Calon Istri?

1153 Kata
"Maaf," ungkap Devan menjadi gugup. Entah mengapa dia seakan terperangkap oleh manik mata coklat milik Elaine, yang membuatnya tak lepas menatap wanita itu. Elaine pun tak kalah gugup dengan Devan, dia berdehem mencoba mengabaikan Devan. "Ya," bisiknya lirih. Mereka kembali sibuk dengan makan malam mereka. Tapi diam-diam, tanpa sepengetahuan satu sama lain, mereka saling melirik dengan senyum simpul yang terbit di bibir masing-masing. Karena kelakuan Devan, Elaine menjadi sulit untuk menelan makanannya. Akhirnya dia memutuskan untuk mengakhirinya dan segera menyeruput jus jeruknya. Ketika Elaine melihat jam tangannya, wajahnya mulai terlihat cemas. "Emm, maaf sebelumnya. Tapi, apakah Anda masih lama?" tanya Elaine ragu. "Ada apa?" Kini Devan meletakkan sendok dan garpunya. Lelaki itu mengusap mulutnya dengan tisu lalu menatap Elaine. "Ini sudah malam, saya takut jika Akram akan mencari saya," ungkap Elaine. Memang, sejak dia diajak ke restoran tadi, dirinya merasa tak tenang dan kepikiran anaknya. "Baiklah, kita pulang sekarang," ujar Devan. "Eh, tapi jika Anda belum selesai tidak apa-apa. Saya bisa naik taksi dari sini, Pak," usul Elaine dengan cepat, dia sungguh tak enak hati telah mengganggu Devan. "Tidak, lagi pula selera makanku hilang karenamu," tutur Devan. Elaine yang mendengar itu menjadi heran. Seketika dia menjadi kesal kembali dengan bosnya itu. Setelah membayar tagihan makanan, mereka segera keluar dari restoran tersebut. Mobil kembali melaju membelah malam yang mulai hujan. "Anda masih mengingat jalannya?" tanya Elaine menatap Devan ragu. "Apa kamu mengejek ingatanku?" balas Devan dengan ketus. Elaine tak menjawab, mengalihkan pandangannya pada jendela mobil. Entah mengapa dia tak bisa berbaikan dengan Devan. Lelaki itu selalu mendebatnya untuk mencari gara-gara meskipun dengan hal yang sepele sekali pun. "Terima kasih, Pak," ungkap Elaine begitu mereka sampai. Elaine tersenyum tulus dengan Devan lalu keluar dari mobil. Tapi Elaine merasa heran karena Devan ikut turun dan mengikutinya. "Apa yang Anda lakukan?" tanya Elaine heran. "Emm, tidak ada. Aku hanya ingin bertemu Akram," kata Devan ambigu. Entah mengapa dia reflek turun dan mengikuti Elaine, dan hanya jawaban itu yang terpikir olehnya ketika wanita itu bertanya. Mendengar ini membuat Elaine melirik Devan dengan tatapan penuh curiga. Wanita itu menyilangkan tangannya dan menatap Devan dari atas sampai bawah. Ternyata hal ini membuat Devan merasa gugup, dia menyugar rambutnya kasar dan tak ingin menatap Elaine. Pintu terbuka dan sosok Akram muncul dari sana. Devan merasa itu adalah keberuntungannya, karena dia bisa menghindar dari Elaine. Lelaki itu dengan cepat menghampiri Akram dan langsung berjongkok di depannya. "Hola, Akram," ujar Devan sambil tersenyum. "Halo, Om Devan. Om datang lagi?" tanya Akram dengan suara pelatnya. "Ya, Om mengantarkan mama Akram," ucap Devan sambil menggaruk dahinya yang tidak gatal. Di saat perhatian mereka terarah pada Akram, sosok mbok Sri baru saja keluar dari rumah. Wanita paruh baya itu tersenyum melihat Elaine sudah pulang bersama lelaki kemarin. "Mbok," sapa Elaine mendekat. "Syukurlah jika kamu sudah pulang. Mbok mau pulang dulu," kata Mbok Sri. Elaine mengangguk dan mempersilahkan mbok Sri untuk pergi. Dia merasa canggung karena mbok Sri menatap dirinya dengan senyuman yang tak memudar karena kehadiran Devan. Setelah kepergian mbok Sri, Elaine langsung menarik Akram untuk mendekat ke arahnya. Wanita itu menatap Devan dengan dagu terangkat. "Sebaiknya Anda pulang saja. Ini sudah malam dan saya butuh istirahat," sindir Elaine mengusir halus Devan. "Tapi, Ma, Akram ingin bermain bersama Om Devan," ucap Akram merengek. "Akram bisa bermain bersama Mama. Om Devan ada urusan. Iya, kan, Om?" tanya Elaine menatap Devan tajam, seolah mengajak kerjasama. Akram ikut menoleh ke arah Devan. Bocah lelaki kecil itu menatap Devan dengan mata polosnya. Sekarang gantian Devan yang merasa bingung memberikan jawaban. Dia tahu jika Elaine menginginkannya pergi, tapi dia tak tega melihat Akram bersedih. "Besok, Om akan datang untuk bermain bersama Akram. Untuk sekarang, Akram bermain bersama Mama dulu, ya," kata Devan hati-hati, beberapa kali dia melirik antara Akram dan juga Elaine. Karena Akram mudah menerima pengertian orang dewasa, akhirnya dia hanya bisa mengangguk. "Janji?" tuturnya dengan lugu. Devan tak yakin bisa menepati janji itu, tapi demi membuat Akram tak merasa kecewa dia hanya bisa menjabat ukuran kelingking tangan Akram sambil tersenyum paksa. "Akram sayang, ayo masuk. Tunggu Mama di dalam, oke? Mama ingin berbicara dengan om Devan sebentar." Elaine meminta Akram untuk segera melaksanakan perintahnya. Setelahnya, wanita itu menatap Devan tajam. "Besok hari libur, dan saya tidak ingin Anda mengganggu waktu bersama keluarga saya. Jadi jangan datang," ungkap Elaine to the point. "Tapi aku sudah janji!" protes Devan. “Dan saya tidak mau tahu!" Setelah berkata seperti itu, Elaine mulai berbalik masuk ke dalam rumah. Dia segera menutup dan mengunci pintunya. Sedangkan Devan merasa kesal karena sikap Elaine yang tak sopan. Baginya, di kantor maupun di luar, dia masih tetap menjadi bos Elaine, dan dia berhak dihormati. Menghembuskan napas kasar, Devan mulai pergi dari rumah Elaine. Dia memasuki mobil dan segera melajukannya. Ternyata semua itu dilihat oleh Elaine yang mengintip Devan dari balik jendela. Wanita itu memastikan kepergian Devan sebelum masuk ke kamar dan menemui anaknya. * Jam berdetik dan hari mulai berlalu. Tepat ketika senja mulai menginjak malam, Devan mendatangi kediaman orang tuanya. Tentu saja kedatangannya disambut gembira oleh ibunya. Wanita paruh baya itu terlihat senang karena Devan tak menolak keinginannya. Devan tersenyum dan mulai berjalan beriringan bersama ibunya memasuki rumah. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sosok lelaki paruh baya di depannya. Lelaki itu seperti cerminan Devan, tapi sudah ada kerutan di beberapa bagian wajahnya. Badannya masih bagus, tegap berisi meskipun usianya menginjak kepala enam. "Dad," sapa Devan dengan sopan, meskipun ada rasa kesal setitik di hatinya, dia masih menghormati ayahnya itu. Bagus tersenyum senang, lalu merentangkan tangannya menyambut Devan. Lelaki itu terlihat bangga oleh mahakaryanya yang dibuat 29 tahun silam. "Bagaimana kabarmu?" tanya Bagus begitu pelukan mereka terlepas. "Apa kau sudah lupa jika memiliki orang tua? Kenapa jarang pulang?" "Dad bisa saja, mana mungkin aku lupa dengan orang yang telah membesarkanku," canda Devan terkekeh pelan. Rania dan Bagus yang mendengar itu ikut tertawa kecil, dia tak menyangka jika anaknya itu suka humoris. "Kita tunda reuni kita kali ini. Tamu Mommy sudah datang, ayo!" ajak Rania pada Devan dan suaminya untuk menyambut temannya. Mau tak mau dua lelaki berbeda usia itu mengikuti perintah ratu mereka. Bagus mulai berjalan beriringan bersama Rania dengan tangan bergandengan. Sedangkan Devan terlihat malas dan mengacak-acak rambutnya kesal. "Jeng Rania," sapa seorang wanita paruh baya yang mungkin saja seusia Rania. Wanita itu memeluk Rania sebagai salam pertemuan. "Aduh, Jeng Yoshi, sudah lama kita tak bertemu, ya," balas Rania terlihat senang. "Ya, Jeng, hampir tiga tahun," balas Yoshi terkekeh kecil. Pandangan Rania beralih pada sosok gadis di samping Yoshi. Secara Reflek, dia mendekat dan langsung menjabat tangan. "Apa ini Stevanie, dia sudah besar dan cantik ya," ungkap Rania menatap Yoshi, temannya. Stevanie yang mendengar itu terlihat malu. "Tante bisa saja," bisiknya lirih. Basa-basi singkat itu membuat Rania lupa. Ketika dia sadar, dia berbalik menatap Devan. "Kemarilah, kau harus berkenalan dengan calon istrimu," panggilnya sambil melambaikan tangan. Tapi Devan tak kunjung mendekat. Lelaki itu terlihat kaget dengan ucapan sang ibu. Apa dia tidak salah dengar? Calon istri?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN