Badai. Pelangi menundukkan kepalanya, dia tahu apa yang di lakukan Badai memang sudah sepatutnya dilakukannya. Badai sudah kehilangan 1 adiknya dan itu kembaran Pelangi, Langit. Pelangi melihat bagaimana Badai terpukulnya saat Ayahnya memberi tahu jika Langit mengalami kecelakaan. Saat itu Langit masih berumur 15 tahun tapi dia nekad membawa motor sendiri. Badai sudah melarangnya tapi Langit keras kepala hingga akhirnya Langit harus meregang nyawa. Dari sanalah Badai memberikan peringatan pada Pelangi apa yang di boleh di lakukan dan tidak. Badai pun slalu menegur Pelangi jika sudah bersikap di luar batas seperti tadi. Badai mengusap kepala Pelangi, "Belajar yang bener, nggak usah jadi yang terbaik juga nggak masalah. Yang penting, Lo paham sama apa yang Dosen ajarkan dan bisa Lo ngerti. Gua nggak pernah minta ini itu sama Lo, gua cuman minta buat lebih baik lagi, apa itu susah?" Pelangi menggelengkan kepala, "Gua ngajarin Lo bela diri bukan buat jadi jagoan tapi buat pertahanan diri, paham?" Pelangi menganggukkan kepalanya, "Maaf, Abang." "Akhir tahun angkatan Lo wisuda, gua nggak mau tahu Lo harus ikut wisuda. Perbaiki semua skripsi Lo, kalau nggak ada yang bisa Lo bisa tanya sama Xavier." Xavier yang mendengar itu membulatkan mata, apa-apaan Badai ini? Kenapa dia malah memberikan tugas itu kepada Xavier? Tidak bisakah dia melakukanya sendiri? Badai pikir kerjaannya hanya terdiam diri? Perusahaan Badai pun dia yang mengerjakan, dia yang kesana kemari bertemu Klien. Sedangkan Badai? Pria itu hanya bekerja di rumah. Xavier mengeram, jika bukan sahabatnya sudah dia bunuh pria menyebalkan itu. Pelangi mengangguk pasrah, jika Badai sudah berkata tegas seperti ini dia bisa apa? Badai akan memberikan sesuatu jika Pelangi bisa melakukan apa yang di katakan nya. Terbukti saat Badai mengatakan jika Pelangi harus masuk universitas ternama dan dia bisa masuk. Badai tidak akan segan-segan memberikan apapun keinginannya. Itu lah kenapa Pelangi menyayangi Badai walaupun Badai bersikap lain dari yang lainnya dia merasa hanya Badai yang akan memeluknya erat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN