15 & 16

1423 Kata
"Nine for all: You are my everything and anything, Kamelia" *** Tertanda hari ini, tanggal lima belas Maret tahun dua ribu lima belas. Hari di mana banyak pertanyaan muncul dalam kepalaku yang sempit ini. ... Sebelumnya aku ingin maaf sekali karena sudah lama tidak menulis apa pun di catatan “You’re My Everything”. Catatan kisah cinta termegah untuk diriku yang aku persembahkan khusus untuk dirimu. Yang jadi alasannya sendiri karena selain aku memang sedikit (tidak sedikit sih, tapi banyak) sibuk dengan berbagai macam kegiatan kuliah yang sangat merespotkan lagi menguras tenaga, kekuatan fisik juga pikiran. Beberapa waktu belakangan memang ada satu atau dua macam hal yang mengganjal pikiranku. Akhir-akhir ini di mana semuanya tak lagi terasa mudah. Yah, dari dulu juga mah yang namanya hidup juga mah apa sih yang mau diharap mudah? Hidup saja kan sama artinya dengan perjuangan juga kesusahan. Kamelia, sejak awal aku punya niat untuk menulis di buku catatan ini agar bisa diperlihatkan padamu suatu saat nanti. Mungkin untuk menunjukkan betapa dalam dan berkesan rasa suka yang aku miliki padamu. Juga agar kamu tau bahwa semua ini bukan hanya permainan atau senda gurau yang tak miliki dasar. Apabila memang ada kelanjutan untuk cerita kita di masa depan nanti. Sekaligus juga untuk ajang pematangan diri, sih. Karena aku pikir tak ada yang lebih cocok untuk seseorang ajak berdiskusi selain memang dirinya sendiri. Aku tidak salah, ’kan? Habis kalau terus-terusan hanya berbincang dengan orang lain yang ada kita malah hanya melihat suatu pemikiran dari sudut pandang orang ketiga dan malah jadi tidak peduli pada anggapan diri sediri. Padahal yang paling penting untuk seseorang itu anggapan dirinya sendiri. Karena pasti hanya ia yang sungguh memahami apa yang tengah ia alami. Jadi, semua yang aku lakukan ini sangat memiliki alasan. Sudah beberapa hari ini kamu sama sekali tidak membalas pesan yang aku kirim untukmu, Kamelia. Kamu tak juga satu kali pun mengangkat telpon dariku. Mungkin kamu tak kalah sibuk dari aku. Tapi, entah kenapa sikap yang kamu tunjukkan itu akibatkan dadaku tak berhenti cenat cenut sejak kemari. Membayangkan beragam kemungkinan yang terjadi pada dirimu. Bukan hanya dari luar saja, tapi dari dalam juga. Seperti, apakah kamu sedang sakit? Apakah kamu baik-baik saja? apakah kamu sehat sentausa? Apa jangan-jangan… aaargh, memikirkan semua itu buat kepalaku terasa ingin meledak. Padahal… sekali lagi… kamu masih belum jadi siapa pun untukku. Dan aku pun bukan siapa pun untukmu. Tapi, rasa yang timbul ini terkadang memang tidak mudah untuk dijelaskan. Sukar untuk ditafsirkan. Aku ingin menghela nafas sebentar, fiiuuh. Aku sangat mengerti, kok. Semua ini memang buat aku resah. Tapi, kamu sama sekali tidak salah. Aku adalah satu-satunya yang harus mempertanyakan banyak hal di sini. Apakah memang keputusan yang benar untuk menyimpan cinta sepihak seperti ini? Terus-terusan saja mengumbar rasa suka di atas secarik kertas. Tapi, tak satu kali pun berani ungkapkan perasaan yang dimiliki dalam hati. Terkadang, terasa seperti pengecut. Jika mengobrol dengan perempuan adalah suatu peristiwa yang hebat untukku pribadi. Lain untuk seorang temanku yang bernama Giofani. Untuk anak itu sendiri mengobrol atau dekat dengan siapa pun belum mengisyaratkan suatu perasaan yang khusus apalagi sampai istimewa. Kenyataan yang ia ucapkan seikit banyak buat aku jadi sangat khawatir. Jangan-jangan… apa benar… untuk dirimu sendiri… aku ini masih juga bukan siapa pun? Tak punya makna khusus. Atau posisi yang bisa dikenang setiap malam sebagaimana aku mengingatmu nyaris setiap waktu? Apa aku memang terlalu berlebihan pada apa yang aku rasakan sendiri, ya? Sebenarnya itulah alasan di balik sikapku yang jadi sedikit ogah-ogahan untuk kembali menulis catatan You Are My Everything ini. Semua jadi terasa kelabu dan membosankan. Memikirkan apakah memang ada gunanya hal yang aku lakukan? Apa jangan-jangan… kesia-siaan? Kamelia, apakah perasaan yang aku miliki padamu ini pada akhirnya tak akan pernah sampai? Kecuali terucap oleh kata. Oleh verbal yang membutuhkan usaha. Kamelia, apa yang sebenarnya sedang kamu pikirkan tentang aku di waktu ini? Kamelia, apakah pernah di waktu yang sama denganku kamu memikirkan pertemuan kita walau hanya satu kali atau sekelebat saja? Kamelia, apa jangan-jangan aku ini seorang pemuda yang bodoh, ya? Padahal sudah jelas tak harus mengharapkan apa pun dalam hidup. Terlebih sesuatu yang berhubungan dengan orang lain seperti cinta. Apakah cerita di buku catatan ini akan jadi suatu kisah sedih tentang perasaan yang tak akan terbalas? Aku tidak tau. Dan kalau bisa aku memang tidak mau tau sampai semua jadi seperti yang aku inginkan. Aku takut. Aku memang lemah serta tak berdaya. Kadang tidak berguna dan hanya bisa berpikir berlebihan bahwa semua orang akan menyukainya. Padahal kan tidak juga. Aku tidak tau hidupku setelah ini, di hari esok akan jadi seperti apa. Apakah catatan ini masih akan berlanjut sampai halaman selanjutnya? Atau akan ada rasa putus asa yang menghantui dan berakhir hancurkan semua? Aku tidak tau, Kamelia. Sampai jumpa. Entah kapan kita bisa berjumpa. Entah kapan atau apakah hal itu akan mungkin untuk terjadi? Aku tidak punya pengetahuan apa pun soal masa depan macam apa yang menanti kita nanti. Dan segala harapan pun beranjak pupus tak meninggalkan jejak. "Ten for everything: You are my all and anything, Kamelia" *** Tertanda hari ini, tanggal enam belas Maret tahun dua ribu lima belas. ... Aku sangat bahagia karena alasan dari perasaan gundah gulana yang belakangan ini aku alami akhirnya menemukan jawabannya juga. Tadi sore kamu menghubungi aku terlebih dahulu, lho. Setelah sekian jam aku menggalau berpikir bahwa ini akan berakhir hanya sekadar jadi sebuah kisah cinta sepihak yang menyedihkan dan tak ada gairahnya. Baru pertama saja, belum mengatakan apa pun kamu sudah menanyakan bagaimana keadaanku. Apakah aku sehat. Bagaimana dengan kehidupan sekolahku. Teman-temanku di kampus. Apakah ada mahasiswi cantik yang aku taksir (eh, kalau yang ini mah yah lupakan saja, yang aku taksir dan jadi fokus pikiranku sekarang kan hanya kamu seorang, Kamelia). Namun, dari beberapa pertanyaan yang bisa jadi kamu rasa sangat sederhana atau bahkan “tidak ada” maknanya itu lah yang telah sukses buat aku merasa seperti sekujur tubuhnya terbang melayang ke langit ke tujuh! Eh, mati dong aku? Jangan, ah. Pahit, pahit, pahit. Kembali ke topik. Nada suara yang kamu gunakan saat berbincang dengan aku barusan mungkin memang terdengar sedikit samar dan mungkin… apa ya? Ogah-ogahan? Setelah aku tanyakan pada teman-temanku salah satu dari mereka yang punya nama Rendra, temanku yang lain, memberi tahu seperti ini, kamu seperti itu karena kamu tak ingin terkesan seperti cewek yang gampangan pada laki-laki yang… (sakit sih mengakui hal ini) belum mereka kenal terlalu dekat. Perempuan yang terlalu semangat dengan laki-laki yang baru mereka temuin bisa jadi akan malah direndahkan dan dianggap gampangan. Padahal tidak semua laki-laki punya otak taruhnya di crotch saja, kok. Seperti aku, otakku ini tempatnya ada di kepala. Asli. Namun, aku mohon tolong percayalah pada diriku ini, Kamelia! Bahwa aku sama sekali bukan tipe cowok yang seperti itu. Yang hanya mmeikirkan hal berbau lendirisasi jika berhubungan dengan lawan jenis. Tidak, aku jauh lebih berdedikasi dan punya harga diri jika menyangkut dengan itu semua. Ah , mari kita ulang bahasan yang sempat melenceng barusan. Di awal percakapan kamu bertanya soal bagaimana dengan keadaanku. Kabar kamu gimana? Itu yang kamu katakan dengan suara yang sangat manis lagi menentramkan jiwa. Oh, aku baik-baik saja kok, begitu aku membalas dengan usaha sembunyikan perasaan grogi yang sedang bergejolak di dalam hati. Kalau kamu sendiri bagaimana? Apa yang saat itu kamu rasakan? Apakah kamu benar-benar peduli padaku karena alasan yang aku harapkan? Atau jangan-jangan aku hanya besar kepala saja dan aslinya itu hanya wujud perhatian biasa antara teman dan tidak lebih dari itu? Aduh, yang namanya berharap pada orang lain itu memang sangat menyulitkan, ya. Ichido dake, satu kali lagi, aku ingin bilang bahwa aku sangat suka sama kamu, Kamelia. Semoga kamu juga rasakan perasaan yang sama dengan yang aku rasakan. Hanya itu yang aku harapkan belakangan ini dan selalu aku pohonkan ke langit di sepertiga malam. Di saat semua makhluk diurnal ttengah terlelap dalam mimpi singkat mereka. Aku bangkit hanya untuk harapan bis amelihat masa depan bersama wanita yang sangat aku suka. Bagaimana menurut kamu sendiri? Apa saat ini kamu sedang terkesan dan merasa sangat berbunga-bunga setelah mengetahui perjuanganku untuk dapatkan dirimu dengan berusaha melobi langit? Melobi Sang Maha Pemilik hati seluruh hamba ciptaanNya? Apa begitu? Aduh, membayangkannya saja tiba-tiba aku merasa jadi salah tingkah. Maukah kamu menjadi milikku dan menghabiskan seluruh sisa hidup bersama? Apakah memang bisa? Atau jangan-jangan hanya khayalan dan ekspejtasi yang tidak realistis belaka? Aku tidak akan pernah tau apa yang jadi jawabannya jika kamu belum beri tanda untuk sebuah penerimaan, Kamelia. Semoga kamu tau apa jawabannya saat sudah membaca buku ini suatu saat nanti, Kamelia. Hehehe, aku suka kamu, Kamelia. Muaah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN