Kabur

1276 Kata
Mobil terus melaju, mengabaikan teriakan dari wanita yang baru saja masuk ke dalam mobil tersebut. Devan sendiri hanya diam, sibuk dengan teleponnya dan membiarkan Elaine lelah dengan ulahnya sendiri. Tepat ketika wanita itu diam, Devan menyimpan teleponnya ke dalam saku jasnya. "Sudah puas berteriak? Kau sungguh wanita bar-bar, telingaku sakit karena suaramu," papar Devan. "Anda mau membawa saya ke mana? Tolong turunkan saya, saya tidak mau diculik," pekik Elaine. Mendengar itu, Devan malah terkekeh. "Siapa yang mau menculikmu? Kau hanya karyawan rendahan, tidak ada untungnya bagiku," jelas Devan. Mata Elaine melotot mendengar kata rendahan, tangannya bersedekap, sambil mendongakkan wajah sombong. "Jika tidak ada karyawan rendahan sepertiku, perusahaan Anda tidak akan berjalan," protes Elaine. Alis Devan berkerut mendengar itu, tapi tak dipungkiri jika kata-kata Elaine ada benarnya. Tak membalas perdebatan Elaine, Devan hanya diam mengangguk-anggukan kepalanya. "Tolong turunkan saya, Pak," ucap Elaine resah setelah melihat waktu di jam tangannya. Memikirkan tentang Akram, hati Elaine menjadi tak tenang. "Jika urusan kita sudah selesai," jawab Devan. "Urusan kita?" beo Elaine dengan heran. Apa maksud dari bosnya itu? "Ya, urusan kita tadi pagi. Diamlah, kenapa kau cerewet sekali. Kau akan tahu nanti," hardik Devan, dia merasa risih dengan Elaine yang banyak bicara. Sedangkan Elaine hanya mengerucutkan bibir dengan kesal, dia menyandarkan tubuhnya kasar pada sandaran kursi mobil. Tatapannya mengarah pada jalanan yang dia lihat dari jendela mobil di sampingnya. Diam, entah apa yang dipikirkannya. Ketika mobil berhenti, mereka langsung keluar. Hal pertama yang Elaine lihat adalah sebuah showroom mobil yang sangat mewah. Banyak mobil mewah berjejer rapi di dalam sana, para pekerja masih sibuk berlalu lalang di hari yang mulai senja ini. Perhatian Elaine teralihkan ketika Devan berdiri di depannya. Wanita itu mendongak untuk bisa menatap Devan. Seakan mengagumi, selama beberapa saat Elaine hanya menatap Devan dengan intens. "Hei," omel Devan, dia sudah beberapa kali memanggil Elaine, tapi wanita itu tak mendengarnya. Sekarang ketika dia ada di depan wanita itu, Elaine malah terdiam bengong. Hal ini membuat Devan merasa kesal, tangannya berulang kali melambai di depan wajah Elaine. "Elaine!" Suara bentakan dari Devan membuat Elaine tersadar, wanita itu sedikit tergagap. Dia menatap kesal pada Devan karena membuatnya kaget. "Tak bisakah Anda tidak berteriak?" keluh Elaine. "Sekarang kau menyalahkanku? Bahkan sejak tadi aku telah memanggilmu berulang kali," ucap Devan dengan kesal. Dia berbalik dan berjalan masuk. "Ikut aku!" teriaknya saat sudah jauh tapi Elaine tak ada di dekatnya. Elaine yang masih terbengong hanya bisa mengerucutkan bibir kesal karena diteriaki lagi oleh bosnya. Wanita itu melangkahkan kakinya dengan lebar, agar segera bisa sejajar dengan langkah Devan. Mereka memasuki sebuah cafe yang ada di sebelah showroom mobil. Sambil memesan minuman, Devan menyuruh sopirnya untuk mengambilkan sesuatu. Elaine mengaduk minumannya tanpa berniat meminumnya. Wanita itu menyanggah kepalanya dengan salah satu tangannya. Tak ada yang berbicara satu sama lain, sampai sopir Devan kembali membawakan sesuatu. Devan mengangguk dan membiarkan sopirnya pergi. Setelah itu melemparkan sebuah kertas ke depan dan mengenai wajah Elaine. "Anda tidak sopan, Pak," keluh Elaine lalu duduk dengan tegak, dia mengambil kertas di depannya dan membacanya. "Apa ini?" tanya Elaine menatap Devan dengan alis terangkat sebelah. "Tagihan mobil yang kau serempet tadi pagi." tutur Devan. Sekali lagi, Elaine membaca deretan angka yang tertulis di kertas tersebut. Setelah menyadari berapa total tagihannya, matanya membulat sempurna. Dia menatap Devan tak percaya sambil menggelengkan kepalanya. "Banyak sekali," bisik Elaine pelan. Sesaat mereka berdua hanya diam, Devan sedang menilai reaksi Elaine, sedangkan Elaine masih mengamati kertas di tangannya. Tapi hanya sebentar, seakan sadar, Elaine langsung terpekik. "Anda menyuruh saya untuk membayar semua ini?" Devan mengangguk dengan senyuman puas, matanya masih tak lepas menatap Elaine. "Itu mobil kesayanganku, jadi kau harus bertanggung jawab." Tubuh Elaine merosot di kursi, wanita itu langsung lemas. Hanya tergores sedikit, tapi membutuhkan biaya sampai tiga juta. Bagaimana Elaine bisa membayar uang sebanyak itu? Ya, mungkin bagi Devan uang segitu hanyalah sedikit. Tapi tidak bagi Elaine, uang tiga juta bisa dibuatnya untuk membayar semua tagihannya selama sebulan dan membeli kebutuhan rumahnya. Menghela napas pelan, Elaine memikirkan segala hal yang bisa dia lakukan. Sesekali dia melirik ke arah Devan yang masih tersenyum menatapnya. "Bolehkah saya ke kamar mandi sebentar?" tanya Elaine meminta izin. Tak memikirkan apapun, Devan hanya mengangguk dan membiarkan Elaine mulai berdiri. Dia masih melihat Elaine yang berjalan ragu, bahkan sesekali menoleh ke arahnya. Saat hampir setengah jalan, Devan dibuat kaget karena Elaine mulai berlari ke pintu keluar cafe. Melihat ini, Devan langsung berdiri dan mengejar Elaine. "Hei, berhenti kau!" teriaknya sambil menunjuk Elaine. Tapi Elaine mengabaikan bosnya. Dia terus berlari, mengabaikan kakinya yang mulai terasa sakit. Dia tak boleh tertangkap, atau bosnya itu akan memaksanya membayar tagihan. Gajian masih lama, dan tabungan Elaine tinggal sedikit. Jika Elaine membayar tagihan tersebut, lalu bagaimana dia bertahan tanpa uang sampai akhir bulan nanti? Entah sudah berapa jauh Elaine berlari, dadanya mulai terasa sakit. Dia berhenti sebentar untuk menetralkan napasnya, lalu melepaskan sepatunya. Hari masih senja, tapi karena mendung langit terlihat gelap. Rintik hujan tiba-tiba membasahi bumi, diiringi suara petir yang menggelegar. Merasa Devan tak mengikutinya, Elaine mulai berjalan dengan pelan. Tapi perlahan hujan mulai deras, membuat tubuh Elaine mulai basah. "Sedikit lagi," gumam Elaine melihat halte bus, dia meletakkan tasnya sebagai payung, lalu berlari kecil. Karena tak memperhatikan jalan, Elaine menabrak seseorang di depannya. Untung saja Elaine menjaga keseimbangan tubuhnya, membuatnya tak jadi terjatuh. "Elaine." Mendengar namanya dipanggil, Elaine langsung mendongak. "Rival," panggilnya kaget, karena orang yang ditabraknya barusan adalah rekan kerjanya. "Apa yang kau lakukan di sini?" "Itu tak penting, ayo berteduh dulu," ajak Rival, lalu menggandeng tangan Elaine berlari ke pinggiran toko. Mereka berdua sama-sama tertawa, setelah menyadari jika baju mereka basah kuyup. Apa gunanya berteduh jika sudah basah? "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rival pada Elaine, matanya teralihkan pada sepatu yang ditenteng oleh wanita itu. "Ee, aku, aku." Elaine merasa gugup, dia tak mungkin mengatakan jika sedang kabur. "Tak usah dijawab jika tak bisa menjawab," kata Rival dengan lembut. "Di mana motormu?" "Ada di parkiran kantor." jawab Elaine meringis. "Lalu bagaimana bisa kau sampai di sini?" tanya Rival dengan heran. Tapi lagi-lagi Elaine hanya tersenyum dan tak menjawab. "Mau kuantar?" Akhirnya hanya kata-kata inilah yang keluar dari bibir Rival. Elaine terlihat berpikir sebentar. Jika dia menolak tawaran Rival, artinya dia harus menunggu bus datang setengah jam lagi. Sedangkan Akram pasti sudah menunggu dirinya. Akhirnya dengan terpaksa, Elaine mengiyakan tawaran Rival. Rival tersenyum, dia menggandeng kembali tangan Elaine. Membawanya berjalan di emperan toko untuk sampai di mobilnya. Setelah memastikan Elaine duduk dengan nyaman, Rival mulai melajukan mobilnya. "Terima kasih, Rival," ucap Elaine dengan senyuman. "Maaf telah merepotkanmu, mobilmu menjadi basah karenaku." "Tidak apa-apa, aku senang bisa membantumu," jawab Rival ambigu, entah kenapa dia merasa senang bisa dekat dengan Elaine. Sudah sejak lama dia mengagumi wanita itu, wanita single parent tangguh yang tak pernah merepotkan orang saat di kantor. Perjalanan mereka hanya sebentar, Rival memaksa mengantarkan langsung ke kontrakan Elaine. Dia beralasan tak mungkin membiarkan wanita mengendarai motor di derasnya hujan saat ini. Elaine pun hanya bisa pasrah. Dia tak enak hati jika harus menolak kebaikan seseorang. Ketika mobil hampir sampai di rumah kontrakannya, alis Elaine berkerut melihat sebuah mobil terparkir di depan rumahnya. "Berhenti di sini saja, sekali lagi terima kasih, Rival. Lebih baik kau pulang saja, karena aku tak bisa membiarkanmu basah seperti ini. Di rumah tak ada baju longgar untuk kau pakai," kata Elaine mengusir Rival dengan halus. Untung saja Rival tak mempermasalahkan hal tersebut, lelaki itu langsung melajukan mobilnya begitu Elaine turun dari mobil. Sedangkan Elaine berlari kecil ke arah rumahnya. Dia masih terheran-heran, mobil siapa yang parkir di sini. Tapi tak berlangsung lama untuk mengetahui siapa pemilik mobil tersebut. "Pak Devan." Elaine terkaget, sampai mulutnya setengah terbuka melihat bosnya ada di depan rumah kontrakannya saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN