Badai Di Langit Jingga 8

1741 Kata
Jingga merenggangkan tubuh, tidurnya terasa begitu nyenyak. Baru kali ini Jingga merasakan tidur yang benar-benar tidur. Dulu, saat terlelap Jingga merasa takut jika ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya. Setiap akan tidur Jingga slalu waspada pada sekitarnya. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bagi semua orang, tidak untuk Jingga. Rumah yang di tinggali olehnya, sebuah rumah kutukan bagi orang yang berkunjung kesana. Jingga merasakan kelembutan bantal yang menjadi alas kepalanya. Harum, maskulin tercium membuatnya semakin larut tengelam. "Bangun putri tidur." Suara serak itu membuat Jingga mengerjapkan mata. Usapan di kepalanya membuat Jingga membalikan tubuh dan mendongak saat sebuah kecupan mendarat di keningnya. "Jam berapa sekarang?" "Jam 10.35." Jingga yang tadinya enggan terbangun seketika terkejut. "Ya ampun aku kesiangan." Jingga menyingkap selimut, dia akan turun dari atas ranjang tapi lengannya di tahan membuat Jingga menoleh. "Tenang, aku sudah memberi tahu kedua temanmu kalau hari ini kamu izin tidak masuk." Mata Jingga membulat, "Terus gimana tanggapan Mas Ian sama Mas Reno?" "Mereka memahaminya." Jingga terdiam mendengar ucapan Badai. Jingga tersenyum lalu kembali menggulingkan tubuhnya menyusup di pelukan Badai. "Rasanya aku nggak mau bangun dari tempat tidur kalau gitu." "Kenapa?" "Baru kali ini aku tidur bisa senyaman ini." "Jadi kamu tidur berapa jam?" "Aku nggak tahu, karena setiap aku mau tidur rasa gelisah sering aku rasain." Badai mengusap rambut Jingga. "Sekarang kamu nggak perlu ngerasa gelisah cuman untuk tidur. Kamu bisa tidur sepuasnya, aku yang akan jaga kamu mulai sekarang." "Aku berharap seperti itu." Jingga menghela napas. "Nggak usah dipikirin lagi, sekarang kamu udah sama aku jadi kamu tenang aja." ucap Badai menenangkan. Jingga semakin erat memeluk Badai, ini yang selama 10 tahun dia butuhkan. Jingga tidak membutuhkan apapun selain Badai. Badai pria baik yang selama ini di kenalnya, pria itu tidak pernah berbuat macam-macam. Awal perkenalan mereka memang bisa di katakan tidak baik-baik saja karena dulu Jingga masih hidup sebagai Permata. Setiap perlakuan yang dia berikan pada Badai, pria itu hanya diam tidak melakukan apapun. "Maaf." Bisik Jingga. Badai mengerutkan kening, "Untuk apa?" "Untuk semua perlakuan ku dulu sama kamu. Aku belum minta maaf secara langsung dan tulus. Aku minta maaf atas segala sesuatu yang sudah aku lakukan sama kamu dulu." Badai meraih tangan Jingga menggenggamnya kuat. "Sudahlah semuanya sudah terjadi, kamu tidak perlu mengungkit masa dulu." "Tapi rasa bersalah itu slalu menghantui setiap langkahku." "Jika memang kamu benar merasa bersalah, aku hanya meminta satu hal padamu." "Apa?" "Tetaplah di sampingku apapun kondisinya." Jingga mendongak, lalu tersenyum mengangguk. "Aku berjanji akan slalu ada di samping kamu." Badai mencium kening Jingga dalam, harusnya sudah sedari dulu mereka bersama, melakukan banyak hal, tanpa harus ada hal semacam ini. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Badai. "Emmm ... terserah." "Bagaimana kalau kita pergi ke pantai?" Jingga berpikir, "Pantai?" "Iya. Kamu pernah bilang waktu itu pengen pergi ke pantai, gimana kalau sekarang waktunya?" "Tapi ...." Jingga tidak melanjutkan kata-katanya. Jika mereka berdua keluar bersama bagaimana jika anak buah Felix mengetahuinya? Bagaimana jika nanti mereka kembali di pisahkan gara-gara keadaan? Tapi, keadaan Badai sudah berubah tidak ada salahnya mereka untuk mencoba kan? Jingga menghela napas tanpa sadar, ingin bersama pun mereka harus melalui cobaan berat. Badai yang mendengar helaan napas Jingga tersenyum, "Kita akan pergi jauh dari sini untuk menikmati suasana pantai." "Bagaimana kalau Felix menemukan kita?" tanya Jingga khawatir. "Kita bisa melarikan diri." "Lagi?" Badai menatap mata Jingga yang terlihat akan luka di dalamnya. Badai mengusap kepala Jingga, "Nggak perlu merasa khawatir semuanya akan baik-baik saja, aku berjanji." "Kalaupun kamu mengatakan semuanya baik-baik saja nyatanya kita nggak tahu ke depannya gimana. Nggak akan ada satu pun yang berani ngelawan Felix selain orang yang sebanding sama dia. Felix punya segalanya, dia akan melakukan berbagai cara untuk melukai orang-orang yang ada di sekitarku. Jujur, entah apa yang Felix inginkan dariku." "Kamu sudah tahu jawabannya jadi biarkan itu menjadi urusanku nanti, lebih baik sekarang kamu bangun, mandi, sarapan dan kita bisa pergi jalan-jalan." jawab Badai. Jingga cemberut, "Rasanya aku malas buat bangun." "Kalau begitu kita undur waktunya jadi besok." "Tapi sekarang aku udah terbiasa gerak kesana kemari. Aku udah terbiasa berinteraksi sama beberapa orang." "Lalu mau kamu apa?" "Bisakah seharian ini kita diam saja, aku akan membuatkan beberapa kue dan itu khusus untuk kamu, bagaimana?" Badai terlihat berpikir lalu kepalanya mengangguk singkat. Jingga tersenyum lalu mengecup dagu Badai. Rasanya masih seperti mimpi memeluk Badai seperti ini. "Kalau begitu ayo kita kebawah." Ajak Jingga. Badai melepaskan pelukannya, membiarkan Jingga turun terlebih dulu dari atas ranjang. Badai menatap punggung Jingga, bahu mungil itu begitu rapuh, sekuat itu dia menahannya sampai bertahun lamanya. Jika saja Badai bisa memutar waktu, dia ingin semuanya baik-baik saja. Ingin menyelamatkan wanita yang di cintai nya. Jingga menoleh melihat Badai yang hanya duduk menatapnya. Senyum kecil terbit di bibirnya, dia melangkah mendekat lalu mencondongkan tubuhnya. "Aku baik-baik aja." "Jangan berkata seperti itu." "Sekarang aku udah sama kamu, kamu bakal jaga aku kan?" Badai menatap mata Jingga yang berbinar indah. Tatapan ini tidak akan pernah bisa Badai lupakan. Tatapan yang slalu menatapnya penuh akan cinta, kasih sayang dan kebahagiaan. Dan tatapan itu hanya untuk seorang Skala Badai Praja. "Walaupun aku nggak sempurna, aku berjanji akan slalu jaga kamu." "Kalau begitu, ayo kita mulai untuk membuat cerita di lembaran baru." Senyum Jingga benar-benar membuat jantung Badai berdetak tidak karuan. "Yeah, kita akan membuka lembaran baru." Jingga tertawa kecil lalu mengulurkan tangan dan di sambut dengan cepat oleh Badai. Jingga membantu Badai duduk di kursi rodanya setelah duduk pria itu nyaman dia mendorongnya. Sejujurnya Badai sudah merasa risih harus duduk di kursi roda. Dia sudah merasa muak dengan semuanya. Tapi demi kelancaran semuanya, dia harus bertahan. Tidak apa-apa untuk sekarang dan nanti karena akan ada saatnya Skala Badai Praja menggulung untuk kembali pada perpaduannya. Mereka keluar dari dalam kamar dan saat itu kursi roda Badai terhenti. Badai mendongak menatap Jingga yang terlihat menganga tidak percaya. "Kenapa?" "I-ini rumah kamu?" "Yeah." Jingga menunduk. "B-bagaimana bisa?" Pertanyaan itu membuat Badai tersenyum miring. Bagaimana bisa dia mendapatkan ini? Tentu saja bisa. Bagi Badai tidak ada yang tidak bisa di lakukan nya. Semua ini hasil usahanya tanpa campur tangan sang Ayah. Badai sebenarnya bisa saja meminta bantuan pada sang Ayah atas apa yang terjadi pada masa lalunya hanya saja dia tidak ingin membuat pria tua itu senang atas permintaannya. Hubungan Badai dengan Ayahnya memang tidak baik-baik saja semenjak Ibunya meninggal. Bertahun tidak bertemu dan hanya Pelangi lah yang slalu menjadi komunikasi antara dia dan Ayahnya. "Kamu tahu apa yang menjadi tujuanku." Jingga menunduk. "K-kamu mewujudkannya?" "Yeah." "K-kamu menjadi pria sukses Badai." "Hmm." "A-aku bener-bener kagum sama kamu." Badai meraih tangan Jingga yang masih memegang kursi rodanya. Dia mengecup punggung tangan itu dengan dalam. Badai kembali mendongak dan Jingga menunduk, mata mereka beradu. "Karena menjadi seorang penguasa lah yang bisa melepaskan mu dari jeratan sangkar emas itu. Semua ini aku persembahkan untukmu, untuk membuktikan jika sekarang aku sebanding dengan Felix walaupun tidak sesempurna pria itu." Jingga tidak bisa menahan tangisnya, dia memutar tubuhnya lalu berjongkok dan menangis di pangkuan Badai. Badai mengusap kepala Jingga, membiarkan wanita ini menangis. Pengorbanan yang dia lakukan tidak akan pernah sia-sia. Hanya tinggal menunggu waktu. Jingga mengangkat kepalanya, "Terima kasih Badai." Badai menganggukkan kepala, "Bisakah aku meminta satu hal?" "A-apa?" "Jangan pernah menangis. Jadilah wanita kuat seperti Permata dulu namun dengan sosok bernama Jingga. Buang sosok Pertama yang sombong dan jadilah sosok Jingga yang rendah hati. Buang sosok Permata yang kuat tapi kejam dan jadilah sosok Jingga yang kuat lalu penyabar." "Jika itu yang kamu inginkan, apa kamu akan slalu di sampingku?" Badai tidak langsung menjawab. "Badai?" "Aku akan slalu ada di sampingmu sampai kita memiliki anak cucu kita nanti." Jingga tersenyum lalu memeluk Badai dengan erat. "Aku mencintaimu Badai." "Aku lebih mencintaimu Jingga." Mungkin dulu hal seperti ini tidak akan pernah bisa terjadi. Hanya ungkapan cinta yang mereka ucapkan melalui sebuah surat. Mereka tidak akan bisa sebebas ini untuk berpelukan menyalurkan rasa cinta. Hidup Jingga terlalu terkekang di dalam rumah seorang iblis kejam. Menyakitinya tiada akhir sampai dia di tarik oleh seorang malaikat tak bersayap. Sosok lemah Jingga akan slalu bersembunyi di balik sosok Permata. Di luar rumah Jingga akan menjadi sosok Permata, wanita kejam yang angkuh, sombong dan paling disegani tapi saat di rumah dia akan menjadi seorang wanita lemah dan cengeng. Perlakukan yang di berikan orang rumah membuatnya depresi. Jika di ingatkan lagi Jingga pernah hidup di rumah sakit jiwa karena rasa depresi. Tekanan orang sekitar membuatnya stres. Untung saja saat itu akal sehatnya kembali sadar jika ada seseorang yang akan membawanya pergi keluar dari rumah sang Iblis. Walaupun dia harus melewati banyak waktu tapi sekarang keduanya sudah saling bertemu. "Coba Bang Badai mau bicara sama Ayah pasti semuanya bakal selesai." "Coba kalau Lo ada di posisi Badai, apa yang bakal Lo lakuin?" Pelangi menoleh menatap Xavier yang ada di sampingnya. "Berat." "Itulah yang di rasakan Badai." "Tapi Ayah udah minta maaf." "Maaf itu hanya sebuah ucapan Rainbow. Hanya empat huruf kata setiap kita melakukan kesalahan. Kalau Lo melakukan kesalahan dan kesalahan itu fatal, setelah itu Lo baru sadar apa yang Lo lakuin salah. Lo hanya tinggal mengucapkan kata maaf semudah itu. Padahal apa yang Lo lakuin udah buat orang lain menderita dan si pelaku hanya bisa mengatakan maaf. Menurut Lo apa kata maaf itu bisa mengganti rasa sakit itu?" Pelangi yang mendengar itu menunduk. Yeah, seharusnya dia tahu apa yang di rasakan oleh Badai. Pelangi hanya seorang adik dari Badai yang tahunya meminta uang dan melakukan tugasnya jika di perintah sang kakak dan Ayahnya. Pelangi tidak tahu banyak apa yang sudah terjadi pada kehidupan Badai di luar sana. Badai terlalu tertutup dan hanya Xavier lah orang kepercayaan. Badai slalu mengatakan padanya untuk menjadi wanita yang pintar dalam bersikap. Badai tidak pernah memintanya pandai dalam hal pelajaran. Padai yang di maksud Badai lain dari yang lain. Semua apa yang Pelangi inginkan Badai slalu memenuhinya. Terkadang Pelangi merasa jika dia gagal menjadi seorang adik untuk Badai. Tapi Badai tidak pernah menyalahkannya walaupun dia slalu bertidak seenaknya. Badai slalu mengingatkan dengan caranya supaya dia sadar apa yang sudah di lakukan nya. Dan Pelangi' pun sadar apa yang Badai lakukan memang untuk kebaikannya. "Nggak. Maaf mungkin bisa di ucapkan dengan mudah tapi melupakan sakit itu lah yang menjadi masalahnya." Xavier tersenyum lalu mengusap kepala Pelangi. Dia melangkah pergi meninggalkan Pelangi yang masih berdiri menatap Badai dengan kekasihnya. Xavier hanya berdoa semoga perjuangan Badai selama ini tidak akan berakhir sia-sia. Xavier akan membantu Badai semampu yang dia bisa. Mungkin tidak membantu banyak tapi dia yakin Badai mampu melalui semua rintangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN