"Ternyata cukup mudah menemukan alamat rumahmu," sindir Devan dengan bibir terangkat sebelah, lelaki itu duduk di kursi yang ada di depan rumah Elaine. Menyandarkan tubuhnya dengan kaki menyilang.
Elaine mengusap wajahnya yang basah, masih tak percaya jika bosnya akan nekat menghampiri dirinya di rumah.
Belum sempat Elaine berkata, pintu rumah terbuka. Sosok bocah lelaki kecil berlari keluar sambil berteriak, "Mama."
Dengan cepat Elaine berjongkok, tak menyambut pelukan anaknya, tapi malah menahan anaknya untuk berhenti. "Jangan peluk Mama, baju Mama basah nanti kamu ikut basah," ucap Elaine memberikan pengertian.
Akram dengan imutnya mengangguk, dia menggandeng tangan ibunya untuk masuk. Tapi saat dia berbalik, dia terkejut melihat seseorang. Mata bulat Akram menatap Devan tak berkedip.
"Mama," ucap Akram lirih sambil mengguncang tangan ibunya.
Sedangkan Devan tampak kaget. Dia tak menduga jika wanita di depannya sudah memiliki anak. Anehnya lagi, Devan tak bisa berpaling dari wajah polos anak kecil di depannya itu.
"Akram masuk dulu, nanti Mama akan menyusul, oke?" kata Elaine mensejajarkan tubuhnya pada tinggi Akram, sambil mengusap rambut anaknya dengan lembut.
Akram mengangguk kecil, setelah mengecup pipi ibunya dengan singkat, bocah lelaki itu berlari kembali ke dalam rumah.
Elaine memastikan jika Akram masuk ke dalam kamar. Lalu dengan cepat menutup pintu rumah kembali. Sekarang hanya ada sepasang orang dewasa yang sedang ada di depan rumah tersebut. Elaine berbalik menatap Devan tajam dengan tangan bersedekap.
"Apa yang Anda lakukan di rumah saya?" tanya Elaine dengan ketus.
"Tentu saja menemuimu!" jawab Devan tak kalah ketus. "Jika saja kau tadi tidak kabur, aku tak sudi datang ke sini."
"Kalau begitu pulanglah, Pak. Di sini tempat kumuh, Anda pasti merasa tak nyaman," sindir Elaine.
"Ya, napasku menjadi sesak karena terlalu lama di sini. Tapi aku tak akan pulang jika kau belum melunasi utangmu," ungkap Devan.
"Utang?" pekik Elaine dengan alis berkerut dalam.
Devan mengangguk, mengeluarkan kertas dari saku jasnya. Elaine ingat kertas itu, kertas tagihan mobil tadi sore.
"Jika kau tak mau membayar, mari kita urus semua di kantor polisi. Aku sudah mengecek rekaman cctv tempat kau menyerempet mobilku tadi pagi. Kau juga akan dijerat pasal berlapis karena telah menerobos trotoar jalan," kata Devan.
Napas Elaine terasa sesak, tubuhnya tiba-tiba terasa lemas. Tangannya menyandar pada dinding untuk menopang tubuhnya. Pelan-pelan, tubuh Elaine merosot ke bawah. Wanita itu mulai menangis.
"Jangan, kita selesaikan ini baik-baik, jangan dibawa ke kantor polisi," ucap Elaine dengan cemas. Tak bisa dibayangkan jika Elaine sampai ditahan, bagaimana nasib Akram nanti?
"Lalu kenapa tadi kau berusaha kabur?" hardik Devan sedikit berteriak, lelaki itu terlihat kesal dengan sikap Elaine.
"Aku, aku, tak mempunyai uang," jawab Elaine jujur dengan lirih.
Devan yang mendengar ini menggeram marah. Kenapa wanita itu memilih kabur daripada membicarakan ini dengan santai padanya? Ketika Devan ingin memarahi Elaine, pintu kembali terbuka membuat Devan seketika menjadi diam.
"Mama."
Akram keluar dan langsung mendekati ibunya. Bocah kecil itu terlihat sedih ketika melihat ibunya menangis. "Mama kenapa?" tanyanya dengan penasaran.
Elaine dengan cepat menghapus air matanya, memaksakan senyum dan mengusap pundak anaknya lembut. "Mama tidak apa-apa, Sayang. Kenapa membuka pintu lagi, Mama sudah menyuruhmu untuk menunggu di dalam, kan?"
"Itu karena Mama sangat lama, Akram sudah lapar dan mbok Sri mau pulang," tutur Akram.
Elaine sampai tak sadar jika mbok Sri masih di sini. Akhirnya wanita itu berdiri dan menggandeng tangan Akram. Dia berhenti sebentar untuk menatap Devan.
"Saya akan mengurusi Akram lebih dulu. Jika Anda berkenan, Anda bisa masuk lebih dulu."
Setelah berkata seperti itu, Elaine membawa Akram masuk ke dalam. Mengabaikan bosnya yang masih ada di depan, dia berharap jika Devan mengabaikan ucapan basa-basinya tadi dan memilih untuk pulang.
Elaine masuk ke ruang makan, dia tersenyum melihat mbok Sri masih berkutat di dapur. "Apa yang kau lakukan, Mbok?" tanya Elaine.
Yang ditanya segera berbalik, wanita paruh baya itu tersenyum pada Elaine. "Membuatkan teh untukmu dan tamumu," kata Mbok Sri.
"Tamu?" beo Elaine.
Mbok Sri tak menjawab, hanya menggerakkan dagu ke arah belakang Elaine sambil tersenyum kecil.
Sedangkan Elaine berbalik dan terkejut ketika Devan mengikutinya ke dalam rumah. Entah kenapa dia merasa gugup dan langsung menatap mbok Sri. "Dia bukan tamuku, Mbok."
Alis mbok Sri berkerut, tapi dia sama sekali tak menyanggah ucapan Elaine. Setelah selesai dengan kegiatannya, wanita paruh baya itu mendekati Elaine.
"Mbok pulang dulu, ya." Tanpa menunggu respon Elaine, wanita paruh baya tersebut langsung pergi dari sana. Tak lupa dia juga tersenyum saat melewati bos Elaine.
Melihat ini Elaine menjadi cemberut, dia tak sungguh-sungguh mempersilahkan Devan masuk. Tapi lelaki itu tetap saja masuk. Mengembuskan napas pelan, Elaine berbalik untuk menatap anaknya.
"Tunggu di sini dan temani teman Mama, Mama ingin mandi lebih dulu," pinta Elaine.
Akram mengangguk dengan polos, lalu melambaikan tangan kecilnya pada Devan. "Om, sini duduk dengan Akram."
Devan mengabaikan tatapan sengit dari Elaine, dan tersenyum mendekat ke arah Akram. Lelaki itu dengan nyamannya duduk di ruangan yang sangat kecil tersebut. Menemani bocah lelaki yang entah kenapa menarik perhatiannya sejak tadi.
Elaine takut jika Devan akan bersikap sombong dengan anaknya. Tapi setelah melihat beberapa saat mereka sedang tertawa, Elaine melonggarkan kewaspadaannya. Lalu segera berpaling dari sana, dia harus membersihkan tubuhnya yang mulai terasa dingin karena air hujan.
Mereka mulai berkenalan, Devan tersenyum ketika Akram mulai bercerita tentang hari-harinya. Mulai dari kesukaan, hobi, mainan, bahkan tentang ibunya. Ada perasaan nyaman ketika Devan melihat Akram tertawa. Perasaan damai yang ingin Devan lihat terus-menerus.
"Di mana ayahmu?" tanya Devan saat Akram mulai berhenti bercerita.
Belum sempat Akram menjawab, suara bantingan pintu membuat perhatian mereka teralihkan. Akram tersenyum senang melihat ibunya sudah datang, sedangkan Devan hanya diam ketika melihat wajah Elaine seperti marah.
Elaine dengan sikap terpaksanya mengizinkan Devan untuk ikut makan bersama mereka. Setelah acara makan selesai, Elaine membiarkan Akram untuk bermain sebentar.
Entah apa yang terjadi, Akram tampak sangat dekat dengan Devan. Bahkan sejak tadi dia diabaikan oleh anaknya. Hal ini membuat Elaine menjadi tak suka. Dia berjalan gusar mendekati anaknya yang sedang duduk berdua dengan Devan bermain robot.
"Akram Sayang, ini sudah malam, ayo tidur!" ajak Elaine.
Akram mendongak melihat ibunya, lalu melihat jam yang terpasang di atas televisi. Menyadari jika ibunya benar, dia mulai membereskan mainannya.
"Ini sudah malam, Om. Akram harus tidur. Jika tidak mama pasti akan marah," tutur Akram.
Devan yang mendengar itu terkekeh, sedangkan Elaine memutar bola matanya malas. Tak menduga jika Akram akan mengadukan hal ini pada Devan.
Setelah merapikan semuanya, Elaine menggendong Akram. Wanita itu menatap Devan dengan pandangan rumit. "Sebaiknya Anda pulang saja, ini sudah malam," pinta Elaine.
Tapi Devan tak menjawab, lelaki itu malah balas menatap Elaine dengan kesal. Seolah dari mata hitamnya dia berkata, 'Aku akan tetap di sini sebelum kau membayar ganti rugi.'
Merasa kesal, Elaine langsung meninggalkan Devan. Dia masuk ke dalam kamar dan mulai meninabobokan Akram. Kepalanya sedikit pusing ketika Akram banyak tanya tentang Devan. Untung saja Akram dengan cepat tertidur setelah Elaine menepuk-nepuk pelan pahanya.
Elaine ikut memejamkan mata, dia sungguh tak ingin keluar dan menemui Devan. Tapi dia tak enak membuat Devan menunggu. Mau bagaimanapun, Devan adalah atasannya di kantor.
Setelah berpikir lama, akhirnya Elaine keluar juga. Dia bersiap untuk berdebat dengan Devan kembali. Tapi saat dia sampai di ruang tamu, dia terkejut melihat Devan tertidur. Lelaki itu terlihat tampan saat memejamkan mata. Sikap buas yang tadi Elaine lihat seolah lenyap sudah.
Merasa kasihan, akhirnya Elaine mengambilkan selimut untuk Devan. Dia mendekat dan mulai menyelimuti Devan. Tapi matanya melebar ketika Devan malah menariknya mendekat. Saking dekatnya mereka, Elaine bisa merasakan hembusan napas hangat menerpa pipinya.