Badai Di Langit Jingga 9

1570 Kata
Langkah Jingga terhenti saat dia melihat seorang wanita yang duduk di meja makan bersama seorang pria. Keningnya mengerut, siapa mereka? Apa Jingga mengenalnya? Tapi Jingga rasa tidak, dia mengingat sekali siapa teman-teman di masa lalunya jika memang mereka kembali hadir dalam masa depannya. Jika pun mereka teman masa sekarang, sepertinya tidak karena Jingga hanya memiliki teman Reno dan Ian saja. Badai yang merasa kursi rodanya terhenti mendongak, melihat tatapan Jingga yang mengarah pada dua manusia di meja makan. Badai memutar bola mata melihat adik dan sahabatnya ada disana. Kenapa mereka tidak pergi saja? Kenapa mereka slalu betah tinggal di rumahnya? Badai menghela napas, harusnya Xavier dan Pelangi' tidak ada disini. "Ayo aku kenalkan pada mereka." Jingga menunduk, menatap Badai yang mendongak. Dia menganggukkan kepalanya lalu kembali mendorong kursi roda Badai. Jingga benar-benar tidak bisa banyak berinteraksi dengan orang lain semenjak peristiwa 10 tahun lalu. Dia terlalu banyak mengurung diri akibat rasa depresi yang di perbuat oleh keluarganya sendiri. Mencoba menarik napas untuk menenangkan perasaannya yang sudah tidak karuan. Pelangi yang merasa di perhatikan menoleh lalu tersenyum menarik kedua sudut bibirnya. Xavier menendang kaki Pelangi membuat gadis itu menoleh lalu melotot kan matanya tidak terima. Pelangi membalas perlakuan Xavier yang menendangnya dua kali lipat dari yang pria itu lakukan. Xavier meringis, tendangan Pelangi memang tidak pernah main-main. "Kenapa kalian ribut sekali?" Pelangi menarik kedua sudut bibirnya, memperlihatkan senyum yang manis. "Bukan apa-apa, Bang." Xavier memutar bola matanya, dia kembali menekuni sarapannya tanpa peduli pada sikap Pelangi yang membuatnya jengkel setengah mati. Jika bukan adik dari Badai, sudah dari tadi dia mencekik gadis muda itu. Badai menarik kursi untuk di duduki Jingga sedangkan wanita itu tersenyum lembut lalu mengucapkan terima kasih. "Jingga, kenalkan ini Pelangi adikku dan dia Xavier temanku." "Hallo, Kaka Jingga." Pelangi melambaikan tangannya. Jingga tersenyum membalas lambaian tangan Pelangi. Tunggu, sejak kapan Badai memiliki seorang adik? Seingat Jingga, Badai itu anak tunggal. Badai yang melihat kerutan di dahi Jingga tersenyum, dia meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya dengan erat. "Maaf, kamu pasti terkejut kan dengan fakta ini?" Jingga menatap Badai lalu tersenyum kikuk. Badai menghela napas, mau bagaimana pun dia mencegah Pelangi bertemu dengan Jingga tetap saja gadis itu akan berlaku sesuka hatinya. Badai tidak ingin mengambil resiko jika Pelangi dan Jingga bertemu di belakangnya. Pelangi itu anak yang tidak akan bisa di percaya, yang menurutnya benar akan dia katakan. "Bang Badai memang seperti itu Kak Jingga. Apa susahnya sih kenalin gua sama dunia dia, gua tuh ngerasa kaya adik tiri gitu di biarkan sendirian." ucap Pelangi dengan nada memelas dan wajah yang menunduk. Badai menaiki salah satu alisnya mendengar ucapan sang adik. Xavier menyeringai, ini anak memang menggali kuburannya sendiri. Sedangkan Jingga menatap Badai dan Pelangi, terlihat jika keduanya memiliki ke samaan. Mereka seperti pinang di belah dua yang sayangnya Pelangi versi perempuan. Pelangi bergumam di dalam hati, semoga ucapannya mendapatkan kepekaan dari sang Kakak. Pelangi ingin bebas, ingin hidup sesuka hatinya tanpa Badai yang menghalangi langkahnya. "Rainbow?" "Yeah Bang." jawabnya semangat. "Ayo kemas barang-barangnya." "Mau kemana emangnya?" tanyanya bingung. "Katanya mau tinggal di asrama." "APA? Nggak ada yah, bang. Perjanjiannya nggak gitu loh ih." Pelangi langsung berdiri memandang Badai dengan sebal. Kan mereka sudah sepakat, kenapa sekarang di bahas lagi? "Katanya mau kenalan sama dunia gua?" Pelangi terdiam. Sepertinya Pelangi salah mengucap kata dan sialnya dia terjebak dengan ucapannya sendiri. "Nggak jadi deh." Xavier memalingkan wajahnya menahan tawa. Pelangi menatap Xavier yang terlihat mengulum senyum. Dia mendudukkan diri kembali di kursinya lalu menendang kaki pria yang ada di depannya dengan keras membuat sang pemilik kaki mengadu kesakitan. Pelangi menjulurkan lidahnya, mengejek pria di depannya. Xavier menghembuskan napas, dia mencoba sabar pada gadis kecil itu. Jingga yang melihat interaksi keduanya menarik kedua sudut bibirnya. Mereka saling mengejek satu sama lain. Tiba-tiba senyum Jingga menghilang saat mengingat jika dia tidak pernah melakukan hal kekanakan seperti itu. Masa lalu Jingga begitu suram, jangankan untuk menarik kedua bibirnya untuk tertawa terbahak karena bahagia sepertinya tidak pernah. Kalaupun Jingga tertawa terbahak karena rasa puas melihat korbannya menderita. Badai yang melihat Jingga terdiam, mengelus punggung tangannya dengan pelan. Jingga mengerjapkan mata lalu menunduk melihat Badai yang menatapnya seakan mengatakan 'apa kamu baik-baik saja'. Tentu Jingga menjawab dengan anggukan. "Ayo kita sarapan." ujar Badai. "Selamat makan." kata Pelangi. "Mau aku ambilkan?" tanya Badai pada Jingga. "Nggak usah! Aku bisa ambil sendiri." jawab Jingga menggelengkan kepalanya ribut. Jingga bangkit dari duduknya meraih sebuah piring lalu memandang Badai yang juga memandangnya. "K-kamu mau sarapan sama apa?" tanya Jingga gugup. Sebelum menjawab Badai memperhatikan Jingga, dia menarik senyum. "Nasi goreng." Jingga yang mendengar jawaban itu meraih centong nasi lalu mengisi piringnya dengan nasi goreng. "Segini cukup?" "Cukup." Setelah itu Jingga menyodorkan piring ke depan Badai, demikian dia pun mengambil piring miliknya diisi dengan roti dan selai stoberi. "Kak Jingga mau tinggal disini kan?" Pertanyaan itu membuat Jingga yang akan menyuap roti berhenti. Apa dia akan tinggal di rumah ini? Dia menoleh ke arah Badai yang tersenyum. "Yeah, dia bakal tinggal sama kita disini." Bukan Jingga yang menjawab melainkan Badai. "Kalau begitu, gua boleh dong yah ngajak Kak Jingga pergi?" Badai menghela napas, "Rainbow, untuk sekarang jangan dulu yah." "Kenapa?" "Gua nggak bisa ngasih tahu alasannya tapi Jingga emang nggak baik-baik aja." Jingga tentu terkejut karena Badai menjawab dengan lugas. Apa tidak bahaya jika Pelangi mengetahui asal usulnya? "Terus kenapa Kak Jingga di ajak tinggal disini kalau nggak boleh gua ajak main?" Ingin sekali Xavier menguncir bibir Pelangi saat ini juga. "Lo boleh ngajak Jingga main tapi untuk keluar rumah, gua nggak izinin." Pelangi manyun. "Padahal gua seneng banget waktu kak Jingga mau tinggal disini." "Rainbow Lo harus ngerti, oke. Bukannya gua pernah cerita kalau akan ada saatnya nanti Lo bakal terkurung dan itu waktunya udah dekat." Pelangi tersentak kaget. Dia memandang Badai dengan pandangan mata membulat. Pelangi mendorong piring sarapannya, melipat tangan di atas meja lalu menenggelamkan wajahnya di sana. Kenapa harus sekarang? Kenapa dia pun harus ikut di asing kan? Pelangi kan tidak tahu apa-apa. Dan lagi Pelangi tidak bisa menolak karena hidupnya sudah di biarkan Sang Kakak yang mengatur. Pelangi ingin menangis rasanya, bagaimana pun juga jika dia di asing kan itu tidak enak sekali. Jingga menatap Badai tidak mengerti, dia meminta penjelasan pria itu tapi Badai menggelengkan kepala seakan mengatakan tidak sekarang. "Nggak usah manja deh, Rain. Lagian di sana juga Lo bakal dapet pelajaran yang asik. Gua jamin, elo bakal betah tinggal di sana." Xavier membuka mulutnya setelah suasana canggung meliputi meja makan. Pelangi mengangkat kepalanya, "Katanya kemarin gua harus wisuda tahun sekarang, terus kenapa sekarang Abang bilang udah waktunya?" "Gua cuman pengen elo siapin diri, entah setelah wisuda atau sebelum." Pelangi menggembungkan pipinya. "Oke." jawabnya dengan lesu. Badai menatap Pelangi yang tidak melanjutkan sarapannya. Dia tahu ini berat untuk gadis seusia Pelangi. Tapi memang Badai sudah mempersiapkannya dari dulu sebelum waktu ini tiba dia akan menyembunyikan Pelangi. Pelangi ada di sekitar hidupnya, gadis itu akan melakukan apapun demi membantunya dan Badai tidak ingin sang adik mengalami hal yang tidak di inginkan nya. Felix, bukan pria yang mudah hanya dengan bujuk rayu manis. Pria itu lebih dari seorang Monster dalam diri manusia. Jika Badai bertemu dengan Ayahnya lalu menitipkan Pelangi pasti pria tua itu akan ikut campur membantu. Maka jalan satu-satunya hanya mengasingkan Pelangi ke tempat yang bisa di jaga dengan ketat oleh orang-orangnya. Xavier menendang kaki Pelangi membuat gadis itu menatapnya dengan malas, "Kita taruhan gimana?" "Nggak mood gua." "Hadiahnya menguntungkan." "Halah bullshit! Waktu itu elu slalu ngasih iming-iming hadiah sama gua pas gua menang yang gua dapet cuman sekotak Choky." "Yah kan itu beda lagi." "Nggak mau gua." "Ayolah, ini tuh hadiah bukan sembarang hadiah." Sebenarnya Pelangi cukup tergiur jika menyangkut kata hadiah. Terutama jika badai yang mengatakannya tentu dia akan semangat 45. Tapi masalahnya ini Xavier, pria menyebalkan yang katanya akan memberikan Hadiah jika dia mendapatkan nilai bagus. Memang Xavier memberikannya hadiah tapi itu sekotak coklat yang biasa dia makan. Menyebalkan bukan. Pelangi sudah belajar dengan giat untuk mendapatkan nilai terbaik karena demi Hadiah yang di tawarkan Xavier. Saat Pelangi mendapatkan nilai itu hanya mendapat hadiah yang dia pun bisa beli berpuluh-puluh kardus. Sejak saat itu Pelangi tidak ingin mendapat iming-iming Hadiah dari Xavier. "Gua tetep nolak." "Yakin?" "Yakin banget gua." "Ya udah kalau gitu. Padahal gua tuh pengen ngasih hadiah yang Lo bilang ke gua tapi kayanya udah nggak ada minat." Xavier mengangkat bahunya tidak peduli, dia kembali melanjutkan sarapannya. Berbeda dengan Pelangi yang terdiam, hingga beberapa detik akhirnya dia tersadar. Pelangi menggebrak meja membuat penghuni di sana mendelik kecuali Jingga yang hanya bisa mengusap d**a terkejut. Pelangi memandang Xavier dengan pandangan tajam, jangan bilang Pria itu akan memberikan hadiah yang pernah dia inginkan dan ceritakan. Xavier hanya menarik sudut bibirnya dan tentu Pelangi tahu apa maksudnya. "Gua setuju kalau gitu." "Sayangnya penawaran gua udah habis beberapa detik yang lalu." "Ih Xavier." Pelangi akan melemparkan sendok namun deheman dari Badai membuat gadis itu menoleh. Badai menatap Pelangi dengan datar, tahu kesalahan apa yang sudah di perbuat, Pelangi menyimpan sendok dan kembali mendudukkan dirinya. Pelangi menendang kaki Xavier kesal, bibirnya sudah mencibir tapi Xavier tidak peduli. Akhirnya sarapan pagi ini hanya di iringi dentingan garpu dan sendok yang beradu dengan piring. Pelangi cemberut, dia akan menagih janji itu pada Xavier setelah sarapan selesai. Xavier tidak peduli saat kakinya di tendang terus menerus oleh Pelangi. Badai menatap Jingga yang makan dengan begitu anggun tanpa adanya keributan. Dan Jingga hanya bisa sarapan dengan perasaan gugup saat Badai menatapnya dengan intens seperti itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN