Sebuah Jam Tangan

1204 Kata
"9 menit lebih 40 detik. Andai saja terlambat, kamu akan saya hukum," kata Devan begitu Elaine sampai di ruangannya. Lelaki itu sudah tampil rapi dan siap untuk pergi. "Bawakan tas saya, kita akan keluar sekarang!" imbuh Devan, dia mulai berjalan mengabaikan Elaine. Sedangkan Elaine masih tampak mengatur napasnya. Dia melirik kesal pada Devan, lalu meraih tas kerja Devan yang ada di atas meja. Elaine berlari untuk mensejajarkan langkahnya bersama Devan. Mereka memasuki lift, Devan menekan tombol untuk lantai satu. Tak ada yang berbicara di antara mereka, membuat keadaan menjadi hening. Sudah ada mobil yang terparkir tepat di depan pintu ketika mereka keluar dari lift. Sopir Devan dengan sigap membukakan pintu untuk bosnya. Setelah memastikan semuanya siap, sang sopir mulai melajukan mobilnya meninggalkan gedung perusahaan Callief Tbk. "Baca itu dan segera pahami, tugasmu nanti adalah mencatat semua poin terpenting tentang meeting siang ini," tutur Devan sambil melemparkan sebuah tablet di pangkuan Elaine. Elaine sendiri tak membantah, kali ini dia menurut dan segera melaksanakan perintah Devan. Dia sedang lelah untuk berdebat kembali dengan bosnya tersebut. Mobil mereka berhenti di halaman sebuah hotel bintang lima. Elaine segera turun dari mobil dan mengikuti Devan untuk masuk ke dalam. Sikap Elaine benar-benar berubah, wanita yang dilihat Devan sangat bar-bar tadi, kini berpenampilan sangat anggun. Wanita itu berjalan dengan penuh percaya diri, sedikit senyum simpul menghiasi bibirnya. Hal ini membuat Devan sedikit kagum dengan sosok Elaine. Mereka berjalan ke restoran yang ada di hotel ini. Devan mengedarkan pandangannya ketika sampai di dalam. Senyumnya merekah ketika melihat kliennya melambaikan tangan padanya. Mata Elaine mengikuti arah pandang Devan. Tapi matanya membulat sempurna saat melihat seseorang yang melambai pada Devan. Tepat sebelum Devan mendekat, Elaine menarik tangan Devan. Wanita itu meringis melihat bosnya menatap tajam padanya. "Saya akan menyusul segera, tapi sepertinya saya perlu ke kamar mandi lebih dulu," bisik Elaine meminta izin. "Dasar menyusahkan, jangan lama-lama!" Meskipun merasa kesal, tapi Devan mengizinkan Elaine. Setelah itu, Elaine menyerahkan tas kerja pada Devan. Lalu berbalik dan berjalan cepat mencari kamar mandi. Elaine mengunci kamar mandi dan duduk gelisah di atas closet. Elaine menggigit ujung jarinya. Dia berpikir keras untuk menghindari orang tersebut, tapi tak mungkin dia kabur. Yang ada malah dia akan mendapat hukuman dari Devan nanti. Tapi sungguh, dia tidak ingin keberadaannya diketahui. Tidak untuk saat ini. Membongkar tasnya, Elaine menemukan sebuah kacamata di sana. Mendapatkan sebuah ide, Elaine tersenyum puas sekarang. Devan sedang berbincang dengan kliennya ketika seseorang mendekati mejanya. Dia terkejut melihat penampilan Elaine saat ini. Apa-apaan wanita itu, mengapa berdandan kucel seperti ini? Elaine memakai kacamata seperti seorang kutu buku. Rambutnya yang tadi tergerai sekarang dikuncir kuda sangat tinggi. Bahkan ada bulatan hitam di pipi Elaine, seperti sebuah tahilalat. Devan yang melihat ini menjadi geram, tangannya terkepal di bawah meja. "Maaf, saya terlambat," kata Elaine dengan senyum sungkan. Seorang lelaki paruh baya di depannya mengangkat salah satu alisnya heran. Dia melihat Elaine dengan tatapan tak berkedip. "Perkenalkan, saya Ine, asisten Pak Devan," tutur Elaine mengulurkan tangan pada lelaki paruh baya di depannya. Lelaki paruh baya yang sudah paham siapa wanita di depannya itu pun tersenyum dan menjabat tangan. "Adit, perwakilan dari kantor MHR Group." Elaine mengangguk, dalam hatinya dia berdoa agar Devan tak membongkar identitasnya. Bisa runyam jika lelaki paruh baya di depannya sampai tahu. Meskipun waktu telah berlalu, Elaine masih mengingat semuanya. Elaine kenal betul dengan lelaki itu. Pak Adit adalah salah satu orang dari ayahnya. Meeting berjalan dengan lancar, bahkan mereka berbincang dengan santai saat semuanya sudah selesai. Sebelum mengakhiri pertemuan kali ini, mereka memutuskan untuk makan siang bersama. Dua jam telah berlalu, kini hanya tinggal mereka berdua di meja tersebut. Devan menggeser kursinya mendekat ke arah Elaine, dan menatap wanita itu tajam. "Kamu berniat mempermainkanku?" tuduh Devan ketus. "Apa?" tanya Elaine yang tak mengerti maksud Devan. "Mengapa kamu berpenampilan seperti ini?" bisik Devan menggeram marah. "Saya, saya hanya, itu karena saya tak ingin klien Anda jatuh cinta karena kecantikan ini," ungkap Elaine mencari alasan. Saat ini dirinya sangat gugup, apalagi sejak tadi Devan tak mengalihkan pandangan darinya. "Cih, siapa yang pernah bilang jika kamu cantik? Pasti orang itu telah buta," kritik Devan. Elaine merasa kesal dengan perkataan Devan, tapi dia mengabaikan hal itu. Kini dia sedikit bernapas lega karena Devan tak menuntut kebenaran tentang penampilannya saat ini. "Lain kali, saya tidak ingin kamu berpenampilan seperti itu!" kata Devan ketus. Setelah itu dia memanggil pelayan untuk mendekat, membayar semua tagihan makan siang. Lalu mulai berdiri dan keluar dari restoran itu diikuti oleh Elaine. Mobil mereka tidak kembali lagi ke kantor, Devan menyuruh sopir menuju ke apartemennya. Elaine yang menyadari ini menjadi panik. "Pekerjaan saya masih banyak, kenapa tidak kembali ke kantor?" protes Elaine. "Itu urusan kamu!" sindir Devan. "Kalau begitu turunkan saya di sini, saya bisa naik taksi untuk kembali ke kantor," pinta Elaine menatap Devan. "Apa kamu lupa dengan pekerjaan tambahan? Kamu harus membersihkan apartemen saya. Karena kamu tidak ingin lembur, saya akan mengambil jam siang kamu. Untuk pekerjaan kamu di tim pemasaran, saya tidak ingin tahu dan tidak mau tahu!" tutur Devan tanpa melihat Elaine. Mendengar ini, dahi Elaine berkerut, mulutnya terbuka otomatis karena terkejut. Dia tak menyangka jika Devan akan bersikap kejam seperti ini. Dia tak lembur bersama Devan, tapi sama saja dia akan lembur dengan pekerjaannya. Itu sama saja dan tak ada bedanya. Menghempaskan tubuhnya kasar, Elaine mulai mengerucutkan bibirnya. Tangannya bersedekap, sesekali melirik Devan dengan kesal. Begitu sampai di apartemen Devan, Elaine benar-benar dibuat melongo dengan keadaan hunian itu. Apartemen ini benar-benar berantakan, banyak pakaian bertebaran dari ruang tamu sampai di tangga sekali pun. Dapurnya terlihat sangat kotor, sampah ada di mana-mana membuat Elaine merasa jijik. "Apa kamu tidur dengan sampah selama ini?" tanya Elaine mengeluh, sesekali dia menutup hidungnya untuk menghalau bau yang menyeruak. "Itu tidak benar, saya hanya singgah sebentar di sini. Saya ingin kamu membereskan semuanya, karena saya ingin tinggal di sini." ungkap Devan. "Iuhh, dasar menjijikan," ucap Elaine mengkritik. Devan mengabaikan hal itu, dia mulai berjalan menghampiri pintu. "Saya sudah membeli semua keperluan untuk bersih-bersih," tunjuk Devan pada kantong plastik di atas meja. "Kau bisa memulainya dari sekarang," imbuhnya sambil mengangguk. Devan terdiam beberapa saat, sebelum kembali melanjutkan. "Karena masih ada pekerjaan, saya akan kembali ke kantor. Selamat bekerja." Elaine terjatuh di lantai dengan lemas. Membayangkan saja membuatnya lelah, apalagi membereskan semua ini sendirian. Tapi dia tak ingin menyerah, dia harus menyelesaikan semua ini agar segera pulang dengan cepat. Elaine mulai mengambil semua pakaian, mengumpulkan di ranjang kotor. Dia memulai pekerjaannya dari lantai atas, menyapu dan mengepel semua lantai. Membersihkan dua kamar yang ada di sana. Beberapa jam telah berlalu, dan Elaine benar-benar merasa sangat lelah. Setelah menjemur semua pakaian, dia mulai berjalan ke lantai atas. Dia butuh istirahat agar otot-ototnya tidak kaku. Tapi bukannya langsung tidur, Elaine malah sibuk mengekspor kamar itu. Kamar yang didominasi warna abu itu terlihat sangat elegan. Ada sebuah lukisan abstrak yang terpasang di dinding atas ranjang. Di sebelah kiri ranjang ada sebuah rak mini dengan banyak buku berjejer. Elaine menghampiri rak tersebut, berniat memilih sebuah buku untuk menemani waktu istirahatnya. Tapi perhatiannya teralihkan ketika melihat sebuah jam tangan yang letaknya tersembunyi di bagian pojok rak. Elaine mengambil jam tangan dan mengamatinya. Berkali-kali Elaine membolak-balikkan jam tangan tersebut. Entah mengapa Elaine merasa familiar, seperti pernah melihat jam tangan itu. 'Tapi di mana?' pikir Elaine.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN