“Lo bukan tipe gue, perlu Lo tau selera gue CEO kaya raya yang bisa bawa gue keluar dari kemiskinan. Lagian di sekolah aja Lo oneng banget gimana mau cari kerja di luar saja dengan nilai Lo yang sering jeblok itu!”
Maureen kembali teringat akan ucapannya pada Anjas beberapa tahun lalu, saat keduanya masih sekolah. Maureen memang memiliki kepintaran di atas rata-rata, walaupun memiliki sikap kasar dan tempramental, tapi Maureen selalu unggul dalam pelajaran. Berbanding terbalik dengan Anjas. Lelaki berparas tampan itu sering dianggap bodoh oleh Maureen, bukan karena nilainya yang sering jeblok, tapi juga karena lelaki itu kerap menempel padanya.
Anjas memang tidak pernah segan menunjukkan rasa sukanya pada Maureen, walaupun Maureen terus menolaknya berulang kali tapi Anjas tidak pernah menyerah.
Situasinya kini berbalik, dimana kepintaran Maureen tidak membawanya pada kehidupan yang lebih baik. Tapi Anjas justru berhasil membuktikan bahwa lelaki itu bisa sukses walaupun dulu otaknya dianggap pas-pasan.
“Malu banget!” Maureen mengusap wajah dengan kedua tangannya. “Ya ampun, gue malu banget. Gimana nasib gue setelah ini?” tahu wanita yang menjadi lawannya kemarin malam adalah salah satu orang penting di kantor ini, membuat maureen ketar-ketir.
Tidak menutup kemungkinan wanita yang belum diketahui namanya itu akan membalasnya kapan saja dengan mempersulit pekerjaan bahkan mungkin bisa saja ia dipecat dalam waktu dekat.
Nasibnya akan semakin parah, saat kehilangan pekerjaan. Bahkan luka di punggung akibat pukulan ikat pinggang yang diberikan kakak tirinya belum juga sembuh, dan jika mereka tahu Maureen kembali menjadi pengangguran, luka pukulan itu akan semakin banyak. Tidak hanya di punggung, tapi juga di seluruh tubuhnya.
“Apapun yang terjadi, jangan sampai kehilangan pekerjaan. Tolong…” lirihnya pelan.
Usai membasuh wajah dengan air dingin, ia segera bergegas keluar untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Ren, tunggu!” seseorang memanggilnya
“Iya, kenapa Mas Ilham?”
Ilham, salah satu karyawan memanggilnya.
“Tolong belikan kopi di bawah, ya? Ini uang dan daftar minuman yang harus kamu beli.”
Maureen tidak segera mengambil secarik kertas dan beberapa uang lembar seratus ribu, ia menatap ke arah uang dan Ilham secara bergantian.
“Kembaliannya untuk kamu, masih ada lima puluh ribuan. Kalau kurang nanti bilang aku,”
Ekspresi Maureen berubah seketika. “Nah,, gitu dong Mas Ilham. Kan, jadi semangat.”
“Dasar mata duitan.” sindir Ilham.
“Bukan mata duitan, tapi realistis.”
Usai menerima uang dan secarik catatan di kertas kecil, Maureen segera bergegas menuju cafe yang masih ada di satu gedung yang sama. Hanya saja letaknya ada di lobi utama, empat lantai dari posisinya saat ini.
Harga kopi di cafe tersebut membuat Maureen menggeleng, selain mahal juga porsinya sangat sedikit. Ia kerap mengeluhkan kebiasaan para pekerja kantoran, yang lebih memilih untuk membeli kopi di tempat-tempat seperti itu, padahal rasanya nggak jauh berbeda dengan kopi kemasan.
Uang kembalian berjumlah enam puluh ribu, artinya uang tersebut akan masuk kedalam kantong pribadinya. Memang menjadi salah satu alasan Maureen bertahan bekerja di perusahaan Adiguna, selain dapat uang gaji yang memang lumayan, juga karena banyak uang sampingan yang didapatnya.
Maureen bergegas kembali ke lantai empat, dimana ia harus mengantarkan kopi tersebut pada Ilham. Tapi rupanya lelaki itu tidak ada di meja kerjanya, seseorang mengatakan Ilham ada di ruangan dua, dimana lelaki itu sedang mengikuti meeting.
Maureen menghela, artinya ia harus mengantarkan minuman tersebut ke tempat dimana Anjas dan adiknya berada.
“Permisi, Mas Ilham kopinya sudah,” dengan sangat hati-hati, Maureen masuk ke ruang meeting. Ternyata meeting sudah selesai namun beberapa orang masih berkumpul disana termasuk Anjas, Siska, Wulan dan si wanita rese yang tidak lain adalah adiknya Anjas. Saat mereka satu sekolah dulu, Maureen tidak tahu bahwa Anjas memiliki adik yang begitu menyebalkan.
“Bawa kesini, Ren.” titah Ilham.
“Tadi di atas meja.” lanjutnya.
Maureen mengangguk, menaruh kopi yang berjumlah enam cup itu di atas meja. Jenisnya ada dua, es kopi dan kopi panas.
“Aku mau kopi panas, bawa sini!” ucap si wanita tengil, lengkap dengan tatapan jahil padanya
Maureen menghela, dalam hati ia berharap wanita itu tidak mancing keributan di tempat ini. Nasib pekerjaannya benar-benar dipertaruhkan.
Maureen mendekat, membawa cangkir plastik berisi kopi panas pada wanita itu.
“Silahkan, Nona.” Sebab ia tidak mengetahui namanya, untuk menghargainya, Maureen menyebut Nona.
“Namaku Anjani! Bukan nona.”
“Maaf, saya nggak tahu. Ini kopinya, Bu Anjani.”
“Aku masih muda! Kenapa kamu bilang Ibu?!” kesalnya.
Maureen menghela, “Iya Anjani. Maaf,”
“Disini aja kelihatan ramah, beda banget pas di Bar kemarin. Kaya preman!” ucapan Anjani berhasil membuat beberapa orang menoleh, termasuk Anjas.
“Dek,” Anjas menegur dengan lembut, sementara Anjani masih terlihat kesal dan tidak terima.
Saat Maureen memberikan kopi panas pada Anjani, ia terlihat sengaja tidak menerimanya dengan baik hingga kopi tersebut jatuh dan mengenai kaki Maureen.
“Aduh, sorry. Nggak sengaja.” ucapnya dengan senyum, tidak terlihat sedikitpun merasa bersalah.
“Ren, yang bener dong! Kopinya tumpah, gimana kalau kena Anjani, nanti dia terluka gimana!” kesal Wulan, yang menganggap Maureen sengaja melakukannya.
“Cepat bersihkan!”
“Baik, Mbak.” Maureen segera bergegas mengambil kain lap untuk membersihkan ceceran air kopi di lantai, tepat di dekat kaki Anjani. Sialnya, wanita itu tidak mau menggeser posisi duduknya, hingga Maureen terlihat sedang membersihkan kaki Anjani.
Anjas yang melihat kejadian itu hanya bisa menghela lemah, ia tidak bisa berbuat apapun, walau ingin.
“Sudah bersih, maaf saya nggak sengaja menjatuhkan kopi nya.” Maureen minta maaf, sebelum akhirnya ia pamit keluar dari ruangan itu
Berusaha untuk tidak marah atau melampiaskan kekesalannya dengan cara brutal seperti biasanya. Maureen sadar, saat ini ia butuh pekerjaan, menjadi pengangguran hanya akan mempersulit hidupnya. Tidak hanya kekurangan uang tapi bisa dipastikan ia pun kehilangan nyawa akibat dianiaya oleh ibu dan kakak tirinya.
“Ya ampun! Tolong lah kirimkan lelaki kaya raya untukku! Aku bosan hidup seperti ini terus.” ucapnya sambil menengadahkan wajahnya ke atas.
“Tolong! Aku ingin hidup normal seperti orang lain!” pintanya lagi, memelas dengan suara merintih.
“Maaf, Anjani sudah keterlaluan. Dia memang sedikit pendendam.”
Suara laki-laki terdengar sangat dekat di telinga Maureen, ia pun menoleh ke arah belakang dan mendapati Anjas sudah berdiri di belakangnya.
“Anjas?” Maureen tidak percaya, lelaki itu mengikutinya.
“Aku minta maaf,” lanjutnya dengan sopan dan lembut.
Maureen mengerjap tidak percaya.
Lelaki yang seharusnya bersikap acuh bahkan mungkin membencinya, justru bersikap sebaliknya. Anjas terlihat sopan dan tidak menunjuk kebencian sedikitpun padahal Maureen yakin, saat ia menolaknya dulu, Anjas mengalami patah hati yang begitu besar, sebab satu Minggu setelah insiden penolakan itu, Anjas pergi dan memutuskan pindah sekolah.
“kamu nggak benci aku?” tanya Maureen spontan.