Membawa Elaine Pergi

1122 Kata
"Cepatlah, Elaine, kenapa kau lelet sekali hari ini," ucap Desy memberengut kesal, wanita berumur yang menjadi ketua tim bagian pemasaran itu menatap Elaine tak suka. "Haruskah sekarang?" cicit Elaine pelan, dia benar-benar tak sanggup bertemu dengan lelaki itu. "Kau mau dipecat, jika iya akan kubuat surat pengunduran dirimu." Mendengar hal seperti ini, Elaine langsung berdiri dengan tegap. Elaine meringis sambil memijat pelan bahu Desy. "Tak perlu, aku akan datang sekarang." Elaine masih menampilkan senyum paksanya ketika melihat Desy. Wanita itu bahkan berjalan mundur untuk sampai ke pintu. Ingin mengulur waktu, Elaine berjalan dengan langkah pelan. Bahkan dia sengaja berputar untuk sampai di lift. Menyapa semua orang yang berpapasan dengannya, Elaine menyembunyikan rasa gugupnya saat ini. Embusan nafas kasar terdengar dari mulutnya, Elaine tak bisa menghindar lagi setelah dia menunda waktu lebih dari 10 menit. Dengan terpaksa, akhirnya dia masuk ke dalam lift, memencet angka menuju lantai paling atas gedung ini. Berkali-kali Elaine mengatur nafasnya agar kembali normal. Berbicara pada dirinya jika semua ini akan baik-baik saja. Setelah itu, dia bergerak ke ruangan yang ada di depannya. Suara dominan dari dalam menyambutnya masuk ketika dia mengetuk pintu. Elaine merubah raut wajah tegasnya sebelum dia masuk ke dalam. "Selamat pagi, Pak, Anda memanggil saya?" sapa Elaine dengan ramah, meski begitu, dia tak bisa menghentikan degup jantungnya yang berdebar kencang. Devan tak langsung menjawab, lelaki itu menutup laporan di depannya lalu mengamati Elaine. Mata lelaki itu tajam, menatap Elaine dari ujung kaki sampai ujung rambut. Elaine yang melihat ini menjadi jijik, dia terlihat kesal karena baginya, CEO barunya itu menatap dirinya dengan pandangan penuh nafsu. "Siapa namamu?" "Elaine, Pak," jawab Elaine masih berusaha tetap sopan. Devan mengangguk, dia lalu mulai berdiri dari kursinya dan mendekati Elaine. Lelaki itu duduk di meja yang ada di hadapan Elaine, tangannya menyilang di dada. Seolah menunjukan pada Elaine siapa yang berkuasa di sini. "Kamu tahu apa kesalahanmu?" Mata Devan tak pernah lepas memandang wajah Elaine, entah mengapa dia merasa familiar dengan wanita tersebut. "Rasanya tak elok mencampur urusan pribadi dengan urusan kantor." Jawaban Elaine membuat Devan terkekeh, tak menduga jika wanita itu bisa berpikiran terbuka juga. "Baiklah, anggap ini adalah urusan pribadi." kata Devan. Tak disangka, Elaine tetap bersikukuh dan berkata, "Maka kita tak boleh membicarakan ini di jam kerja." Hal ini membuat Devan menggeram, dia tak suka jika ucapannya dibantah. Tangannya terlihat mengepal sampai buku-buku jarinya memerah. "Aku memecatmu hari ini juga." Tentu saja hal ini membuat Elaine terkejut, matanya sampai melebar dengan mulut terbuka. Tak percaya dengan ucapan yang dilontarkan oleh Devan. Tapi tiba-tiba wanita itu terkekeh. "Yang berhak memecat saya adalah bagian HRD, dan sepertinya perusahaan ini tidak bisa memecat sembarang orang tanpa kesalahan yang pasti." "Kamu!" Habis sudah kesabaran Devan, dia tak menyangka akan bertemu dengan wanita yang pandai untuk mendebatnya. Tangannya terulur menunjuk wajah Elaine dengan marah. Tapi sampai beberapa saat, tak ada yang keluar dari mulutnya. "Apa kau tak tahu siapa aku, aku adalah." "Anak dari Pak Gunawan Calief, pemilik perusahaan ini." Dengan beraninya, Elaine memotong ucapan Devan. Membuat Devan tak habis pikir, apa wanita itu tak takut padanya? Suasana berubah menjadi mencekam, Devan terkekeh dan mulai berjalan mendekati Elaine. Lelaki itu terus memepet tubuh Elaine, sampai Elaine mundur dan tubuhnya membentuk dinding. "Anda mau apa?" tanya Elaine terbata, nyalinya yang sejak tadi membara menjadi ciut karena terpojok. Wanita itu sedikit takut dengan apa yang akan Devan lakukan. Melihat kelemahan Elaine, Devan semakin gencar mendekati wanita itu. Tinggi Elaine yang hanya sebatas dadanya membuat dia harus menunduk untuk melihat wajah Elaine. Bisa dirasakan, embusan napas hangat yang menerpa pipinya ketika dia mendekati Elaine. "Kenapa wajahmu memerah?" tanya Devan dengan nada berbisik. Entah apa yang harus dilakukan Elaine sekarang. Dalam keadaan seperti ini, otaknya tak mampu berpikir jernih. Tubuhnya hanya bisa diam menegang. Bahkan bibirnya terasa kelu tak mampu berucap. Pintu ruangan terbuka tiba-tiba membuat perhatian mereka teralihkan. Devan langsung berdiri tegak, memasukkan kedua tangannya di saku sambil berpaling. Sedangkan Elaine terlihat memegangi dadanya untuk menetralkan nafasnya. Wanita itu memejamkan matanya sesaat, menetralkan rasa gugup yang mendera tubuhnya. "Maaf, saya tak bermaksud mengganggu," ucap Erik terlihat bersalah melihat kejadian di depannya. Dia mengira jika bos-nya itu sedang bermesraan dengan salah satu pegawai perusahaan. Melihat kesempatan ini, Elaine langsung berlari keluar. Tanpa mengucapkan apapun, dia meninggalkan Devan dan Erik yang melihatnya dengan heran. "Hei, kita belum selesai," teriak Devan menyadari jika Elaine kabur. Lelaki itu berdecak kesal, dengan dahi yang berkerut. Di posisi Elaine saat ini, dia tak berbalik sedikit pun. Tak sabar menunggu pintu lift terbuka, dia nekat untuk turun melewati tangga. Elaine hanya tak ingin dikejar oleh Devan. Sungguh, ini adalah hal buruk jika sampai Elaine tertangkap oleh Devan. Nafas Elaine yang terengah membuat teman-teman kerjanya penasaran. Selvi mendekati Elaine, wajahnya menyiratkan penuh pertanyaan pada wanita yang sudah mempunyai satu anak tersebut. "Ada apa, kenapa pak Devan ingin bertemu denganmu?" tanya Selvi. "Kenapa dengan napasmu, apa kamu habis berciuman dengan pak Devan." Lina yang duduk di sebelah Elaine menyahut, wanita itu juga penasaran dengan yang terjadi dengan Elaine. "Bisakah kalian menghindar, apa kalian tak tahu jika tadi aku sedang berhadapan dengan maut," ucap Elaine menggebu, dia menatap kesal pada teman-temanya yang terlalu kepo dengan urusannya. "Kau ini bagaimana, lelaki tampan seperti itu kau sebut maut?" Selvi tampak tak suka dengan perkataan Elaine, wanita itu bahkan sampai menggebrak kecil meja di depan Elaine. "Sepertinya aku benar-benar akan mati," lirih Elaine dengan lesu. Dia baru menyadari sikapnya tadi bertemu dengan Devan. Sungguh, dia benar-benar keterlaluan. Selvi dan Lina saling pandang, terlihat sekali jika mereka tak paham dengan ucapan Elaine. Baru saja mereka ingin bertanya lagi, seorang wanita paruh baya berdiri di depan mereka menatap tajam. "Kalian ini kerja atau bergosip?" bentak Desy dengan marah. Alhasil mereka semua bubar, Elaine langsung mengerjakan laporan-laporannya dan mengabaikan Desy yang masih ada di sebelahnya. Jam mulai berlalu, hari senin yang padat akhirnya bisa dilalui. Elaine meregangkan otot-otot lehernya yang terasa kaku, jari-jari tangannya juga berbunyi ketika Elaine menggenggam dengan kuat. "Aku pulang dulu, El." Selvi dan juga Lina berpamitan ketika mereka melewati meja kerjanya. Elaine hanya tersenyum, melambai untuk menanggapi. Melihat jam yang sudah menunjukan waktu pulang kerja, Elaine dengan cepat membereskan meja kerjanya. Menyimpan semua dokumen-dokumen di laci, dan tak lupa mematikan layar laptop. Elaine keluar dari ruang kerjanya. Perusahaan mulai sepi karena para pegawai mulai pulang satu-persatu. Elaine tersenyum pada satpam saat melewati pintu kantor. Elaine yang sibuk mencari kunci motor di tasnya, membuat dia tak sadar jika ada seseorang yang sedang memperhatikan dirinya. Dia tersentak ketika tangannya tiba-tiba ditarik, dan ketika dia mendongak, betapa terkejutnya dia adalah itu Devan. Elaine segera berbalik dan ingin berlari pergi. Tapi Devan dengan cepat menggendong tubuhnya di bahu, lelaki itu memasukkan Elaine ke dalam mobilnya. Mencoba berteriak, Elaine menggedor-gedor kaca mobil. Dirinya mulai panik ketika sopir Devan mulai melajukan mobil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN