Bab 1. Aku si wanita Bar-bar
Maureen, menghisap sebatang rokok di atap sebuah gedung tinggi bersama temannya Alifa.
Keduanya tengah menikmati makan siang disana, yang menjadi tempat mereka berdua menghabiskan jam istirahat dan di tempat itu juga keduanya kerap saling bertukar pikiran, menceritakan segala keluh kesah yang terjadi dalam hidup masing-masing.
“Yakin, Lo mau kerja di tempat kayak gitu, Ren?” Alifa mengambil rokok dari tangan Maureen, lantas menghisapnya.
Alifa dan Maureen bukan perokok aktif, menikmati rokok hanya saat situasi hati sedang tidak baik-baik saja.
“Iya. Penampilan gue udah meyakinkan jadi LC.” Maureen berdiri, bergaya layaknya seorang model.
“Gue cantik, body bagus, apalagi yang kurang?” senyum pongah terlihat di wajahnya, seolah ia benar-benar menginginkan pekerjaan itu, padahal yang terjadi justru sebaliknya, ia tidak menginginkan pekerjaan yang mempertaruhkan harga dirinya.
“Lo cantik banget, Ren.” pujian Alifa, bukan karena keduanya berteman baik lantas memuji, tapi wajah dan penampilan Maureen memang sangat cantik. Jika saja ia terlahir dari keluarga kaya raya, dipastikan Maureen akan secantik putri raja. Sayangnya, Maureen justru terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, bahkan ia dianggap sial oleh keluarganya sendiri.
“Lo cocoknya jadi istri CEO muda, bukan jadi OB kayak gini.”
Maureen tertawa. “Gue berharap ada lelaki kaya yang mau nikahin gue, membawa gue keluar dari kemiskinan dan hidup bahagia dan gak perlu di siksa Tante Ratih lagi.” Maureen menatap langit, lalu menghela lemah.
“Supaya Lo nggak disiksa sama Kakak tiri Lo juga,” lanjut Alif prihatin.
Maureen menoleh, “Kenapa gue nggak mati aja sejak kecil, lebih baik mati daripada seperti ini.” keluhnya.
“Balik lagi ke pekerjaan Lo yang baru, yakin mau kesana?” Alifa membahas topik pembicaraan awal, menanyakan kesungguhan Maureen bekerja di Bar.
“Iya. Gue udah yakin dan gue juga udah konfirmasi sama mucikari disana.” Maureen mengiyakan.
“Jangan, Ren. Gue nggak setuju Lo kerja di tempat kayak gitu, gimana kalau ada lelaki hidung belang dan berniat jahat sama Lo.”
“Nggak lah!” Maureen menyangkal.
“Bang Adi bilang, kalau kita nggak ada keinginan open BO, dia akan melindungi kita dari lelaki hidung belang.”
“Tapi Lo cantik,” Alifa tetap merasa ragu, mengingat penampilan yang dimiliki Maureen bisa membuat lelaki hidung belang birahi.
“Makasih untuk pujiannya, gue emang cantik sih!.” Maureen tersenyum jahil.
“Justru karena gue cantik, makanya gue setuju kerja di sana. Dengan kecantikan yang gue punya ini, bisa menarik pelanggan dengan mudah dan bisa dapat banyak uang. Gue bosen miskin, Alifa!” Maureen menghela.
“Bayangin aja, setiap bulannya gajian gue raib di ambil tuh Wewe gombel. Hanya disisain ongkos itu aja minus, sementara untuk makan pun susah, jadi lebih baik cari kerjaan tambahan supaya bisa perawatan, siapa tau nanti ada CEO kaya raya nyantol, nasib orang nggak ada yang tahu, kan?”
“Amin!! Gue Aminin paling kenceng!”
“Nama Lo udah islami banget, gue yakin do’a Lo bakal di dengar. Makasih ya.” mereka pun tertawa.
Yang tidak diketahui Maureen hari itu, ternyata alam mulai bekerja atas setiap ucapannya dimana kehidupan luar biasa akan menghampirinya.
Malam harinya,,,
“Lo udah tahu kan, bagaimana prosedur cara kerjanya?” Bang Adi, orang yang mengajaknya ke tempat itu baru saja selesai memberikan bimbingan singkat, bagaimana cara menjual minuman dan menemani tamu.
“Di sini nggak ada tamu kere. Semua tamu kaya raya dan bisa kamu manfaatkan dengan meminta tips sebanyak mungkin dan uang tips akan masuk kantong pribadi tanpa potongan.” jelasnya.
Maureen tersenyum,membayangkan keuntungan yang akan didapatnya nanti.
“Penampilan saya gimana? Masih ada yang kurang, nggak?” Maureen berdiri menunjukkan penampilannya, ia mengenakan rok span sebatas paha dengan atasan kaos berwarna putih yang mencetak lekuk tubuhnya dengan sempurna.
“Sudah cantik. Kamu bisa langsung kerja.”
“Oke, Bang. Makasih.”
Di bar, ada beberapa LC yang juga berprofesi sama sepertinya. Sistem senioritas sudah pasti ada, termasuk Bar tempat Maureen bekerja saat ini. Tapi Maureen tidak peduli, selagi tidak mengganggu dan merugikannya.
Maureen mengambil beberapa minuman yang akan ditawarkan pada sekelompok lelaki muda. Target pertama sudah ditentukan, dari penampilannya sudah dipastikan mereka adalah pengusaha muda sukses.
“Itu milik gue! Cari tempat lain!” Seorang wanita berpenampilan tidak kalah sexy menyerobot.
“Lo anak baru cari tamu lain!” lanjutnya, sambil mendorong Maureen, di hari pertamanya bekerja tidak boleh ada drama perkelahian walaupun dulu, ia terkenal dengan sebutan si wanita bar-bar.
Maureen tersenyum, lantas mengganti tujuannya ke arah lain dimana sekelompok pemuda ada di sana. Penampilannya memang tidak se eksklusif tadi, tapi Maureen yakin mereka berasal dari keluarga kaya. Ia mendekat menawarkan minuman.
Kedatangannya disambut baik, beberapa diantaranya langsung mengambil minuman. Namun, salah satu dari mereka mulai bersikap tidak sopan dengan satu tangannya mulai menggerayangi bagian tubuh Maureen.
“Bungkus, mau?” bisiknya.
“Saya bukan gorengan, bisa di bungkus gitu aja.” tolaknya sopan.
“Berapa harganya sebut saja, nanti bisa di bicarakan.”
“Maaf, saya beneran nggak di bungkus.” Maureen melepaskan tangan lelaki itu yang mulai bergerilya di paha dan bagian tubuh sensitif lainnya. Merasa sudah sangat dilecehkan dan terganggu, Maureen menepis tangan lelaki itu.
“Jual mahal Lo?” sentaknya.
“Cewek murahan, tapi jual mahal!!” lanjutnya, dengan tatapan kesal.
“Saya nggak jual diri.” Maureen beranjak dari tempat duduknya. “Silahkan cari wanita lain.” namun cengkraman kuat menahan tangannya.
“p*****r!” umpat lelaki itu dan langsung menciumnya tanpa aba-aba, dengan kasar dan memaksa. Maureen berusaha memberontak, tapi tenaga lelaki itu jauh lebih besar darinya.
“Lo ngapain godain cowok gue, b***h!”
rambut Maureen dijambak, hingga ia merintih kesakitan.
“Murahan!” wanita yang belum dilihat wajahnya itu menarik rambut Maureen menjauh dari lelaki yang menciumnya, lantas tamparan keras mendarat di wajahnya.
“Berani banget Lo godain cowok gue!”
Pipinya panas dan sakit. Maureen membetulkan rambutnya yang sudah terlanjur acak-acakan dan tanpa aba-aba ia pun balik menamparnya.
“Cowok Lo b******k, murahan. Lebih baik Lo beli tali dan ikat di rumah biar nggak berkeliaran di tempat kayak gini. Bahaya!”
“Apa?!” saat wanita itu hendak kembali memukul, namun Maureen terlebih dulu menahan tangannya, melakukan perlawanan.
“Jangan pernah berpikir Lo kaya dan bisa menindas gue seenaknya!” Maureen mendorong tubuh wanita itu dengan sekuat tenaga hingga terjatuh.
“Gue bukan w************n, catat itu!” Maureen memukul kepala wanita itu dengan cukup keras hingga ia mengaduh kesakitan.
“Awas aja! Gue laporin sama kakak gue!”
“Laporin sana, gue nggak takut! Gue tunggu disini, suruh Kakak Lo datang!” Maureen balik menantang dengan berani, tidak terlihat sedikitpun ketakutan dalam dirinya.
Walaupun semesta tidak mengabulkan doanya, tapi Maureen masih tetep si wanita bar-bar seperti dulu, tidak ada yang berubah.