Bab 2. Bertemu kembali

1008 Kata
“Mana Abang Lo?! Suruh dia datang ke sini, gue nggak takut!” Maureen maju satu langkah, mendekati wanita yang sudah berani menamparnya dengan sangat keras itu, hingga menyisakan merah di satu sisi wajahnya. “Mana? Abang atau g***n Lo!” sentaknya lagi, membuat si wanita yang tidak diketahui namanya itu beringsut mundur, takut dengan sikap Maureen yang terkesan sangar. “Nyari apa Lo? Pacar Lo yang kayak banci itu? Nggak ada! dia udah pergi ninggalin Lo!” wanita muda itu terlihat mencari seseorang. “Nggak! Siapa yang nyariin dia,” tapi tatapannya tidak bisa berbohong, bahwa ia mencari sosok lelaki yang sudah tidak diketahui keberadaannya itu. Entah dimana lelaki itu, bahkan beberapa teman-temannya pun raib tanpa jejak, meninggalkannya berdua bersama Maureen. “Lo sendiri sekarang, bocah!” Maureen semakin senang melihat wajahnya yang terlihat ketakutan, dilihat dari wajah dan bentuk tubuhnya, sepertinya wanita itu masih sangat muda. Mungkin masih menempuh pendidikan menengah akhir. “Nggak, Abang gue pasti datang. Dia ada disini ko,” walaupun nyaris putus asa karena sang Kakak yang ditunggu tidak kunjung datang, tapi ia masih memiliki sedikit nyali untuk melawan. “Awas aja Lo, kakak gue direktur besar. CEO ternama, Lo bakal dihabisi sama dia.” Maureen terkekeh, “CEO? Jangankan CEO, mafia aja gue nggak takut. Apalagi Lo yang salah, Lo yang cari ribut.” “Lo yang godain pacar gue!” tuduhnya. “Pacar Lo yang sangean, nggak bisa lihat cewek bening dikit langsung ngaceng!” “Lo, pelacu,,, Abang!” tiba-tiba raut wajahnya berubah sumringah. “Abang.” panggilnya lagi dengan nada merengek. “Itu Abang gue, mampus Lo!” Ia mendorong tubuh Maureen, berlari ke arah lelaki yang posisinya ada di belakang Maureen. “Abang dia nampar aku,” terdengar rengekan yang membuat Maureen berdecak kesal. “Lo yang duluan nampar gue, bocah!” Maureen berbalik hendak membela diri, namun saat melihat wajah lelaki di depannya tiba-tiba saja ia terdiam. “Abang, dia nampar aku, godain Niko juga. Laporkan dia ke polisi Bang, biar tau rasa!” aduan bernada rengekan itu terdengar samar, bahkan suara dentuman musik dari ruangan lain yang sebelumnya terdengar nyaring, kini seolah samar. Waktu terasa seperti berhenti, saat kedua tatapan mereka bertemu. Sorot teduh dengan dua bola mata berwarna coklat itu masih sama, tidak ada yang berbeda. Hanya bentuk tubuh dan penampilannya saja mengalami banyak perubahan, menjadi lebih matang dan tampan. “Lo takut kan?! Abang pukul dia,” Lelaki itu bergeming, menatap singkat. “Ayo kita pulang,” ajaknya. “Nggak mau pulang, Abang harus kasih dia pelajaran dulu.” rupanya ia masih bersikeras ingin memberikan Maureen pelajaran. “Nggak perlu, pasti kamu yang membuat masalah disini.” “Nggak! Dia yang mulai duluan, aku nggak…” kalimatnya terhenti, saat lelaki itu menariknya untuk pergi. “Maaf, Adik saya sudah membuat keributan.” ucapnya sebelum benar-benar pergi. Tatapan keduanya kembali bertemu, tapi hanya sesaat sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Maureen yang masih terpaku sekaligus terkejut dengan pertemuan mereka. “Ren, kamu nggak apa-apa?” Adi datang, setelah mendapat laporan ada keributan di salah satu ruang VIP. “Nggak!” Maureen merapikan rambut dan pakaiannya. “Di hari pertama bekerja, sudah ribut-ribut kayak gini?!” Adi menatap dan menghela ke arah Maureen. “Ini hari pertama loh, Ren..” “Iya. Aku minta maaf, tolong jangan pecat aku. Oke?” Maureen tersenyum, memohon berharap masih diberikan kesempatan untuk tetap bekerja. Adi tidak langsung mengiyakan, ia menatap ke arah Maureen dengan perasaan kesal. “Tamu adalah raja, kamu harus paham konsep itu.” “Iya..iya.. aku paham. Sorry udah bikin kekacauan di hari pertama, besok nggak lagi ko. Oke, Bos?” Maureen menepuk pundak Adi, lantas kembali masuk kedalam untuk melanjutkan pekerjaannya. Kekacauan yang baru saja terjadi dianggap tidak pernah ada, ia bersikap layaknya tidak terjadi apapun dan kembali mengambil minuman untuk disajikan pada beberapa tamu lainnya. Ia berhasil menyelesaikan pekerjaan sampai pukul dua belas malam, dengan perasaan dan pikiran kalut, Maureen berhasil mengantongi uang sebanyak 500 ribu. Jumlah yang tidak bisa dianggap kecil, sebab ia hanya bekerja beberapa jam saja. Setelah mengganti pakaian dengan lebih tertutup, ia memutuskan untuk pulang menggunakan sepeda motor miliknya. Di tengah perjalanan yang mulai sepi, Maureen tiba-tiba tersenyum. Senyum samar yang secara perlahan berganti menjadi gelak tawa. Ia nyaris seperti orang gila, tertawa sambil mengemudikan motor. Tawa itu perlahan mulai sumbang, berubah dengan helaan nafas berat. Bagaimana mungkin dari sekian banyak orang di dunia ini ia harus kembali bertemu dengan lelaki itu. Lelaki yang pernah mengisi hati dan harinya dulu, saat keduanya masih sekolah menengah akhir. Keduanya berada di satu kelas yang sama bahkan duduk di bangku yang sama juga. Anjas namanya, keduanya berkenalan saat Anjas menjadi anak pindahan dari sekolah di luar daerah. Karena Maureen memang dikenal sebagai salah satu siswa temperamental, ia tidak memiliki banyak teman dan lebih memilih menyendiri di bangku paling belakang. Hari itu, Anjas datang dan untuk pertama kalinya Maureen memiliki teman satu bangku. “Lo bukan tipe gue. Gue suka lelaki yang berasal dari keluarga kaya raya. Maunya sama CEO muda, bukan lelaki biasa kayak Lo!” Maureen masih ingat dengan jelas saat ia menolak Anjas, dulu. Lihatlah bagaimana penampilan Anjas hari ini, setelah sekian lama berpisah dan tidak pernah saling mengetahui kabar masing-masing, Anjas berubah menjadi sosok yang begitu menawan. Penampilannya bak CEO muda, sosok lelaki idamannya dulu. Lampu merah menghentikan laju motornya, dimana senyum masih menghiasi wajah Maureen walaupun tidak ada yang menarik, yang terjadi hari ini. “Lo masih jadi sampah, Ren. Lihat si Anjas, dia udah jadi CEO sungguhan. Dan Lo masih kayak p*****r gini. Miris.” ucapnya sambil menatap pantulan dirinya, di kaca spion. “Saat ini Anjas pasti ngetawain Lo. Cewek sok cantik yang dulu menolaknya, berakhir menjadi sampah kayak gini, sementara ia berhasil menjadi lelaki sukses idaman banyak wanita.” Maureen mengusap wajah dengan kedua tangannya “Menyedihkan sekali hidup Lo, Ren.” Lanjutnya. Tanpa sadar lampu sudah berubah warna menjadi hijau, dimana beberapa kendaraan yang ada di belakangnya membunyikan klakson. “Iya, iya! Sabar!” ucapnya, sambil mengacungkan jari tengah lalu menarik pedal gas di tangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN