"Apa yang kau lakukan?" Devan bertanya setelah beberapa saat hanya terdiam. Tatapan mata yang tadinya sendu, berubah menjadi tajam saat sadar Elaine berada di atas dadanya.
Elaine pun sama, menyadari posisinya yang canggung, dia langsung berdiri. Wanita itu tampak gugup sambil meremas selimut.
"Saya mengira jika Anda tidur, saya hanya ingin menyelimuti Anda," tutur Elaine gugup, dia tak berani menatap ke arah Devan.
Devan yang mendengar itu mengembuskan napas kasar. Dia mengubah posisinya untuk duduk, tangannya menyugar rambut. Membuat penampilannya menjadi berantakan sekarang.
"Apa Akram sudah tidur?" Tanpa diduga, Devan bertanya dengan lembut.
Hal ini membuat Elaine menatap bosnya itu dengan tatapan rumit. Wanita itu seolah hanya mampu menjawab dengan anggukan kepala. Bibirnya terasa kelu tak mampu berucap ketika mendengar suara Devan yang sangat lembut, seolah sedang mendayu di telinga Elaine. Terdengar begitu indah.
"Baiklah, mari kita luruskan masalah tadi," sindir Devan.
Tatapan yang semula mengagumi, sekarang berubah menjadi kesal kembali. Elaine mengerucutkan bibirnya, mendaratkan tubuhnya dengan kasar di sofa.
"Apa maumu, Pak?" tanya Elaine dengan ketus.
"Karena kau tak mempunyai uang untuk membayar dan tak ingin kasus ini berlanjut ke ranah hukum, maka aku ingin kau menjadi pembantu di apartemenku. Kebetulan aku sedang membutuhkan pekerja rumah tangga. Kau bisa datang seminggu tiga kali selama dua bulan." Devan menjeda ucapannya sambil menatap Elaine, melihat wajah wanita itu sangat cemberut, membuatnya tanpa sadar malah tersenyum.
"Oh ya, satu lagi, karena aku belum menemukan seorang asisten, kau bisa menjadi asistenku untuk sementara di kantor. Tenang saja, akan ada bayaran untuk asisten, tapi tidak dengan pembantu," imbuh Devan.
"Eits, kau tak boleh menolak atau aku akan melaporkan perkara ini ke kantor polisi," kata Devan menyela ketika melihat Elaine ingin protes. Lelaki itu terkekeh, menikmati wajah kesal Elaine yang entah mengapa terlihat menggemaskan di matanya.
Devan bahkan tak membiarkan Elaine berucap sepatah kata pun. Lelaki itu langsung berdiri, merapikan jasnya lalu berjalan keluar dari rumah Elaine.
"Aku menunggumu besok pagi, jangan telat."
Setelah berkata seperti itu, Devan langsung masuk ke dalam mobil. Lelaki itu memutar mobilnya, lalu melaju meninggalkan kawasan perumahan kontrakan Elaine. Selama perjalanan pulang, dirinya tak bisa menahan untuk tidak tersenyum. Devan sendiri tidak tahu, entah apa yang dipikirkannya kali ini.
Selepas kepergian Devan, Elaine menutup pintu dengan kasar. Wanita yang sudah memiliki satu anak tersebut tampak mengumpat di setiap langkah kakinya. Bahkan sampai dirinya menutup mata, hatinya tak bisa berhenti untuk mendoakan segala hal buruk untuk bosnya itu.
*
Karena memikirkan Devan, membuat Elaine tak bisa tidur dengan nyenyak. Alhasil pagi ini dia bangun terlambat. Bahkan dia tak membuatkan sarapan untuk Akram, dan menyerahkan semuanya pada mbok Sri.
Elaine juga lupa jika motornya kemarin masih ada di perusahaan. Sekarang, dia sedang berlari menuju halte bus. Berharap dia tak ketinggalan bus.
Napas Elaine tampak ngos-ngosan ketika menaiki bus. Untung saja dia sampai tepat waktu. Andai saja dia molor lima menit saja, sudah pasti dia tak dapat bus pagi ini.
Sambil mengusap peluh yang membasahi dahinya, Elaine menatap ke arah jendela bus. Salah satu kakinya mengetuk-ngetuk dengan irama, seolah sedang menghitung waktu.
Mendung kembali datang, membuat Elaine merasa tak nyaman. Sejak dulu dia sungguh tak suka dengan hujan. Hal itu hanya akan membuatnya merasa pusing dan cepat terkena flu.
Bus yang ditumpangi akhirnya berhenti di halte yang tak jauh dari kantor. Elaine kembali berlari karena waktu absen sudah hampir habis. Untung saja ada pak Mamat--seorang satpam yang membantunya. Elaine tersenyum pada lelaki paruh baya yang masih terlihat tegap dengan badan berisi tersebut. Berkat pak Mamat, Elaine masih bisa absen di detik-detik terakhir.
Dia mulai berjalan, menyapa orang yang ditemuinya di jalan. Elaine masuk ke dalam lift, hampir saja menekan tombol. Tapi tiba-tiba pintu tertahan dan seseorang masuk ke dalam.
Elaine tersenyum ketika menyadari jika itu adalah Rival, teman kerja yang mengantarkannya kemarin.
"Pagi," sapa Elaine lebih dulu.
"Oh, hai, pagi juga, El."
Mereka berdua mengobrolkan beberapa topik yang tak penting. Tapi karena hal itu, mereka jadi tertawa bersama. Bahkan sampai masuk ke dalam ruang pemasaran, mereka masih berjalan bareng dengan senyum menghiasi wajah mereka.
Hal ini membuat Silvi yang melihat bersorak senang. "Cie, ayo segera disegerakan," ucapnya dengan sedikit berteriak menggoda.
Tentu saja itu membuat beberapa teman kerja Elaine tertawa. Mereka juga mengolok-ngolok Elaine dan membuat Elaine merasa malu. Dia segera meninggalkan Rival dan duduk di meja kerjanya. Sesekali dia melotot marah pada Silvi dan Amel yang masih menggodanya.
Suasana ruang kerja pemasaran tersebut sedikit ramai pagi ini. Sampai tak menyadari seseorang baru saja masuk dan menatap mereka dengan tajam.
"Ehem."
Suara deheman tersebut membuat perhatian mereka teralihkan. Mereka semua merasa terkejut dan langsung diam ketika melihat CEO perusahaan ini ada di sini.
Seseorang yang pertama kali sadar adalah Anggie, ketua dari tim pemasaran. Wanita itu langsung mendekati Devan dengan sungkan, memaksakan senyuman dengan gugup.
"Selamat pagi, Pak Devan. Ada yang Anda butuhkan di sini?" tanya Desy dengan sopan.
Devan tak menjawab, matanya awas menatap satu-persatu orang yang ada di ruangan tersebut. Sampai matanya berhenti ketika menemukan seseorang yang dia cari.
Sedangkan Elaine berusaha tak terlihat. Dia bahkan menyembunyikan wajahnya di balik buku. Hanya sesekali mengintip, berharap jika CEO barunya itu segera pergi dari sini.
Tapi sepertinya keadaan tak memihak pada Elaine. Devan bahkan berjalan mendekat ke arahnya. Lelaki itu mengambil paksa buku yang sejak tadi menjadi tempat persembunyiannya.
Elaine meringis malu sudah tertangkap basah. Dia langsung berdiri ketika Devan menatapnya dengan tajam.
"Ikut aku sekarang juga!" perintah Devan.
"Tapi, Pak, saya masih banyak pekerjaan," tolak Elaine memelas.
Tubuh Elaine terasa lemas ketika melihat tatapan mata hitam dari seseorang yang ada di depannya. Mengembuskan napas dengan kasar, Elaine hanya bisa mengangguk dengan pasrah dan mulai berjalan mengikuti bosnya tersebut.
Semua teman-temannya yang melihat ini menjadi heran. Tak banyak dari mereka yang langsung bergosip ketika melihat CEO mereka menjemput langsung karyawan recehnya itu. Mereka semua mulai menduga-duga, apa hubungan Elaine dengan CEO baru mereka?
Elaine masih mengikuti ke mana Devan melangkah. Wanita itu seperti seorang tawanan yang tak bisa berbuat apapun. Sepanjang langkahnya berjalan, pikirannya terasa kosong.
Hal ini membuat dia tak memperhatikan jalan. Ketika bosnya itu berbelok, dia malah berjalan lurus.
Menyadari jika Elaine tak mengikutinya, membuat Devan merasa kesal. Dia berbalik dan mencari keberadaan Elaine. Ketika menemukan wanita tersebut, refleks Devan langsung menarik tangannya. Kejadian ini membuat Elaine yang sedang tercengang menjadi tersentak. Tubuhnya terhuyung ke belakang dan menubruk Devan begitu saja.
Alhasil mereka berdua terjatuh dengan posisi Elaine ada di atas tubuh Devan. Seolah waktu terhenti, mereka berdua hanya diam dengan tatapan memandang satu sama lain.