Hari mulai beranjak sore, dan Devan telah menyelesaikan urusannya di kantor. Setelah membereskan meja kerjanya, dia mulai beranjak dari sana.
Saat Devan membuka pintunya, dia terkejut melihat ibunya ada di sini. "Mom," kata Devan dengan senyuman.
"Apa kabarmu, Devan? Kenapa tidak pernah pulang ke rumah. Kamu membiarkan ibumu ini menderita rindu," tutur Rania mengeluh pada anaknya, dia bahkan memukul kecil bahu Devan yang membuat lelaki itu tertawa.
"Ayo masuk," ajak Devan sambil menarik tangan ibunya.
Devan yang berniat pulang lebih awal itu terpaksa mengundur waktu karena kedatangan ibunya. Lelaki itu membawa ibunya duduk di sofa, lalu mengambil telepon untuk memanggil sekretarisnya.
Tak lama pintu terbuka dan muncul sosok Erik. Lelaki itu tersenyum dan membungkuk hormat ketika melihat siapa yang ada di ruangan ini.
"Tolong ambilkan minuman dan camilan, Erik," perintah Devan pada sekretarisnya tersebut.
Rania tersenyum menyadari jika anaknya itu sungguh perhatian padanya. Dia menepuk sofa yang ada di sebelahnya, berharap Devan akan duduk di sisinya.
"Ada apa Mom datang ke sini? Apa Mom sendirian?" tanya Devan.
"Mommy hanya kebetulan ada di sekitar sini dan memutuskan untuk mampir," jelas Rania tersenyum.
Tangannya terulur merapikan rambut Devan, tatapannya benar-benar lembut dan Devan menyukai itu.
"Kapan kamu akan merapikan rambut? Lihatlah, ini sudah sangat berantakan," keluh Rania.
Mendengar itu, Devan langsung menyugar rambutnya. Dia meringis menatap ibunya. "Aku tak punya waktu, Mom," ucapnya sambil menghela napas pelan. "Daddy benar-benar membuatku sibuk dengan perusahaan," imbuhnya mengeluh.
"Itu hukuman kamu karena terlalu sering bermain-main," tutur Rania dengan gemas sambil terkekeh.
"Oh ayolah, Mom. Apa lima tahun ini daddy masih tidak percaya padaku? Aku bahkan tidak mempunyai waktu untuk sekedar mengunjungi teman-temanku," keluh Devan.
Rania tak menjawab, hanya mengedikkan bahu dengan tak acuh. Dia lalu mengambil minuman yang disediakan Erik tadi. Menyeruput jus jeruknya dengan anggun.
"Besok, kamu harus pulang ke rumah. Mommy mengadakan perjamuan."
"Apa Mommy masih kukuh ingin menjodohkanku?" protes Devan memotong ucapan ibunya. Lelaki itu terlihat kesal seketika.
"Hanya makan malam biasa, siapa tahu kamu tertarik dengan anak teman Mommy," ungkap Rania menampik tentang perjodohan.
"Aku tak akan datang," ucap Devan kembali protes.
"Devan," lirih Rania berbisik.
Hal ini membuat Devan menatap ibunya, ada perasaan tak tega jika membuat ibunya menjadi sedih. Tapi dia sendiri kesal, karena ibunya selalu berusaha memperkenalkan wanita pada Devan.
Bukannya Devan tak menyukai wanita, tapi Devan masih mencari seseorang. Seseorang yang telah membuat malamnya lima tahun lalu b*******h. Entah mengapa Devan masih mengingat betapa panasnya tubuh mereka ketika bersentuhan.
"Devan," panggil Rania kesal dan memukul pelan bahu Devan, yang membuat lelaki itu terkejut.
"Apa kamu tak mendengarkan Mommy berbicara?" tanya Rania.
Menghembuskan napas pelan, Devan menyandarkan tubuhnya di sofa. "Maaf, Mom, sepertinya aku sedang banyak pekerjaan," ungkap Devan beralasan. Dia sendiri tak sadar telah memikirkan wanita itu.
"Baiklah, Mommy akan pulang kalau begitu. Awas jika kamu tidak datang besok!" omel Rania.
Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mulai berdiri. Dia mencium singkat pipi Devan sebelum beranjak pergi dari sana.
Sedangkan Devan masih diam setelah kepergian ibunya. Lelaki itu kembali teringat pada malam lima tahun silam.
'Di mana kamu?' gumam Devan dalam hati.
*
Karena kedatangan ibunya, Devan sampai lupa jika Elaine ada di apartemennya. Lelaki itu sampai di apartemen ketika hari mulai malam.
Pertama kali membuka pintu, Devan merasa kagum. Apartemen yang tadinya berantakan dengan banyak barang berserakan, kini sudah rapi dan berbau harum.
Devan melangkah masuk ke dalam, memanggil nama Elaine sambil mencari wanita tersebut. Tapi Elaine sungguh tak ada di lantai bawah. Akhirnya Devan memutuskan untuk naik ke lantai atas.
Membuka pintu kamarnya, Devan akhirnya tahu di mana Elaine berada. Wanita itu terlihat tertidur nyenyak di ranjangnya. Devan mendekat sambil menggelengkan kepalanya. Bisa-bisanya wanita itu tidur di ranjang miliknya!
Tiba-tiba saja Devan menarik kaki Elaine, yang membuat wanita itu jatuh di lantai. Elaine yang terkejut itu masih merasa linglung sampai dia melihat Devan yang menatapnya tajam.
Rasa sakit mulai menjalar di pinggulnya. Menyadari dia ada di bawah, dia menatap Devan kesal.
"Anda bisa membangunkan saya dengan halus, kenapa harus memakai kekerasan seperti ini?" pekik Elaine berteriak marah.
"Siapa yang menyuruhmu tidur di ranjangku?" tutur Devan tak mau kalah.
"Siapa yang tahu jika ini ranjang Anda, bukannya Anda bilang jika jarang ke sini? Anda benar-benar sangat kejam, saya sudah membereskan apartemen Anda tapi Anda malah memperlakukan saya seperti ini. Bahkan Anda membiarkan saya kelaparan, tak ada makanan di sini. Anda juga mengunci pintu apartemen," teriak Elaine kesal. Dia mulai berdiri sambil mengelus pinggulnya yang terasa sakit.
Setelah mendengar omelan Elaine, entah mengapa dia merasa kasihan pada wanita itu. Dia menyadari jika dirinya salah karena telah bersikap kasar pada wanita itu. Tapi karena egonya, Devan hanya diam bahkan tak meminta maaf.
Elaine menghentakkan kakinya kasar, tanpa menatap Devan dia berkata, "Saya ingin pulang sekarang."
Sepanjang jalan, Elaine bergumam. Mengumpat bosnya yang tidak mempunyai perasaan itu. Elaine mengambil tasnya yang ada di dapur, lalu kembali melangkah menuju pintu keluar.
Belum sempat Elaine keluar, sebuah tangan terulur dari belakang membuka pintunya.
"Biar kuantar," kata Devan menatap Elaine.
Karena merasa lelah, Elaine tak menolak. Dia hanya mengangguk dengan lesu, lalu mulai berjalan diikuti Devan.
Mereka berdua tak banyak bicara, bahkan saat di dalam mobil pun. Elaine hanya diam sambil memandangi lalu lintas yang sangat ramai. Tangannya mengelus perutnya yang terasa lapar saat ini.
Ternyata hal itu dilihat oleh Devan. Karena merasa bersalah dengan kejadian tadi, akhirnya Devan mengemudikan mobilnya ke sebuah restoran. Dia ingin mengajak Elaine makan malam sebagai ucapan maaf.
"Kenapa kita ke sini?" tanya Elaine dengan heran.
"Aku ingin memastikan perutmu kenyang sebelum sampai di rumah," ungkap Devan dengan acuh.
"Saya bisa makan di rumah saja, Pak," ujar Elaine.
"Aku tak menerima penolakan, El," protes Devan.
Tak ingin berdebat, akhirnya Elaine terpaksa menuruti Devan. Mereka berdua masuk ke dalam restoran. Devan memilih ruangan paling pojok, di mana ada sebuah kolam ikan di sampingnya.
Karena ruangan yang dibatasi dinding kaca, Elaine bisa melihat pemandangan di luar. Ruangan outdoor itu terlihat sepi karena gerimis yang datang.
"Kamu pesan apa?" tanya Devan sambil mengamati buku menu.
"Terserah Anda saja," ungkap Elaine.
Devan memilih makanan khas Indonesia. Nasi goreng kambing dengan jus jeruk. Ditambah kentang goreng, dan gorengan sebagai pelengkap.
Suasana kembali hening, tak ada lagi yang berbicara sampai makanan mereka datang. Mereka memulai makan malam dengan diam, benar-benar terasa sangat canggung.
Ketika Devan mendongak, dia melihat bekas saus di bibir Elaine. Reflek tangannya terulur untuk membersihkannya.
Hal ini membuat Elaine merasa kaget dengan perlakuan Devan. Wanita yang tak pernah merasakan perhatian dari lawan jenis itu, sampai menatap mata Devan sangat dalam. Tiba-tiba saja, jantungnya berirama. Seperti sebuah deburan ombak di laut yang sedang pasang.