Surat Perjanjian

1159 Kata
"Pak Devan," teriak Erik melihat bosnya terjatuh. Sekretaris Devan tersebut langsung berlari mendekati Devan dan membantu berdiri. "Anda tidak apa-apa, Pak?" tanya Erik dengan alis berkerut. Devan menepuk-nepuk jasnya yang baginya menjadi kotor. Lalu mengarahkan pandangannya pada Elaine dengan tajam. Wanita itu menunduk, membuat Devan tak bisa melihat wajahnya. "Aku tidak apa-apa. Kau bisa kembali bekerja lagi, Erik." Tangan Devan melambai kecil di hadapan sekretarisnya tersebut, tatapannya masih tak berubah sejak tadi. Melihat sekretarisnya sudah pergi, Devan dengan cepat menarik tangan Elaine. Lelaki itu mengabaikan pekikan kaget dari wanita tersebut, melangkah lebar menuju ruangannya. Pintu terbanting dengan kasar, Devan mendorong begitu saja tubuh Elaine ke sofa. Lelaki itu bertolak pinggang di depan Elaine, wajahnya menyiratkan sebuah kekesalan. Sedangkan Elaine yang melihat ini menjadi takut, perlahan tubuhnya bergeser sampai pada pojokan sofa. Tangannya menyilang di depan d**a, pikirannya menjadi buruk saat ini. "Apa kau tidak bisa tidak mencari gara-gara barang sehari?" bentak Devan. Mendengar hal itu, membuat Elaine menjadi sadar. Dia kira jika bosnya itu akan macam-macam, ternyata hanya akan memarahinya saja. Mengerucutkan bibir kesal, Elaine mulai berdiri. Sikap menjengkelkannya kembali muncul. "Siapa yang membuat masalah? Anda tiba-tiba menarik saya, setelah jatuh Anda malah menyalahkan saya?" pekik Elaine tak kalah ketus dari Devan. "Sudahlah, sana pergi, kamu membuat moodku berantakan pagi ini," tutur Devan dengan malas, tangannya tampak memijat pangkal hidungnya. Elaine melirik Devan kesal, lalu dengan langkah menghentak mulai keluar dari ruangan tersebut. "ELAINE!" Tepat ketika pintu hampir saja tertutup, Elaine mendengar jika Devan berteriak memanggil namanya marah. Tak ingin kembali bertemu Devan, Elaine dengan cepat berlari ke arah lift. Tapi sepertinya dia kalah cepat dengan Devan. Hampir saja dia masuk ke dalam lift, tangannya sudah ditarik oleh Devan. "Beraninya kau pergi sebelum urusan kita selesai," ucap Devan menggeram. "Loh, bukannya Anda sendiri yang menyuruh saya pergi?" protes Elaine. "Kapan aku bicara seperti itu?" kilah Devan tak mau kalah, lelaki itu kembali menarik Elaine untuk masuk ke dalam ruangannya. "Sepertinya otak Anda bermasalah," gumam Elaine berbisik lirih. "Aku mendengarmu, El," kritik Devan melirik sadis pada wanita tersebut. Elaine sendiri langsung terdiam. Dia menggerakkan bibirnya tanpa suara, matanya tetap saja menatap bosnya itu dengan kesal. Devan menyuruh Elaine untuk duduk, lalu dirinya bergerak mengambil tas kerjanya. Mengeluarkan sebuah kertas yang telah dibalut map. Devan menyerahkan itu pada Elaine. "Tanda tangani surat perjanjian ini!" perintah Devan. Lelaki itu duduk menyandar pada kursi kerjanya. Kakinya menggoyangkan kursi agar dapat bergerak ke kanan dan kiri. Elaine tak langsung menandatangani kertas tersebut, melainkan membaca seluruh isi dari perjanjian tersebut. Beberapa kali dia melotot, beberapa kali juga dia mengerucutkan bibir. "Saya tidak setuju pada poin empat dan juga poin sembilan," ungkap Elaine melemparkan map tersebut dengan kesal. "Why?" tanya Devan. "Pertama, saya tidak bisa lembur setiap hari karena saya mempunyai anak kecil. Kedua, saya ingin tetap di bagian pemasaran setengah hari. Ketiga, jangan mengambil hari minggu karena itu adalah hari keluarga bagi saya," tegas Elaine memberikan penjelasan. Entah mengapa Devan malah terkekeh, dia menatap Elaine dengan tatapan mengejek. "Siapa kau sampai berani membuat penawaran seperti ini padaku," tuturnya sombong. "Jika Anda menolak, Anda sendiri yang akan rugi," kata Elaine dengan percaya diri. Meskipun begitu, dalam hatinya dia gugup. Dia takut jika Devan merubah pikirannya dan tetap melaporkannya ke polisi. Devan tak menjawab, dia menatap Elaine lekat seolah sedang menilai. Devan tahu jika Elaine sedang gemetaran, tapi tatapan wanita itu seolah ingin mengajaknya berdebat tanpa mau kalah. "Baiklah, cepat tanda tangan. Aku akan meminta Erik untuk merubah poin empat dan sembilan nanti," kata Devan. "Tidak, Pak, saya hanya akan menandatangani ini setelah perjanjian diperbarui," ucap Elaine. "Dasar keras kepala," bisik Devan yang masih bisa didengar oleh Elaine. Lelaki itu mengambil telepon kantor dan meminta Erik untuk datang ke ruangannya. Setelah sekretarisnya menghadapnya, Devan langsung meminta untuk menyiapkan kertas baru. Tak menunggu lama, Erik dengan cepat menyelesaikan tugasnya. Devan yang melihat itu tersenyum bangga. Dia menyerahkan kertas tersebut dan langsung ditandatangani Elaine. Setelah itu, Elaine mulai berpamitan dan keluar dari ruangannya. "Apa Anda berniat menambah asisten, Pak?" tanya Erik dengan hati-hati. "Ya, aku butuh seseorang yang akan menemani saat ada kepentingan di luar kantor. Santai saja, Erik, aku tidak akan memecatmu. Aku hanya akan meringankan pekerjaanmu," kata Devan menatap Erik. Erik yang mendengar itu tersenyum, dia kira jika Devan akan menyingkirkannya. Selama ini dia sudah ikut Devan sejak bosnya itu mengurusi bisnis di luar kota. Erik ingin selalu menjadi tangan kanan untuk bosnya yang selalu baik padanya itu. "Kalau begitu saya undur diri dulu, Pak. Oh ya, hati-hati sama janda, nanti kepincut," tutur Erik sambil bercanda. Sedangkan Devan mengabaikan hal itu, dia kembali melanjutkan pekerjaannya. Dia harus segera menyelesaikan semuanya, karena minggu depan dia mulai sibuk dengan proyek-proyek baru yang mulai berjalan. * "El." Suara teriakan penasaran menyambutnya ketika dia masuk ke dalam ruang pemasaran. Temannya, Silvi dan juga Amel langsung mendekat ke arah meja kerjanya tanpa diminta. "Ceritakan pada kami, sebenarnya apa hubunganmu dengan CEO baru kita. Kenapa sejak kemarin dia mencarimu terus?" tanya Silvi antusias. "Pasti dia menyukainya," pekik Amel pada Silvi. Dua temannya itu sedang berdebat, mempertahankan argumen masing-masing. Sedangkan Elaine segera mengecek seluruh pekerjaannya, mulai hari ini dia harus bekerja dengan giat. Karena besok dia akan mengerjakan pekerjaan double. "Diamlah kalian berdua, sana kembali bekerja. Kalian benar-benar mengganggu," keluh Elaine menatap kedua temannya dengan kesal. "Tidak," ucap Amel dan Silvi beriringan. "Sebelum kau ceritakan pada kami apa yang sebenarnya terjadi," imbuh Silvi. "Oh ayolah, aku tidak ada hubungan apapun dengan CEO angkuh itu. Aku hanya mempunyai nasib sial saja, sehingga dia bisa menekanku," terang Elaine terlihat kesal. "Menekanku?" beo Silvi dan Amel bersamaan lagi. Elaine tak menjawab, tapi menatap Silvi dan Amel bergantian dengan marah. Sedangkan kedua temannya itu malah tertawa cekikikan menggoda Elaine. Seolah senang karena mempunyai bahan baru untuk gosip di tim mereka. "Sudahlah, kembali ke meja kalian masing-masing. Sebentar lagi bu Anggie akan kembali," kata Rival yang tiba-tiba sudah berdiri di depan meja Elaine. Hal ini membuat Silvi dan Amel mengerucutkan bibir kesal. Tapi tak membantah dan mulai membubarkan diri "Terima kasih, Rival," kata Elaine tersenyum. "Untuk apa?" tanya Rival terkekeh. "Aku hanya memberitahu mereka sebelum bu Anggie marah." Tepat setelah Rival berkata seperti itu, ketua tim pemasaran baru saja masuk ke dalam ruangan. Wanita paruh baya yang masih single itu menatap satu-persatu bawahannya dengan awas. Seolah memastikan jika tak ada kesalahan sedikit pun di tim mereka. "Ini hasil rapat kita kemarin, sepertinya usulanmu yang paling banyak mendapatkan vote. Mulai minggu depan kita akan mengoperasikan ini," kata Rival menyerahkan buku catatan pada Elaine. "Benarkah?" pekik Elaine senang dan Rival mengangguk. Elaine langsung merebut buku itu begitu saja, senyumnya masih lebar ketika menatap Rival. "Sekali lagi terima kasih, aku akan segera mengerjakan ini," ujar Elaine. Setelah kepergian Rival, Elaine mulai sibuk berkutat dengan laptop. Tiba-tiba saja teleponnya berdering, sederet nomor tak dikenal muncul di layar teleponnya. Elaine langsung mengangkat panggilan tersebut. "Datang ke ruanganku, sepuluh menit dari sekarang!" Suara dominan dan tegas itu membuat Elaine segera tahu siapa pemilik nomor tersebut. Dia tak lain adalah Devan, CEO baru yang menyebalkan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN